Pemikiran Saya Setelah Setengah Hari Mager di Depan TV
Tadi malam, stasiun televisi asal Singapura, menayangkan acara pencarian bakat se-Asia. Orang-orang berbakat yang ingin "tenar" boleh unjuk diri di depan tiga juri. Salah satu jurinya, diva Indonesia yang sudah malang melintang di panggung musik internasional. Ngerti lah ya, siapa! Si pindah ke shampoo lain itu lho. Akakak...#abstrak
Acaranya lama banget, dari sore sampai malam. Jadi, kalau ada yang bandingin kualitas siaran TV ikan terbang dengan TV asing, mungkin belum ketemu acara ini. TV dari Singapura juga sama-sama menayangkan satu acara semalam suntuk. Sama kayak acara dangdut di TV negeri sendiri. TV dari Korea sana, juga pernah setengah hari mengulang drama Descendents of The Sun-nya Song Joong Ki pas tenar-tenarnya. So? Whats wrong dengan dangdut sih?
Jadi, karena mager, saya di depan TV lama banget kemarin. Ciri-ciri orang enggak produktif katanya. Biarin aja.
Peserta yang ikut ajang itu banyak yang memiliki bakat luar biasa. Mereka menyanyi, menari dan atau beratraksi sulap. Penampilannya sungguh luar biasa sampai membuat saya cuma bisa ternganga.
Untuk penampilan memukau itu, tiga juri memberinya puja-puji. Tentu saja mereka juga sepakat meloloskan mereka ke babak berikutnya. Salah seorang, bahkan mendapatkan golden buzzer dari juri. Tiket ini memberikannya fastrack untuk melaju ke babak semifinal. Bagi saya yang orang awam sekalipun, suaranya emang benar-benar bagus cenderung magis.
Dan itu, bukan sekedar jargon apalagi semboyan kampanye. Itu adalah sebuah langkah panjang dan sunyi, kata Prie GS. Tidak ramai dan penuh dengan hiruk pikuk orang. Penuh duri dan air mata.
So, are you ready? Ready Guys?
Who are you?
Yes, you. Millenial generation, the stage is yours.
Masjid Al Aqsa, Salah satu tempat suci bagi Islam yang terletak diantara Dome of The Rock |
Acaranya lama banget, dari sore sampai malam. Jadi, kalau ada yang bandingin kualitas siaran TV ikan terbang dengan TV asing, mungkin belum ketemu acara ini. TV dari Singapura juga sama-sama menayangkan satu acara semalam suntuk. Sama kayak acara dangdut di TV negeri sendiri. TV dari Korea sana, juga pernah setengah hari mengulang drama Descendents of The Sun-nya Song Joong Ki pas tenar-tenarnya. So? Whats wrong dengan dangdut sih?
Jadi, karena mager, saya di depan TV lama banget kemarin. Ciri-ciri orang enggak produktif katanya. Biarin aja.
Peserta yang ikut ajang itu banyak yang memiliki bakat luar biasa. Mereka menyanyi, menari dan atau beratraksi sulap. Penampilannya sungguh luar biasa sampai membuat saya cuma bisa ternganga.
Untuk penampilan memukau itu, tiga juri memberinya puja-puji. Tentu saja mereka juga sepakat meloloskan mereka ke babak berikutnya. Salah seorang, bahkan mendapatkan golden buzzer dari juri. Tiket ini memberikannya fastrack untuk melaju ke babak semifinal. Bagi saya yang orang awam sekalipun, suaranya emang benar-benar bagus cenderung magis.
Apa yang luar biasa? Ada peserta dengan suara luar biasa dan masih bocah. 10 tahun. Si-bocah ini juga tahu bahwa suaranya bagus. Sebelum nyanyi, dia sempat bilang salah satu cita-citanya adalah menyanyi di Broadway. KEREN ABIS. Zaman gue kecil, mana tau apa itu Broadway. Ya donk? Kebahagiaan hakiki sebagai anak desa adalah main lumpur di sawah. #eaakk
Aduh, saya mau malu. Sampai sekarang, saya kadang juga masih mikir. Sebenarnya bakat saya itu apa ya? Kenapa dari dulu kayaknya semua yang dilakukan berakhir dengan biasa-biasa saja? Tidak ada yang khusus.
Terus seperti biasa, auto mikir yang aneh dan enggak-enggak.
Terus seperti biasa, auto mikir yang aneh dan enggak-enggak.
Bagaimana ya, cara orang tuanya mendidik dan mengarahkan bocah-bocah berbakat itu? Bagaimana mereka tahu bahwa bocah bayi yang dilahirkannya itu berbakat? Kemudian membujuk mereka untuk menyanyi? Mau ikut les menyanyi?
Bagaimana menjaga mood dan perasaan mereka untuk berlatih sejak usia dini? Latihan dengan disiplin dan komitmen tinggi? Karena saya tahu, tak mungkin ada keberhasilan besar yang semata mengandalkan bakat alam. Saya, sangat mempercayai proses dan kerja keras.
