WFH dan Darurat Corona di Jakarta (I), Sebuah Kisah dari Yogyakarta
Hari kedua setelah pemerintah mengumumkan kebijakannya untuk: belajar, bekerja dan beribadah di rumah. Status Darurat Virus COVID-19 atau Korona oleh BNBP per hari ini sampai 29 Mei 2020. Work From Home atau WFH menjadi buah bibir.
Negeri ini tergagap. Saya tidak perlu menambah berbagai komentar dan pandangan mengenainya.
Mungkinkah kerja dari rumah? Bagaimana dengan sistem kerja yang hanya bisa dilakukan di kantor? Bagaimana sistem pengawasannya? Lha wong kerja di kantor saja gabut. Bagaimana pula sistem belajar online bagi anak-anak? Belajar di depan layar handphone? Bukankah pakar parenting, kemarin dulu, itu bilang screen-time pada anak itu harus dibatasi?
LOCKDOWN dan SOCIAL DISTANCING menjadi buah bibir selanjutnya. Mungkinkah kita mengunci diri, padahal dari dulu, masyarakat kita terkenal gemapyak dan gotong-royong? Whatsapp, Instagram, Twitter, Line, Telegram dan semua aplikasi bisa ada dalam smartphone kita. Itu, kata sosiolog UI, adalah karena kesenangan kita berkumpul dan ngerumpi.
Mungkinkah, bahasan para ahli selanjutnya. Berapa kerugian terbilang setiap hari? Apakah sistem logistik yang dibangun pemerintah cukup mampu menopang lockdown? Tidakkah ada penimbunan? Bagaimana dengan semua pekerja harian yang benar-benar bekerja untuk hari ini?
Sederet masalah lain mengemuka. Kesiapan medis, infrastruktur rumah sakit, kinerja aparatur pemerintah dalam pelayanan publik. Dan sebagainya dan seterusnya. Apakah negara-negara lain bisa dijadikan contoh?
Banyak sekali pertanyaanya. Solusinya, maqam ilmu saya masih belum sampai. Biarkan mereka saja yang memikirkan. Sekarang, saatnya mempercayai dan menaati pemerintah, Ulul Amri.
===
Saya menelepon orang tua pagi ini. Memastikannya tidak khawatir dan gelisah melihat semua pemberitaan di televisi. Semua berjalan normal di Kebumen. Bapak, yang sudah pensiun dari kedinasannya, bahkan sedang mengecat pagar. Haha...love you more, Pak!
Berarti dunia masih akan baik-baik saja.
Ibu saya justru menceritakan sebuah kabar yang lebih menguncang. Membuat saya terdiam dan terenyak dan tercekat. Sebuah kabar dari kerabat di Yogyakarta. Tidak ada hubungannya dengan COVID-19, lockdown, social distancing.
POLIGAMI
Meski tidak dekat, saya mahfum dengan terjang seorang kerabat tersebut sebagai aktivis Islam. Saya juga tahu dia menikah karena dijodohkan dengan murabbi-nya. "Tadinya keluarga calon hanya untuk kenalan, tapi ternyata langsung ijab saja biar tidak ada fitnah," kisah tersebut sering saya dengar dari mulut ke mulut dalam pertemuan keluarga besar. Dalam keluarga besar, taaruf memang menjadi kata yang akrab di telinga. Bahkan sudah akrab semenjak kata hijrah dan Indonesia Tanpa Pacaran belum menjadi tren seperti sekarang.
Pada liburan akhir tahun lalu di Yogyakarta, saya menginap di rumah Ibunya. Dua keluarga inti, delapan orang dewasa enak saja masuk ke beberapa kamarnya. Semenjak kecil, bila harus menginap di kota gudeg, kami memang sering mengandalkan rumahnya.
Rumahnya memang besar dan mampu menampung banyak tamu. Sang Ibu, saya memangilnya Uwak, juga memiliki pembawaan menyenangkan. Sekarang, suaminya stroke sehingga membatasi pergerakannya ke sejumlah acara keluarga. Namun tidak keterbukaan tangannya menerima tapi. Rumahnya juga tetap asri dan rapi. Uwak memelihara ikan koi, ayam dan berkebun untuk menambah kesibukan. "Buat olahraga juga biar enggak mati bosan," kata dia.
