Salahkan Semuanya Pada Greenspan, Sang Biang Kerok

Abad Prahara
Shutterstock


Libur Lebaran tahun ini, saya mudik lama sekali. Hampir satu bulan. Sudah pulang sebelum periode mudik pemerintah (yang juga lama). Saya juga kembali setelah mereka masuk kerja. Hihi...

Imbasnya, mesin-mesin produksi dalam diri lama benar panasnya. Sebabnya, selama libur, saya hanya tidur serta selancar di dunia maya (dan nyata) mencari gamis, jilbab dan kuliner enak. Ah, itu indah sekali bukan?

Sayangnya, keindahan itu seperti menonton film. Tidak nyata. Ketika saya membuka isi dompet, kenyataan pahit menyergap. Kemana segala receh dan lembar-lembar merah itu pergi ya? Kenapa dompetnya kosong? Wkwk...

Selama mudik, saya membawa Alan Greenspan. Ternyata, membawanya turut serta menjadi kesalahan besar. Soalnya, orangtua cuma ingin saya pulang membawa uang dan calon mantu. Wkwk...SUPPERR RETCEH, Gin!!

Siapa Greenspan? Cari sendiri di Google. Soalnya, dia juga saya ambil random saja dari rak di Blok-M Square. Ketika memutuskan membawa pulang, saya lebih mementingkan imej dan harga diri. Sebabnya, hari itu, saya pergi bersama rombongan yang kalap belanja buku. Masa saya enggak beli? Sampai rumah, saya yakin kalau takdirnya di tangan saya tidak akan lebih dari bantal tidur dan hiasan rak.

Dalam Abad Prahara, Alan Greenspan menyebut dunia kini memasuki the new normal era. Ini frasa yang biasa saja sekarang. Namun, saat dia menulisnya dulu, frasa ini terdengar sangat canggih.

Ketidakpastian pasti akan selalu ada sepanjang hidup, katanya. Jadi, jangan bingung, jangan resah dan gundah. Hadapi saja. Tapi, bagaimana menghadapi semua hal yang serba tidak pasti? Apa yang harus dilakukan saat paceklik? Saat-saat uang tidak lagi bisa didapat sembari ongkang-ongkang kaki? Sabar saja sih, nasehat Greenspan. Krisis pasti akan berlalu. Masa-masa suram dalam hidup hanya siklus untuk menuju hidup baru. Sabar, ini ujian, istilah warganet zaman now.

Bejibaku di KRL Jakarta-Depok setiap hari pada awalnya pasti melelahkan. Tapi, setengah tahun menjalaninya pasti sudah biasa. Tiada lagi amarah karena tidak manusiawinya kondisi KRL. Itulah the new normal era.

The new normal era juga menggambarkan betapa kesakitan serupa obat. Penangkal untuk membuat diri semakin setrong. Sesakit dan pedihnya luka itu akan mengering seiring berjalannya waktu. Eaak...syedap. Ngomong apa nih?
Tapi dipikir selama libur kemarin, kok rasanya sulit ya percaya sama si Greenspan ini. Pernah dengar paparan lembaga-lembaga asing mengenai perekonomian Indonesia? Bagus. Bahkan terdengar terlalu bagus dan percaya diri. Kayak rayuan, memabokan.

Kalau mendengar rayuan mereka yang mendayu-biru itu, saya jadi suudzon. "Baik banget sih sama negara orang. Pasti situ pengen maling atau rampok ya di sini?" batin saya. Salah ya? Ah, maafkan, hati saya memang kotor. Mungkin sudah saatnya diruqyah.

Memang sih, pepatah menyebut rumput tetangga pasti selalu lebih hijau dibanding rumput sendiri. Apa begitu? Kalau ke Singapura misalnya, pasti kita akan menjadi gagap dan minder. Rapih banget, maju banget. Kapan ya Indonesia akan begini? Begitu katanya suara-suara kaum kalah.

Sebaliknya, dalam kacamata AS, negaranya tidak lagi menarik sebagai tempat ternak uang. Mereka lebih memilih ternak uangnya di luar negeri. Emerging markets seperti Indonesia, justru dianggap memiliki rumput yang lebih hijau dan segar. Karena itu, Donald Trump ambisi. Dia bersumpah untuk membawa pulang Dollar yang terlalu lama tamasya. Genderang perang dagang ditabuh.

Setelah pernyataan-pernyataan kontroversialnya, dunia bergejolak. Pasar keuangan terbakar isu perang dagang. Dalam hiruk pikuk itu, gonjang-ganjing pasar saham benar-benar terasa. Longsor dalam.

Siapa korbannya? Ya investor ritel yang tidak tahu apa-apa seperti saya. Hihi... Duit-duit yang didapat dengan peluh dan keringat selama sebulan, tiba-tiba saja  amblas dalam kedip layar komputer. Padahal, sebelumnya saya menepuk dada karena sukses menyeret satu teman. Dia masuk di pasar saham dan investasinya langsung menguap puluhan persen. Wkwk....

Coba ajari saya. Bagaimana kira-kira melihat kejatuhan ini sebagai sebuah lompatan? Jeda untuk menuju the new normal? Ah....susah.

Dalam kehidupan pribadi, the new normal era lebih susah dijalani. Saat ini, kehidupan pribadi saya mungkin sedang sedikit bergejolak. Kalau boleh mengulang waktu, saya tidak akan mengambil jalan ini. Saya merasa salah jalan dan menyesal. Setelah itu, saya merasa berjalan di pinggir tebing curam.

Takut, cemas, gelisah. Saya kemudian terjebak dengan penilaian dan raihan orang lain. Sekonyong-konyong, itu membuat saya menjadi pribadi yang kalah. Itu menohok. Lalu terdengar,

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (ujian) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah amat dekat (Al-Baqarah: 224)

Meski yakin kegalauan dan kegelisahan adalah sebuah ujian, sulit rasanya melihat hal tersebut sebagai upaya untuk naik kelas. Banyak hal yang hilang dan menjauh. Semua pintu seolah tertutup. Yang tinggal hanya kegelapan. Meski sudah mencoba bersabar, saya masih belum bisa melihat adanya jalan keluar. Saat IA membisiki saya lagi, jelas dan diulang:

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan (Al-Insyirah: 5-6)

Janji-janji Tuhan itu, seringkali tidak menenangkan saya. Tidak menghilangkan kegalauan yang menggelayuti perasaan saya. Kadang, saya bahkan merasa sudah tidak pantas lagi mengeluh dan mengadukan banyak sekali hal pada Sang Maha. Malu gak sih? Kenapa mengeluh terus, meminta terus? Kenapa tidak coba ikhlas dan pasrah?

Pada akhirnya, saya hanya mengulang-ulang permohonan: Rabb, tolong tempatkan dunia di bawah kaki saya. Bukan di dalam hati saya. Saya merasa tidak sanggup.





Doakan ya, doakan saya kuat dan mampu. Mencapai the new normal era dalam hidup saya. Juga pada perekonomian nasional tentu saja. Karena sekarang, dia juga sedang "diuji" agar semakin kuat. Rupiah melemah, inflasi naik, daya beli rendah, manufaktur tidak bergairah. Sedih ya?


Tak apa. Nanti, pada suatu ketika, yakin saja, kita akan tersenyum dan menyapanya hangat: selamat datang the new normal era. 


Komentar