You Deserves Better, Mbak

Aku penasaran dengan matanya sekarang. Dua mata yang pasti akan sangat berbeda dengan apa yang kulihat dahulu. Orang bilang, mata adalah cerminan hati dan jiwa. Aku mendengar hidup mempermainkannya. Dewi keadilan menutup mata pada tangis tengah malamnya.



you always deserves better



Aku ingin melihat apakah aku sanggup menatap dua bola matanya.

Dan ternyata aku sanggup, bisa.

Matanya yang hitam itu cekung. Dan sekali melihatnya, aku langsung bisa melihatnya. Kepedihan, kesedihan, dan kelelahan. Tidurnya tidak nyenyak, aku tahu. Bila lama berkubang dalam kenestapaan, kadang kamu akan bangun pada malam gelap. Tanpa sebab. Mengulang kembali apa yang sudah dan sedang terjadi.

Ketika tersadar di pagi hari, kamu akan langsung merasa lelah. Rapal doa syukur seperti hilang dari kamusmu. Kamu hanya merasa, bertahan saja sudah membutuhkan semua dayamu. Pagi tak berarti apapun kecuali lembar kalender.

Yang paling terlihat dari jendela hati itu adalah garis lengkung hitam yang begitu dalam. Mata itu menceritakan ratusan bahkan ribuan kisah. Selama bertemu dengannya, dia beberapa kali tersenyum. Terutama ketika saya menceritakannya cerita lucu. Namun, saya tahu, senyum yang ada di bibirnya tidak sampai ke hatinya. Itu tipe senyum kamuflase yang kamu pasang pada semua orang.

Namun, di meja makan, kalimat itu keluar juga. "Dia sudah membuat keputusan besar untuk mengakhiri semuanya. Semua yang dipertahankannya selama lebih dari 17 tahun itu sudah berakhir sekarang."

Ibunya melanjutkan dengan nada yang ditegarkan. "Dia suka bilang ke saya, peluk donk Mi," katanya.

Seketika ada rasa dingin meluncur di dada. Nafasku tiba-tiba tercekat dan terasa sesak. Air mata ini tumpah tanpa bisa lagi ditahan. Salahkah kalau aku memberikan selamat? Karena telah membuat sebuah langkah besar. Apakah kamu akan tersinggung, bila aku mengucapkannya padamu. " Selamat menempuh hidup baru, Mbak"

YOU DESERVES BETTER

Tidak. Itu tidak pernah aku ucapkan.

Ketika aku pamit pulang, dia mengagetkanku. "Aku bikin buku lho."

Aku sedikit tersentak? Batinku berbisik lagi. Apakah aku kini akan diharuskan membaca seluruh lara hatimu dalam bentuk kata dan kalimat, MBak? Sanggupkah aku?

Ternyata tidak. Kamu memberikanku sebuah buku antologi Haiku. Haiku? Aku bahkan tak tahu apa itu haiku. Ternyata puisi lama Jepang dengan aturan suku kata dan rima.

Pada akhir hari yang menyesakkan itu, aku bilang padamu.

"Aku baca dan nanti aku tulis resensinya ya mbak, janji"

Sudah untuk hari ini. Aku ingin hari ini segera berlalu. 

Komentar