Si mbak ini adalah putri sulungnya. Dia berkarier di bidang kesehatan. Dari pernikahannya, dia memiliki tiga orang anak. Dulu, saya mendengar kabar bahwa dia mendapat beasiswa di Filipina. Anak-anaknya masih kecil saat itu sehingga diasuh oleh nenek, uwak saya itu di Yogyakarta. Suaminya tetap tinggal di Yogyakarta.
Kesibukan menenggelamkan kami sampai hari ini. Tapi, saya tetap mengetahui kabarnya dari jauh.
Terutama dari Ibu. Suaminya memang bekerja serabutan, untuk tidak dikatakan pemalas. Menjadi pekerja malas, tetapi berdagang selalu gagal. Entah berapa rupiah yang telah menguap sebagai modal.
Ketertarikannya adalah pada kegiatan partai politik. Sebuah parpol yang memiliki akar kuat dalam pergerakan kampus.
Sebagai kader loyal, tentu saja sang suami diberi kesempatan menjadi calon wakil rakyat. Dia dua kali mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Saya juga mendengar dia menjaminkan rumahnya untuk pencalonannya yang kedua. GAGAL. Jangan tanya kenapa. Yang pasti, rumah melayang, kursi panas tak juga dalam genggaman.
Semenjak itu, hubungan sang menantu-mertua tidak harmonis. Wajar banget. Soalnya ibu mertuanya bahkan tidak merestui pencalonannya yang kedua kali. Sudahlah, usaha saja. Apapun. Selama masa itu pula, si mbak dosen ini yang dikabarkan membiayai kebutuhan anak-anak. Sekarang, anak pertama mereka sudah duduk di bangku SMA.
Lama tidak mendengar kabarnya, ibu saya cerita, sang menantu kini tinggal di Kalimantan. "Mengerjakan suatu proyek," kata ibu saya lagi, tidak detail.
Tinggal jauh dari istri membuatnya tidak kuat menahan diri. Mengurus berbagai keperluannya juga dia kewalahan, keluhnya. Dia menikah lagi. Dengan seorang perempuan berusia 18 tahun dengan latar pendidikan Sekolah Dasar. Istri pertamanya, saudara saya, kabarnya menyetujui. Soalnya mereka menikah resmi di KUA, bukan hanya nikah siri. Kemarin, si mbak baru kembali dari Kalimantan untuk menemui mereka.
Si mbak, berdasarkan cerita, juga tidak kembali dengan linang air mata. Mungkin sudah habis. Uwak saja yang terus menangis sampai matanya sembab dan badannya limbung.
===
Saya tidak tahu harus berkata apa tentang kisah ini. Saya hanya bisa diam dan terenyak.
Laki-laki, kadang menjelma menjadi satu makhluk yang begitu aneh dan tidak pernah dapat dimengerti. Sama seperti keluhan para pria saat memahami kami, para perempuan..
Karena itu, saya seolah kehilangan kata dan pandangan ketika mendengar kabar si-mbak. Apa yang berada dalam pikirannya sekarang? Apakah ia merasa tersisih dan terkalahkan? Apakah dia menganggap ini sebuah cobaan? Atau takdir Tuhan yang harus dijalani dengan pasrah dan hati lapang, saya tidak tahu. Maqam dan ilmu saya belum sampai.
Saya juga bingung harus memberikan saran apa. Apakah saya akan menyarankannya untuk bercerai dari suaminya? Toh selama ini dia telah membuktikan dirinya menjadi ibu dan kepala rumah tangga. Toh selama ini dia merasa lebih sering dikecewakan daripada dibahagiakan.
Apakah begitu? Apakah cerai menjadi solusi, meski tidak disukai Allah?
Saya benar-benar tidak tahu dan tidak berani berkomentar.
Apakah begitu berat bagi perempuan hidup di zaman sekarang?
Dunia kenapa terkadang begitu rumit dan semrawut. Manusia mengapa kadang begitu tidak tahu diri dan melampaui batas.
Sudahlah.
Saya tidak tahu lagi. Benar-benar.
Tentang kisah si-mbak ini. Tentang apa yang seharusnya dilakukan pemerintah selama masa darurat corona ini.
