Apakah Saya Sudah Cukup Sehat Secara Mental?
"Duit kamu kan banyak, sudah tidak butuh duit," begitu kata seorang teman, dalam suatu obrolan.
Ada teman lain dalam pembicaraan tersebut. Teman ini ternyata juga mengiyakan. "Duit lo kan banyak, beda lah sama gue," komentarnya.
Untuk semua kalimat baik itu, saya kadang bingung harus menjawab apa. Mengeluh jadi terlihat tidak bersyukur, sombong juga tidak tepat. Maka saya akan menjawabnya dengan satu kalimat doa.
"Aaamin. Semoga Malaikat dan Tuhan mengabulkan."
Saya kadang heran. Bagaimana ya, mereka melihat dan menilai saya. Dan bagaimana pula saya menampakkan diri di depan mereka. Saya tidak menenteng tas atau sepatu bermerek. Baju apalagi. Handphone saya sudah tiga tahun tidak diganti. Kalaupun doyan jajan di mall, saya melihatnya sebagai win-win solution. Karena harus ngobrol penting dan serius misalnya.
===
10 Oktober lalu adalah hari kesehatan jiwa dunia. Saya baru 'ngeh ada hari seperti itu. Seorang kolumnis menulis di dinding Facebooknya. Langkah pertama menjaga mental kita tetap waras, katanya, adalah jujur kepada diri kita sendiri. Tentang apa yang kita rasa. Tentang apa yang terjadi pada diri kita.
"Saya kesal dan marah dengannya karena satu hal," tulisnya. "Atau saya jatuh cinta pada dia tetapi salah tempat, waktu dan orang," tambahnya. Kalau perlu, si-mbak ini juga menyarankan untuk mengungkapkannya. Malu dan tidak biasa? Bisa ditulis. "Love You, Bapak dan Ibuk," misalnya.
Hal sederhana lain yang membuatmu tetap waras menghadapi kerasnya dunia adalah menjadi diri sendiri. Terlihat sederhana tetapi memang nyatanya tidak. Jangan pernah merasa kamu harus selalu menyenangkan orang lain saat sebenarnya pengen kesel. Jangan menampakkan diri selalu kuat ketika kamu sedang ambyar, kayak fans-nya Didi Kempot.
Kalau tidak kuat menanggungnya sendiri, pastikan ada tempat atau seseorang untuk bersandar. Ada tempat sampah untuk melampiaskan diri. Kabar bunuh diri artis Korea Sulli f (x) juga menjadi pengingat. Kesehatan mental adalah penyakit serius yang terus mewabah.
Saya menonton Joker di bioskop beberapa kali setelahnya. Film yang luar biasa sekali. Menggambarkan betapa berbagai candaan, tudingan dan cemooh memiliki peran besar bagi kesehatan diri. Itu saja, sudah banyak opini terkait film Joker. Tak perlu lagi saya tambah komentar yang lebih awam.
===
Seorang Doktor dari Australia masuk dalam sebuah ruang diskusi malam itu. Dia memulai ceramah ilmiahnya dengan sebuah pertanyaan. "Apakah semua yang hadir di sini yakin bahwa Anda lebih pintar dari simpanse?"
Kemudian, dia meminta kami menjawab 13 pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya dunia berputar dan bergerak. Berapa persen orang miskin di dunia? Bagaimana akses mereka pada kesehatan dan pendidikan? Semacam itu. Dari 13 pertanyaan. saya hanya benar enam saja.
Saya baru tahu bahwa pertanyaan tersebut ada dalam buku Fuct Fullness oleh Hans Rosling. Buku yang membuat kita melihat dunia dari sisi yang lain, kata Bill Gates dalam salah satu endorsementnya.
Dia juga mengajak kita bermain-main. Salah satunya adalah gambar di bawah ini. Bapak Doktor mengambilnya dari buku yang juga fenomenal: Little Prince (Le Petit Prince) karya Antoine de Saint-Exupéry.
Wuakaka...saya duduk paling depan malam itu dan ngakak. Saya menyebut bahwa gambar ini adalah jerapah mati. Ingatan saya langsung jatuh pada sebuah reality show Korea, Youth Over Flower. Waktu itu Park Bo Gum dan Ryu Jun Yeol liburan di Afrika Selatan. Mereka menemukan jerapah yang mati di pinggir jalan. Persis seperti itu gambarnya. Teman sebelah saya langsung memandang aneh. "Ora nyambung blas," kata dia.
