Mengingat Robby Djohan, Leadership Sang Guru



Robby Djohan No Nonsense Leadership

  
Menjadi wartawan desk ekonomi selama lima tahun terakhir, membuat saya akrab dengan dua hal yang sebelumnya asing; kepemimpinan (leadership) dan manajemen. Apalagi, melewati musim apapun, dua hal ini tidak pernah habis isu dan sudut penulisan.

Kemarin, majalah tempat saya mencari nafkah-Infobank, mengangkat tema ini lagi. Majalah Infobank meluncurkan buku Robby Djohan; No Nonsense Leadership. Isi utama buku ini, adalah kumpulan tulisan Robby Djohan di kolom tetapnya; Message from Robby Djohan. Rodjo, begitu dia biasa disebut di sini, memiliki kolom tetap di Infobank sejak tahun 2011.

Seperti yang ditulis di bagian pengantar buku ini, buku ini sedianya diterbitkan untuk merayakan ulang tahun Robby ke-78 tahun. Ulang tahunnya ini jatuh pada bulan Agustus. Namun, bulan Mei lalu, Tuhan lebih dulu memanggilnya. Peluncuran buku ini, akhirnya sekalian dilakukan dalam rangka mengenang 100 hari kepergiannya.

Di acara peluncuran kemarin, sejumlah nama besar hadir. Mereka semua menyebut dirinya murid-murid Rodjo. Beberapa nama besar yang hadir kemarin seperti Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo, Mantan Menteri BUMN Tanri Abeng dan juga anak beliau Irma Djohan. Mereka duduk di kursi pembicara. Sederet nama besar lain yang juga turut hadir di acara talkshow itu seperti Mantan Dirut Garuda Indonesia Emirsyah Satar, Mantan Dirut Mandiri Budi Gunadi Sadikin dan juga beberapa mantan direksi Garuda Indonesia.

Wakil Pimred saya, Karnoto Mohammad, langsung membuka talkshow dengan kesan Rodjo tentang Pak Agus, di salah satu kesempatan wawancara. "Pak Rodjo bilang, Pak Agus adalah satu-satunya bawahan yang berani melawan dan membantah omongan saya. Meski begitu, dia adalah murid saya yang paling saya cintai," katanya.

Pak Agus, yang mengaku mengenal Rodjo semenjak bergabung di Bank Niaga, langsung berkisah. Menurut dia, yang juga diamini oleh semua pembicara di forum ini kemudian, adalah sosok yang hebat dalam memilih person dan juga management. Dalam waktu yang lumayan singkat, dia bisa dengan tepat memetakan masalah dan menentukan solusinya.

"Kalau dia sudah memilih orang, dia berani pasang badan. 'Tembak kepala saya kalau dia enggak benar kinerjanya.' Jadi, kepalanya sebenarnya sudah dijaminkan kemana-mana," kelakarnya. Agus Marto, memang dua kali bekerja bersama di bawah Rodjo, Setelah di Niaga, Agus bersamanya juga membantu merger dan restrukturisasi empat bank menjadi Mandiri.

Tanri Abeng, punya cerita yang lebih menyiratkan sejuta makna. Dialah yang memilih Rodjo untuk menahkodai Garuda Indonesia di saat berdarah-darah. Utang Garuda saat itu mencapai USD1,2 miliar dan arus kas minus USD158 juta. "Saya minta dia ke Garuda. Kata dia, 'Kenapa saya harus ke sana? Saya orang kaya dan tidak butuh pekerjaan," kenang Tanri.

Ketika akhirnya menyepakati untuk duduk di kursi pertama itu, kata Tanri, Rodjo meminta dua syarat. Pertama, dia akan bekerja lebih dari enam jam sehari. Kedua, dialah yang akan memilih semua jajaran direksi di maskapai pelat merah tersebut. "Yang pertama jelas gugur karena Robby biasa totalitas dalam bekerja," tambahnya.


Suasana talkshow peluncuran buku
Maka Tanri kemudian melakukan banyak hal.Sejarah mencatatnya sebagai tangan dingin yang sukses membawa transformasi Garuda. Robby memang melakukan PHK dini terhadap setidaknya 3.000 karyawan. Dia juga memotong banyak rute-rute sepi seperti Prancis. Dia juga memperbaiki airtime perfomance Garuda Indonesia. Airtime perfomance, sebutnya, adalah trust yang harus benar-benar dijaga. Apalagi dalam bisnis jasa seperti maskapai penerbangan. .



Dirut baru Mandiri, Tiko, juga memiliki kesan kuat tentang beliau. Rodjo, menurutnya adalah kakek guru. Pasalnya, dia menganggap Agus Marto adalah gurunya. "Beberapa waktu lalu, saya jujur pernah dicalonkan menjadi dirut di Garuda. Tapi saya dengar beliau bicara, 'Agus (Agus Marto) ngomong apa? Jangan? Kalau jangan maka ga usah (jadi dirut Garuda)," begitu. Dia saat itu mengaku merasa umur dan kapasitasnya diragukan karena masih muda. Namun, Tiko juga mengingat mereka pernah bertemu di salah satu acara Mandiri, "Pak Rodjo bilang ke yang lain, tapi saya dengar, Itu dia (Tiko) boleh juga di sini (Mandiri)," senyumnya bangga. Saat itu, Wapemred saya memanasi beliau bahwa suksesi kepemimpinan bisa dibilang sukses bila penggantinya lebih bagus dibandingkan pendahulunya.

Selain mereka yang berbicara di depan, di forum itu, saya masih melihat beberapa kisah menarik. Pak Emir cerita bagaimana dia yang waktu itu masih di Hongkong ditarik ke Garuda untuk membenahinya. Mantan dirut Mandiri Budi Gunadi Sadikin cerita bagaimana dia dinilai oleh Rodjo dalam lima menit pertama. "Istri saya sampai bilang kalau dia itu gila," katanya. Beberapa tokoh penting lain, menyampaikan kesannya bahwa Rodjo adalah orang yang langsung bisa melihat, menilai dan memutuskan permasalahan dalam waktu cepat dan tepat.

Saya sering berpikir, betulkah ada orang-orang dengan kapasitas seperti itu? Kalaupun ada, apakah itu pemberian (given), dipelajari dan dilatih? Kalau dilatih, bagaimana membiasakan diri dan melatih bagaimana membaca dan menganalisis suatu permasalahan? Dari ratusan halaman itu, saya mengingat salah satu poin penting tulisan dia:

"Di Indonesia, bila masalah menentukan dan menempatkan pemimpin selesai, maka hampir semua masalah dapat diselesaikan,"








Komentar