Sebelumnya saya membaca sebuah opini yang ditulis seorang pemimpin redaksi koran ekonomi terbesar Tanah Air. Dalam "Mengurus Manusia", Dia menulis bagaimana kultur dan tradisi penduduk Israel dalam mengelola kegagalan.
Pemerintahannya mengucurkan biaya riset dan capital ventura yang sangat besar. Di samping itu, mereka juga memiliki sifat yang tidak gampang kapok mencoba hal baru. Dia menceritakan sebuah buku Start Up-Nation: The Story of Israels Economic Miracle karya Don Singer dan Saul Singer. Mereka adalah jurnalis, pengusaha dan pernah duduk di pemerintahan.
Bagaimana menjaga mood dan perasaan mereka untuk berlatih sejak usia dini? Latihan dengan disiplin dan komitmen tinggi? Karena saya tahu, tak mungkin ada keberhasilan besar yang semata mengandalkan bakat alam. Saya, sangat mempercayai proses dan kerja keras.
Sebelumnya saya membaca sebuah opini yang ditulis seorang pemimpin redaksi koran ekonomi terbesar Tanah Air. Dalam "Mengurus Manusia", Dia menulis bagaimana kultur dan tradisi penduduk Israel dalam mengelola kegagalan.
Pemerintahannya mengucurkan biaya riset dan capital ventura yang sangat besar. Di samping itu, mereka juga memiliki sifat yang tidak gampang kapok mencoba hal baru. Dia menceritakan sebuah buku Start Up-Nation: The Story of Israels Economic Miracle karya Don Singer dan Saul Singer. Mereka adalah jurnalis, pengusaha dan pernah duduk di pemerintahan.
Kenapa Israel sih? Bukan Arab Saudi. Karena Israel adalah negara yang tidak memiliki keunggulan apapun secara demografi dan geografi. Namun, perekonomian Israel begitu maju didorong oleh inovasi, kreativitas dan teknologinya.
Ini, saya kutipkan beberapa bagiannya. Soalnya, enggak bisa masukin link beritanya, harus langganan. Wkwk...
Keren ya Israel? Dari caranya mengurus manusia, maksudnya. Ah, kamu sensitif sekali deh!!
Ini, saya kutipkan beberapa bagiannya. Soalnya, enggak bisa masukin link beritanya, harus langganan. Wkwk...
"Ada satu terminologi sifat atau karakter orang Israel yang disebut chutzpah. Orang luar akan menemukan karakter chutzpah itu di mana-mana: dalam cara mahasiswa berbicara dengan dosennya, staf men-challenge bosnya, sersan mendebat jenderalnya.
Orang luar menganggap sikap semacam itu adalah sikap arogan. Namun bagi orang Israel, hal itu dianggap wajar dan normal. Justru kondisi itu menjadi pencetus kultur inovasi yang nyata.
Ketegasan dan keberanian adalah cerminan dari rasa ketakutan akan kegagalan, yang kerap membuktikan jauh lebih powerful ketimbang harapan akan keberhasilan"
...
"Terminologi lain yang kerap dipakai adalah mentalitas rosh gadol. Kata itu berarti kepala besar, atau big head. Lawannya adalah rosh kattan atau small head. Mentalitas rosh kattan itu mirip dengan supir taksi yang bertugas mengantarkan penumpang sesuai argo.
Maaf, tentu saya tidak bermaksud mendiskreditkan supir taksi. Kebanyakan manusia bekerja berdasarkan apa yang dia dapatkan, seperti membayar argo taksi. Maka tak heran, di lingkungan kerja dengan spirit rosh kattan, para pekerja akan bermental argo: kerja sesuai argo saja.
Nah, manusia yang memiliki spirit rosh gadol bertindak sebaliknya. Mereka menjalankan pekerjaannya beyond responsibility-nya. Helpfull, commit, do the best, dan solve the problem. Bahkan, create new solution."
Keren ya Israel? Dari caranya mengurus manusia, maksudnya. Ah, kamu sensitif sekali deh!!
Jadi, dari ajang menonton "mencari bakat" dan artikel "mengurus manusia", kesimpulannya adalah. Pekerjaan terberat adalah membangun mentalitas manusia yang tangguh dalam menghadapi tantangan hidup di zaman now. Membangun semangat untuk tidak pantang menyerah. Untuk mencoba lagi setelah berkali gagal. Untuk terus berpikir kritis, kreatif dan inovatif.
Dan itu, bukan sekedar jargon apalagi semboyan kampanye. Itu adalah sebuah langkah panjang dan sunyi, kata Prie GS. Tidak ramai dan penuh dengan hiruk pikuk orang. Penuh duri dan air mata.
So, are you ready? Ready Guys?
Who are you?
Yes, you. Millenial generation, the stage is yours.
Komentar
Posting Komentar