Menyoal Dunia yang Semakin Berat Sebelah; Sebuah Racauan

Kendati sudah lebih dari lima tahun mengikuti kabar-kabur bidang ekonomi, saya sebenarnya masih sering bertanya sendiri. Sebenarnya, semua ini untuk apa? Ekonomi Pancasila yang berkeadilan sosial untuk rakyat, itu rakyat yang mana? Terus, semua hal jelimet dan tinggi di angkasa itu apa sebenarnya dan paling menguntungkan pihak yang mana?


Apakah Sistem Kapitalisme Terbaik?
Kapitalisme yang Kejam (Shutterstock)

Pas lagi bengong mikirin begituan, sejurus, seseorang menepuk pundak saya. "Heh, hari ini beli saham apa?" Hahaha...kocak. Dunia sungguh aneh, saya melamun. Sungguh penampilan luar begitu menipu. Jadi ingat pesan Rasululloh SAW untuk tidak terlena pada mata dan gemerlap dunia. Mengapa saya yang sedang mempertanyakan dimana baiknya kapitalisme bisa mendapat pertanyaan yang begitu kapitalis? Hufth...

"Ya ampun, mana gue tahu. Emangnya gue dukun," saya menjawab dengan kesal, sedikit.

Pasar saham luruh lagi akhir pekan kemarin. Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS terus melemah menjauhi Rp15.000. Soalnya, data-data ekonomi di negeri Om Sam sana makin positif. Suku bunga obligasi AS naik. Investor asing kabur.

Seperti yang sudah saya bilang kemarin, mereka sakit kita ikut sakit. Mereka sembuh? Kita makin meriang. Sekali lagi, saya bertanya, sistem kapitalisme itu menguntungkan siapa dan terbaik untuk pihak yang mana? Pingin tanya gitu sebenarnya sama Adam Smith dari lubang kuburnya. Ih, kok horror ah!


Apakah Kapitalisme Sistem Terbaik?
Salim sama Prof.Adam Smith (foto: www. bbc.co.uk)

===

Pikiran saya terbang lagi ke pengalaman beberapa tahun lalu. Seorang teman SMA bilang dia menemukan Majalah Fortune Indonesia di ruang tunggu dokter. Dia iseng membuka dan menemukan tulisan saya.

"Aku benar-benar baca tulisan itu sampai habis demi merasa kenal siapa yang nulis. Sumpah, tapi tidak satu kalimatpun aku ngerti maksudnya," komentarnya. Terus jadi dia lebih milih Candy Crush saja yang tidak banyak menuntut.

Orangtua saya di Kebumen komentar lebih kocak. "Majalahmu itu harganya Rp50 ribu? Mahal amat. Mama baca tulisanmu itu kalau susah tidur jadi langsung merem," katanya. Baiklah, mamaku memang luar biasa. Wkwk...

Jadi sekali lagi, ekonomi pancasila, untuk siapa? 

---

Sebenarnya, semua prinsip dasar investasi atau berdagang di pasar keuangan sama saja dengan prinsip menjual gorengan, bakso, permen atau apa saja. Hanya saja, karena datangnya dari Profesor di Amerika Serikat sana, mereka lebih suka memakai bahasa planet nan jelimet.

Mendapatkan harga semurah-murahnya dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, sesuai dengan prinsip dasar ekonomi.

Pada pasar saham misalnya. Prinsipnya adalah membeli saham semurah-murahnya untuk dijual kembali pada harga yang tinggi. Masalahnya adalah kita enggak tahu kapan harga sudah berada di bawah atau murah (support) ataupun mahal (resistance). Apakah berarti bisnis es teh manis lebih pasti? Menurut saya sih enggak juga ya. Memang siapa yang bisa menebak pasti bahwa harga gula pasir tetap Rp10 ribu sampai akhir 2019? Gula pasir kita kan masih impor guys.

Tapi, bukan berarti pasar saham adalah dunia yang murni tebak-tebak buah manggis. Para ahli dengan gelar berderet itu telah membuat semacam teori. Salah satunya menggunakan ilmu tren dan prediksi. Dasarnya? Kalimat serupa mantra, history repeat its self. Sejarah pasti akan berulang. 

Jadi kalau harga saham BBRI sekarang Rp2 ribu/lembar tapi dua tahun lalu pernah Rp3000, sejarah pasti akan berulang. Merem sekalipun, kata mereka, saham bank pelat merah terbesar di Indonesia ini pasti akan balik lagi ke Rp3000. Kapan? Atuhlah, saya bukan dukun. Wkwk...

Tapi mengapa pasar saham bisa begitu bergejolak? Toh kita sama-sama tahu suatu saat, harga suatu saham akan kembali naik.