Inti ceramah ilmiahnya malam itu adalah betapa mengerikannya bila kita selalu berpikir tahu segalanya. Dunia kadang bergerak sebaliknya. Berpikir sesuai pakem dan mainstream juga mengerikan. Tidak pernah keluar dari kotak yang ternyata membatasi kita dengan banyak sekali hal.
Tapi tenang saja, kita ternyata tidak sendiri. Penelitian menyebutkan, 80% keputusan merger dan akuisisi dalam bisnis justru hanya mempertimbangkan kepetingan stakeholder. Bukan kepentingan organisasi secara umum. Setidaknya 17% dari putusan hakim di seluruh dunia juga tidak tepat.
Dia kemudian juga berpesan pada kita untuk melihat tujuh kesalahan fatal dalam organisasi atau bisnis. Semuanya sangat relevan dengan apa yang sedang terjadi di era transformasi. Era disrupsi, bahasanya Rhenald Kasali atau jurnal manajemen terkini.
Seorang katak pasti akan meloncat keluar bila dimasukkan dalam air panas. Namun, tidak bila si-katak masuk dalam air suam-suam kuku. Kemudian, secara konsisten, suhunya dinaikkan. Dia akan mati tanpa sadar. Mati dalam kenyamanan. Pelajarannya? Comfort zone will kill you atau bahasa yang lebih keren lagi, there are no growth in comfort zone.
===
Jadi, intinya apa sih, Gin? Kebiasaan banget, nulis panjang gak ada isinya.
Ehehe...sebenarnya cuma mau curhat,
Dunia seperti apa sih yang sedang kita tinggali sekarang?
Sering gitu, saya merasa bahwa kalian itu keliru menilai saya. Saya tidak sedang baik-baik saja diantara semua hiruk-pikuk ini. Ada kecemasan luar biasa yang sedang saya rasakan. Saya sedang putus asa. Saya mungkin juga butuh teman atau lebih hebat lagi mentor. Dalam bahasa alay, saya sedang rapuh.
Dan saya tidak memakai topeng apapun. Saya juga tidak mengenakan make-up. Apakah mereka salah menebak karena posting media sosial saya? Enggak. Saya sekarang sudah berada pada fase malas mengunggah apapun di media sosial meski aktif membukanya. Dunia itu menjadi terlalu berisik dan riuh untuk menerima apapun unggahan saya.
Lalu kalau begitu, ini salah siapa? Apakah salah saya yang memberikan sinyal tentang kesehatan mental? Mungkin saya harus telanjang untuk mengatakan pada semua orang bahwa saya tidak baik-baik saja.
Atau mereka, kita, yang kerap kali juga salah menilai seseorang. Hanya melihat sekilas saja pada apa yang terjadi di sekitar kita? Kita merasa bahwa dunia ini adalah tentang kita- keputusan, kepentingan dan kesejahteraan kita saja? Mungkin karena 24 jam waktu yang ada itu kurang sehingga kita sudah enggan mencari dan menemukan, makna?
Mereka bilang kita harus membuka diri karena dunia tidak selebar daun kelor. Berpikir di luar kebiasaan. Membuka diri atau mati. Berbagi atau kalah dilahap persaingan.
Buat apa berbagi kalau pada akhirnya kita sendiri yang akan repot? Kesulitan sendiri? Buat apa berbagi kalau bagi mereka, kita tidak lebih dari sekedar pijak anak tangga untuk mencapai yang lebih tinggi. Bagaimana kalau kita tidak lebih dari sebuah alternatif terakhir? Bahkan setelah menjadi keset terakhir itu, kita ternyata tidak kompeten dan hanya menimbulkan kekacauan saja?
Keluar dari kotak, kotak yang seperti apa? Berpikir non-linear, itu yang seperti apa? Mencoba hal baru, hal yang bagaimana? Tidak ragu memilih dan memutuskan, bagaimana kalau yang dilakukan tidak lebih dari membuat kekacauan saja?
Dunia ini sedang bergerak kemana sih? tanya saya lagi.
Kenapa hanya sesak yang tiba-tiba saya rasakan. Mungkin saya harus membeli buku Mark Manson: Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat. Orang-orang mungkin sering merasa persis seperti apa yang saya rasakan. Itulah mengapa, bukunya selalu masuk dalam deretan pajangan best-seller di toko buku.
Haha...
Sudahlah.
Ada teman lain dalam pembicaraan tersebut. Teman ini ternyata juga mengiyakan. "Duit lo kan banyak, beda lah sama gue," komentarnya.
