Ketika Saya Bertanya, Apa Sih Sebenarnya Mau Kapitalisme


Banyak hal yang berseliweran di dalam kepala sekarang. Kayak nyamuk nakal yang minta ditepuk. Skalanya dari penting sampai tidak penting, beberapa malah mendekati sampah. 

SDM di Era Industri 4.0
Apa Sih Maunya Kapitalisme? (Foto: Shutterstock)

Ketidakpastian di masa yang akan datang, kata para filsuf, adalah alasan kuat untuk dicemaskan dan dikhawatirkan. Ya iyalah, buat apa khawatir pada hal yang sudah lalu? Itu namanya penyesalan. Ah, para filsuf memang pintar omong saja.

Tapi sungguh saya bingung.

Apa sih yang diinginkan oleh para kapitalis, pemimpin bisnis atau pemerintah itu?

Mereka bilang pengembangan bisnis ke depan perlu seseorang dengan kemampuan spesifik. Skala mikro. Makin spesifik makin bagus. 

Saya yang sudah enam tahun bergulat dengan konten-konten ekonomi manajemen misalnya. Menghadapi apa yang sering disebut dengan era 4.0, spesialisasi ini tidak cukup. Saya disarankan untuk mendalami konten yang lebih khusus. Ambil contoh saja misalnya menulis strategi manajemen bagi pengembangan start-up. Tambah lagi boleh tapi yang tetap sejalan, bagaimana strategi karier bagi milenial di tengah perubahan misalnya.

Tiga tahun lalu, saya ingat. Saya menelepon Rhenald Kasali untuk meminta pendapatnya tentang satu permasalahan korporasi. Dewa manajemen ini bilang kalau saat ini, dia tidak mau sembarangan komentar. "Saya cuma mau komentar mengenai restrukturisasi bisnis ya," katanya. Waktu itu saya kesel dan cuma bisa ngebatin betapa dia sok jual mahal. Haha...

Kemarin, dalam kick-off pembukaan masa studi program Pascasarjana, seorang mahasiswa keuangan ditanya. "Setelah kuliah dua tahun, Bapak akan menjadi spesialis dalam hal apa?" Dia menjawab belum tahu. Si pengisi acara seperti menyalahkan jawaban si Bapak. Harusnya, dia sudah tahu. Restrukturisasi keuangan? Keuangan untuk industri manufaktur? Rekayasa keuangan atau bahasa teman saya, seni menyulap keuangan dari ketiadaan? Hihi...ampun.

Beberapa artikel, mendukung argumen ini. Temukan di sini atau di sini. Jadi, saya percaya pasti bahwa argumen ini kuat. Iyalah, mereka itu para dewa. Bisa kena kutuk nanti kalau melawan. Apalagi melawan bermodal jempol dan dengkul macam warganet di media sosial. Wkwk...

Cuma ya para dewa, mulut dan tangan ini gatal rasanya kalau tidak nyinyir dan komentar. Sedikit saja. Tentu saja, ini juga cuma jadi gerutuan tak berdasar.

Itu, kemarin saya datang ke sebuah pertemuan yang mengumpulkan beberapa profesional di berbagai bidang. Pertemuan lebih dari lima jam dan belum juga selesai ketika saya tinggalkan.

Keluar dari sana, saya jadi meragukan semua yang selama ini coba saya yakini seperti yang ditulis di atas itu. Dengan gagah berani, bahkan kemudian saya meragukan teori Adam Smith, sang bapak kapitalis. Kenapa sih dia menyuruh dunia bisnis untuk menjadi semakin khusus? Spesialis? Sembarangan ga sih dia?

Biar ongkos produksi semakin murah? Iya sih pasti.
Cuma kenapa? 

Pada akhirnya, untuk menempuh karier yang lebih tinggi, kamu dituntut untuk berpikir global. Holistik. Helicopter view, atau cara memandang dari atas. Dengan berkonsentrasi menjadi seorang spesialis, bukankah saya akan dipaksa untuk mengerjakan sesuatu yang cenderung itu-itu saja? Rutin?  

Saya ingat pernah ketemu dan ngobrol dengan salah satu direktur HR sebuah perusahaan teknologi. Dia bilang untuk naik jabatan menjadi manager, Vice President dan lainnya, kemampuan teknis saja tidak cukup. Dia menyebut lebih penting kemampuan softskills seperti kepemimpinan, bisa bekerja dengan berbagai jenis orang, manajerial dan lainnya. 

Di beberapa perusahaan, bisa ditambah dengan kemampuan mengerti medan dan strategi politik kantor. Dan itu, jauh lebih penting. Konon katanya, manajer HR dan pemimpin bisnis lebih memilih orang dengan kemampuan soft skills dalam memutuskan promosi. Bukan cuma kemampuan teknis. Ngeri kan? 


Jadi, bagaimana saudara-saudara?

Saya jadi bingung. Di pertemuan kemarin itu, saya benar-benar plonga-plongo. Betapa saya selama ini jumawa. Sok merasa tahu tentang satu atau dua hal. Tapi ternyata ketika bergabung dengan komunitas yang lebih besar, lebih heterogen, semua jadi seperti daun ditiup angin. Whuss...gak guna.

Tahu satu hal saja secara mendalam tidak cukup. Saya harus bisa merangkai banyak sekali potongan dalam ingatan otak. Kemudian merangkai dan menganalisisnya dengan cepat agar bisa menjadi gambar utuh. Menggabungkan berbagai kepentingan dan sudut pandang untuk mencari win-win solution. Pada akhirnya, saya dituntut untuk membuat gambar yang baru sama sekali. Orisinal. Dalam waktu cepat dan tepat tentu saja.

Bagaimana kalau enggak bisa? Enggak sanggup?

Ya sudah, mereka akan menggilas saya. Dicap gagal dan kalah. Tidak akan jadi siapa-siapa.

Kemudian, saya jadi malu. Saya kesal dan rasanya pengen marah-marah. Tapi pada siapa? Rumput yang bergoyang rasanya sudah enggan lagi disalahkan. Dia sudah pintar ngeles sekarang.
Sekali lagi saya bingung.
Ke depan, saya yang enggak pintar, kreatif dan inovatif ini harus berbuat apa? Harus menjadi lebih spesialis yang seperti apa? Bagaimana cara saya untuk menjadi lebih spesialis tetapi tidak menutup diri dalam tempurung? Sementara kapitalisme, sudah menguras setidaknya delapan jam waktu saya untuk bekerja. Kapitalisme juga melihat itu adalah cara terbaik untuk bertahan?

Saya ragu. Dalam era yang semuanya bisa cepat berubah dalam kedipan mata ini, apakah keterampilan saya ini masih akan berguna? Kok rasanya dari hari ke hari, apa yang saya lakukan ini semakin jadi hal remeh? Padahal, sebagai seorang manusia biasa, tentu saja saya juga tidak ingin hanya bisa bertahan. Saya ingin naik jabatan, mendapatkan promosi dan sebagainya. Sampai jadi direktur atau presiden kalau perlu. Akakaka...bangun Gin!

Tapi pertemuan kemarin membangunkan saya dari mimpi indah. Gimana bisa mimpi jadi direktur kalau kacamata saya masih sempit begini?

Tell me know, what must i do next?

Komentar