Tentu saja, karena ekspektasi. Prediksi terbaik tentang kapan sejarah itu berulang. Mereka-mereka itu sendiri yang membuat dan menerapkan teorinya dengan sejumlah sentimen.
AS mau perang dagang dengan Tiongkok? Mereka kabur dan takut. Situasi di Italia dan Turki makin parah? Mereka takut kita akan ketularan demam. Bank Sentral AS akan menaikkan suku bunga kembali? Mereka gelisah.
Mereka yang bermain di jangka pendek jelas paling khawatir. Siapa? Kita semua menyebutnya dengan trader (keluar masuk suatu saham dalam satu hari), bandar, hedge fund (pengelola dana) ataupun pemain institusi (seperti BPJS Ketenagakerjaan, Taspen atau asuransi dan dana pensiun). Bagi mereka-mereka itu, selisih (gain) sebesar 2-3% saja sehari sangat berharga. Ya bayangin saja, dana kelolaan mereka bisa ratusan triliun rupiah!



Menguji Sistem Kapitalisme
Pesan Pram yang Ini juga Serupa Mantra (Sumber: www.geotimes.co.id)

Baiklah, kata Pramoedya Ananta Toer, terpelajar harus adil sejak dalam pikiran. Di sini, saya menyebut pasar saham di Indonesia tidak adil. Dalam sebuah kawah besar, pemain-pemain kecil (semut) harus berhadapan langsung dengan para raksasa itu. Pengamat Perbankan dan Pasar Modal Yanuar Rizky pernah bilang, di Indonesia, regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum memiliki regulasi jelas terkait perlindungan konsumen ritel di pasar modal. Edukasi pasar modal seperti Yuk Nabung Saham, hanya mengiming-imingi mereka dengan janji surga. Kayak cerita penuh madu Lo Kheng Hong. Peluang mendapatkan imbal hasil (gain atau dividen) yang besar dari investasi saham dalam satu kedip mata. 

Risikonya? Seperti apa yang terjadi pada investor ritel yang terjebak pada saham PT. Tiga Pilar Sejahtera Tbk (AISA) sering tidak diceritakan. Saya akan adil saja. Lihat di sini. Seorang investor ritel mempercayakan semua tabungannya dalam AISA. Dia membeli AISA di harga Rp500 per lembar menjadi Rp150. Siapa yang tidak stres dan pusing coba kan? Semoga kuat ya Pak!

Tapi, kepada seorang teman yang sedang saya dorong untuk menjadi trader, saya membuat pembelaan epik.
"Apa kemudian kita akan diam saja terutama pada asing-asing itu? Sampai kapan kita hanya puas menjadi tuan rumah yang dengan ramah membiarkan orang-orang asing itu menjajah? Menambang apapun di sektor riil seperti SDA, SDM dan juga keuangan? Apakah kita cukup puas hanya dengan menjadi penonton di pinggir lapangan dengan sejuta kisah suksesnya?
Di pasar saham, dan surat utang, investor domestik itu masih kalah jauh dibandingkan dengan asing. Karenanya, kalau mereka kabur (menarik dana), pasar langsung demam. Jadi, ini demi merah putih. Ayolah!

Bagaimana harus menyikapi volatilitas di pasar modal?

Tenang saja. Kalau kamu merasa terlalu banyak menyerap informasi dari sekelilingmu membuatmu jengah, jangan dengarkan. Warren Buffet sekalipun pernah bilang, tidur (tidak melakukan apapun) seringkali menjadi langkah yang terbaik. 

Enggak siap menjadi trader? Saya sepakat, nabung saham saja dengan jumlah nominal yang sama setiap periodenya. Ekonom itu menyebutnya dengan strategi dollar cost averaging. Setiap bulan, sisihkan Rp1 juta misalnya untuk investasi di saham atau reksa dana saham. Lihat pada saham-saham yang masuk kategori indeks LQ-45. Apa itu? Saham-saham yang paling sering dijual belikan atau ditransaksikan investor. Bahasa mereka liquid, karena siapa saja bisa masuk dan keluar kapan saja. Contohnya? Hampir semua saham perbankan dan BUMN. Setelah itu tinggalkan. Cek kembali setiap bulan atau semester (enam bulan sekali). Jangan kelamaan.

Dalam sebuah kelas pelatihan yang diselenggarakan Panin Sekuritas, saya bertemu investor. Setiap bulan dia menabung saham PT. Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT. Unilever Indonesia Tbk (UNVR). MEREM. Dalam satu atau dua tahun gitu, investasinya sudah tumbuh sampai 50%. Enak enggak? Kalau main jangka pendek lebih besar sih. Wkwkwk...ampun

===

Iya, pada akhirnya, saya sedang kepengen tanya. Mengapa semua negara akhirnya sepakat menganggap kapitalisme dan demokrasi sebagai sistem terbaik di dunia sih? Kenapa bukan sosialisme? Atau kenapa bukan yang lain?

Saya tidak menemukan kapitalisme sebagai jawaban terbaik. Ia membuat yang kaya makin kaya makin kaya dan yang miskin atau kelas menengah tetap berada di tempatnya. Contohnya ya dari pasar saham itu. Tapi karena tidak memiliki solusi dan jalan keluar yang lebih baik, saya memilih bertahan saja di sistem ini. Pasrah gitu sih ya lebih tepatnya.

Dan, Ah, sekali lagi. Nyerocos saja tanpa teori dan ilmu. Pusing. 

Komentar

Posting Komentar