Should we answer all the question? How about worse? |
"Aaamin. Semoga Malaikat dan Tuhan mengabulkan."
Saya kadang heran. Bagaimana ya, mereka melihat dan menilai saya. Dan bagaimana pula saya menampakkan diri di depan mereka. Saya tidak menenteng tas atau sepatu bermerek. Baju apalagi. Handphone saya sudah tiga tahun tidak diganti. Kalaupun doyan jajan di mall, saya melihatnya sebagai win-win solution. Karena harus ngobrol penting dan serius misalnya.
===
10 Oktober lalu adalah hari kesehatan jiwa dunia. Saya baru 'ngeh ada hari seperti itu. Seorang kolumnis menulis di dinding Facebooknya. Langkah pertama menjaga mental kita tetap waras, katanya, adalah jujur kepada diri kita sendiri. Tentang apa yang kita rasa. Tentang apa yang terjadi pada diri kita.
"Saya kesal dan marah dengannya karena satu hal," tulisnya. "Atau saya jatuh cinta pada dia tetapi salah tempat, waktu dan orang," tambahnya. Kalau perlu, si-mbak ini juga menyarankan untuk mengungkapkannya. Malu dan tidak biasa? Bisa ditulis. "Love You, Bapak dan Ibuk," misalnya.
Hal sederhana lain yang membuatmu tetap waras menghadapi kerasnya dunia adalah menjadi diri sendiri. Terlihat sederhana tetapi memang nyatanya tidak. Jangan pernah merasa kamu harus selalu menyenangkan orang lain saat sebenarnya pengen kesel. Jangan menampakkan diri selalu kuat ketika kamu sedang ambyar, kayak fans-nya Didi Kempot.
Kalau tidak kuat menanggungnya sendiri, pastikan ada tempat atau seseorang untuk bersandar. Ada tempat sampah untuk melampiaskan diri. Kabar bunuh diri artis Korea Sulli f (x) juga menjadi pengingat. Kesehatan mental adalah penyakit serius yang terus mewabah.
Jangan pernah merasa harus selalu bahagia, kata Joker |
Saya menonton Joker di bioskop beberapa kali setelahnya. Film yang luar biasa sekali. Menggambarkan betapa berbagai candaan, tudingan dan cemooh memiliki peran besar bagi kesehatan diri. Itu saja, sudah banyak opini terkait film Joker. Tak perlu lagi saya tambah komentar yang lebih awam.
===
Seorang Doktor dari Australia masuk dalam sebuah ruang diskusi malam itu. Dia memulai ceramah ilmiahnya dengan sebuah pertanyaan. "Apakah semua yang hadir di sini yakin bahwa Anda lebih pintar dari simpanse?"
Kemudian, dia meminta kami menjawab 13 pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya dunia berputar dan bergerak. Berapa persen orang miskin di dunia? Bagaimana akses mereka pada kesehatan dan pendidikan? Semacam itu. Dari 13 pertanyaan. saya hanya benar enam saja.
Saya baru tahu bahwa pertanyaan tersebut ada dalam buku Fuct Fullness oleh Hans Rosling. Buku yang membuat kita melihat dunia dari sisi yang lain, kata Bill Gates dalam salah satu endorsementnya.
Dia juga mengajak kita bermain-main. Salah satunya adalah gambar di bawah ini. Bapak Doktor mengambilnya dari buku yang juga fenomenal: Little Prince (Le Petit Prince) karya Antoine de Saint-Exupéry.
Cek caramu memandang dunia dari gambar ini |
"Kalau kalian menjawab bahwa gambar ini adalah topi, maka dapat dipastikan bahwa Anda terlalu banyak sekolah. Sudah saatnya belajar di tempat lain selain sekolah," katanya.
Wuakaka...saya duduk paling depan malam itu dan ngakak. Saya menyebut bahwa gambar ini adalah jerapah mati. Ingatan saya langsung jatuh pada sebuah reality show Korea, Youth Over Flower. Waktu itu Park Bo Gum dan Ryu Jun Yeol liburan di Afrika Selatan. Mereka menemukan jerapah yang mati di pinggir jalan. Persis seperti itu gambarnya. Teman sebelah saya langsung memandang aneh. "Ora nyambung blas," kata dia.
Inti ceramah ilmiahnya malam itu adalah betapa mengerikannya bila kita selalu berpikir tahu segalanya. Dunia kadang bergerak sebaliknya. Berpikir sesuai pakem dan mainstream juga mengerikan. Tidak pernah keluar dari kotak yang ternyata membatasi kita dengan banyak sekali hal.
