The Power of Bonding



 
Rahma, Puji dan Saya; dalam satu sesi makan mendoan pinggir HI.

Waktu berlari di belakang kita, menindas siapa saja yang tidak memiliki persiapan matang. Seringkali, kita dihadang di persimpangan jalan, melindas atau ditindas. Perubahan jadi suatu hal yang niscaya


Namun, saya percaya, di tengah cepatnya keniscayaan itu, ada sesuatu yang bisa terus bertahan. Ikatan hati bersama sahabat. Ikatan kuat jenis ini yang dalam tiga hari lalu sedang menyapa manis pada saya.




Lima tahun lalu, dalam perjuangan saya mendapat gelar sarjana, ada banyak teman yang selalu menemani. Banyak riuhnya. Setelah gelar sarjana tersemat, perjuangan hidup yang sebenarnya dimulai. Saya memilih Jakarta, Puji memilih Kawasan Ekonomi Khusus; Batam. Dan Rahma pun akhirnya menjejak Jakarta.  


Lima tahun berlalu. Selama itu, saya merasa hampir putus hubungan sama sekali dengan Puji. Sementara dengan Rahma atau Rahmi, saya relative masih sering berkabar. Saya tahu Puji meniti karir di Batam. Tapi apa dan bagaimana dia, saya kurang peduli. Hahaha…Inilah jeleknya saya.


Baiknya, Puji merasa bersalah dan saya tidak. Wkwkwk


Seminggu ini, dia cuti panjang. Sabtu lalu, perempuan asli Magelang ini menempuh perjalanan tujuh jam perjalanan dari Yogyakarta-Jakarta untuk bertemu. 

“Aku akan membayar lima tahun waktu absenku bersama kalian,” begitu katanya waktu itu.


Saya tersentuh. Saya langsung bilang, saya akan berusaha sekuat dan semampu saya untuk menjadi tuan rumah yang baik. Kalau ada satu hal yang saya sayangkan di moment ini, adalah absennya Rahmi. 

Saya jemput dia di Gambir. Lucu. Lima tahun mungkin bukan waktu yang sebentar. Namun, ketika saya tanya dia di sebelah mana, dia bilang,

” Aku pake jilbab biru dan baju biru,”di whatsapp. Hahaha…aku yakin banget masih bisa ngenalin kok meski dari jarak jauh sekalipun. Wkwk….


Kita and The Gank, 5 tahun lalu
Bonding itu benar-benar masih kuat, saudara-saudara. Hampir lima tahun setelah kita tidak bertemu dan berkomunikasi, saya merasakan dia masih Puji yang dulu. Masih orang yang sama yang dulu sering mengkritik saya tentang hal-hal kecil sekalipun. Saya masih saja menjadi orang yang ceriwis dan rempong, katanya. Meski begitu, dia juga tidak pelit pujian. Melihat kamar kos saya yang 'nyelempit' dan panas, dia juga menyebut saya telah banyak berubah dibandingkan lima tahun lalu. Tak terucap memang, tapi saya yakin dia menilai saya semakin bijak menjalani hidup. Begitu? Hahahaha...


Pengalaman dan tuntutan hidup juga mengubahnya. Saya mencatat. Gaya berpakaian dan make upnya, itu yang paling menonjol (siapa bisa tidak, Were just ordinary woman. Haha...). Karirnya dan interaksinya dengan banyak kalangan memperkaya dirinya. Yang paling saya suka, gayanya dalam memandang dan melihat sesuatu. Sinis dan penuh prasangka, cocok sama kerjaan saya sebagai jurnalis. Haha...minat ganti kerjaan Ji?
Seharusnya, lima tahun yang terpisah membuat semacam garis pembatas diantara kami. Mungkin juga momen2 akward. Nyatanya, dua hal itu tidak terjadi sama sekali. Saya, memang menjadi pihak yang bertanya, “Kita akan mulai pembicaraan dari mana nih?” kata saya. Namun, setelah itu, obrolan, becandaan dan sarkasme diantara kita terjadi begitu saja. Mengalir tanpa outline apalagi rencana ala politikus negeri.


Jadi, selama Sabtu sore sampai Senin siang, obrolan saya dan Puji-termasuk Rahma yang bergabung Minggu pagi_ berputar tentang pekerjaan dan pengalaman hidup merantau, pergaulan, gaya hidup dan juga tren. Kita juga sama-sama menjadi pecinta drama korea. Dan, jackpotnya, kami sama2 dipertemukan sebagai VIP. Ahahahahahaha....


Iya, kita sama-sama penggemar Bigbang dan GD. Bahkan, kemanapun arah pembicaraan, pembicaraan selalu berakhir di Oppa kesayangan itu. Ternyata luar biasa rasanya bertemu dengan teman lama. Dalam keadaaan lagi kesengsem sama dia pulak. Hahahaha...Beberapa bagian pembicaraan bahkan hanya terjadi diantara kita berdua. Akhi Jiyong dan Muhammad Top, panggilan mesra kami untuk mereka.


Terimakasih untuk tiga hari ini, Puji....Rahmaa...


Banyak hal memang berubah dan akan selalu begitu. Namun, ketika saya menoleh ke belakang, kamu akan tetap di sana. Memastikan bahwa bagaimanapun waktu berlari, ada sesuatu yang bertahan dan layak dipertahankan. Memastikan bahwa ketika kita menoleh, kau akan tetap ada di sana. Tetap begitu, membuat kita percaya bahwa semua masih akan baik-baik saja.


Terus melangkah, terus berjuang. Big Hug



Jakarta, 28 Maret 2016











Komentar