Tapi tenang saja, kita ternyata tidak sendiri. Penelitian menyebutkan, 80% keputusan merger dan akuisisi dalam bisnis justru hanya mempertimbangkan kepetingan stakeholder. Bukan kepentingan organisasi secara umum. Setidaknya 17% dari putusan hakim di seluruh dunia juga tidak tepat.
"Mengapa? Because were a linear thinker in non-linear world," sabdanya. Magis.
Dia kemudian juga berpesan pada kita untuk melihat tujuh kesalahan fatal dalam organisasi atau bisnis. Semuanya sangat relevan dengan apa yang sedang terjadi di era transformasi. Era disrupsi, bahasanya Rhenald Kasali atau jurnal manajemen terkini.
Seorang katak pasti akan meloncat keluar bila dimasukkan dalam air panas. Namun, tidak bila si-katak masuk dalam air suam-suam kuku. Kemudian, secara konsisten, suhunya dinaikkan. Dia akan mati tanpa sadar. Mati dalam kenyamanan. Pelajarannya? Comfort zone will kill you atau bahasa yang lebih keren lagi, there are no growth in comfort zone.
===
Jadi, intinya apa sih, Gin? Kebiasaan banget, nulis panjang gak ada isinya.
Ehehe...sebenarnya cuma mau curhat,
Dunia seperti apa sih yang sedang kita tinggali sekarang?
Sering gitu, saya merasa bahwa kalian itu keliru menilai saya. Saya tidak sedang baik-baik saja diantara semua hiruk-pikuk ini. Ada kecemasan luar biasa yang sedang saya rasakan. Saya sedang putus asa. Saya mungkin juga butuh teman atau lebih hebat lagi mentor. Dalam bahasa alay, saya sedang rapuh.
Dan saya tidak memakai topeng apapun. Saya juga tidak mengenakan make-up. Apakah mereka salah menebak karena posting media sosial saya? Enggak. Saya sekarang sudah berada pada fase malas mengunggah apapun di media sosial meski aktif membukanya. Dunia itu menjadi terlalu berisik dan riuh untuk menerima apapun unggahan saya.
Lalu kalau begitu, ini salah siapa? Apakah salah saya yang memberikan sinyal tentang kesehatan mental? Mungkin saya harus telanjang untuk mengatakan pada semua orang bahwa saya tidak baik-baik saja.
Atau mereka, kita, yang kerap kali juga salah menilai seseorang. Hanya melihat sekilas saja pada apa yang terjadi di sekitar kita? Kita merasa bahwa dunia ini adalah tentang kita- keputusan, kepentingan dan kesejahteraan kita saja? Mungkin karena 24 jam waktu yang ada itu kurang sehingga kita sudah enggan mencari dan menemukan, makna?
Mereka bilang kita harus membuka diri karena dunia tidak selebar daun kelor. Berpikir di luar kebiasaan. Membuka diri atau mati. Berbagi atau kalah dilahap persaingan.
Tapi kadang, saya merasa, raksasa dalam diri saya itu jahat banget. Belingsatan banget. Saya sering mikir, buat apa saya berbagi kalau pada akhirnya hanya dimanfaatkan? Bagaimana kita mempercayai seseorang dan memastikan kita sedang tidak ditikung?
Buat apa berbagi kalau pada akhirnya kita sendiri yang akan repot? Kesulitan sendiri? Buat apa berbagi kalau bagi mereka, kita tidak lebih dari sekedar pijak anak tangga untuk mencapai yang lebih tinggi. Bagaimana kalau kita tidak lebih dari sebuah alternatif terakhir? Bahkan setelah menjadi keset terakhir itu, kita ternyata tidak kompeten dan hanya menimbulkan kekacauan saja?
Keluar dari kotak, kotak yang seperti apa? Berpikir non-linear, itu yang seperti apa? Mencoba hal baru, hal yang bagaimana? Tidak ragu memilih dan memutuskan, bagaimana kalau yang dilakukan tidak lebih dari membuat kekacauan saja?
Dunia ini sedang bergerak kemana sih? tanya saya lagi.
Kenapa hanya sesak yang tiba-tiba saya rasakan. Mungkin saya harus membeli buku Mark Manson: Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat. Orang-orang mungkin sering merasa persis seperti apa yang saya rasakan. Itulah mengapa, bukunya selalu masuk dalam deretan pajangan best-seller di toko buku.
Haha...
Sudahlah.
Komentar
Posting Komentar