Sudahlah.
VIRUS Corona, Lockdown dan Sebuah Kabar dari Jogja |
Negeri ini tergagap. Saya tidak perlu menambah berbagai komentar dan pandangan mengenainya.
Mungkinkah kerja dari rumah? Bagaimana dengan sistem kerja yang hanya bisa dilakukan di kantor? Bagaimana sistem pengawasannya? Lha wong kerja di kantor saja gabut. Bagaimana pula sistem belajar online bagi anak-anak? Belajar di depan layar handphone? Bukankah pakar parenting, kemarin dulu, itu bilang screen-time pada anak itu harus dibatasi?
LOCKDOWN dan SOCIAL DISTANCING menjadi buah bibir selanjutnya. Mungkinkah kita mengunci diri, padahal dari dulu, masyarakat kita terkenal gemapyak dan gotong-royong? Whatsapp, Instagram, Twitter, Line, Telegram dan semua aplikasi bisa ada dalam smartphone kita. Itu, kata sosiolog UI, adalah karena kesenangan kita berkumpul dan ngerumpi.
Mungkinkah, bahasan para ahli selanjutnya. Berapa kerugian terbilang setiap hari? Apakah sistem logistik yang dibangun pemerintah cukup mampu menopang lockdown? Tidakkah ada penimbunan? Bagaimana dengan semua pekerja harian yang benar-benar bekerja untuk hari ini?
Sederet masalah lain mengemuka. Kesiapan medis, infrastruktur rumah sakit, kinerja aparatur pemerintah dalam pelayanan publik. Dan sebagainya dan seterusnya. Apakah negara-negara lain bisa dijadikan contoh?
Banyak sekali pertanyaanya. Solusinya, maqam ilmu saya masih belum sampai. Biarkan mereka saja yang memikirkan. Sekarang, saatnya mempercayai dan menaati pemerintah, Ulul Amri.
===
Saya menelepon orang tua pagi ini. Memastikannya tidak khawatir dan gelisah melihat semua pemberitaan di televisi. Semua berjalan normal di Kebumen. Bapak, yang sudah pensiun dari kedinasannya, bahkan sedang mengecat pagar. Haha...love you more, Pak!
Berarti dunia masih akan baik-baik saja.
Ibu saya justru menceritakan sebuah kabar yang lebih menguncang. Membuat saya terdiam dan terenyak dan tercekat. Sebuah kabar dari kerabat di Yogyakarta. Tidak ada hubungannya dengan COVID-19, lockdown, social distancing.
POLIGAMI
Meski tidak dekat, saya mahfum dengan terjang seorang kerabat tersebut sebagai aktivis Islam. Saya juga tahu dia menikah karena dijodohkan dengan murabbi-nya. "Tadinya keluarga calon hanya untuk kenalan, tapi ternyata langsung ijab saja biar tidak ada fitnah," kisah tersebut sering saya dengar dari mulut ke mulut dalam pertemuan keluarga besar. Dalam keluarga besar, taaruf memang menjadi kata yang akrab di telinga. Bahkan sudah akrab semenjak kata hijrah dan Indonesia Tanpa Pacaran belum menjadi tren seperti sekarang.
Pada liburan akhir tahun lalu di Yogyakarta, saya menginap di rumah Ibunya. Dua keluarga inti, delapan orang dewasa enak saja masuk ke beberapa kamarnya. Semenjak kecil, bila harus menginap di kota gudeg, kami memang sering mengandalkan rumahnya.
Rumahnya memang besar dan mampu menampung banyak tamu. Sang Ibu, saya memangilnya Uwak, juga memiliki pembawaan menyenangkan. Sekarang, suaminya stroke sehingga membatasi pergerakannya ke sejumlah acara keluarga. Namun tidak keterbukaan tangannya menerima tapi. Rumahnya juga tetap asri dan rapi. Uwak memelihara ikan koi, ayam dan berkebun untuk menambah kesibukan. "Buat olahraga juga biar enggak mati bosan," kata dia.
Si mbak ini adalah putri sulungnya. Dia berkarier di bidang kesehatan. Dari pernikahannya, dia memiliki tiga orang anak. Dulu, saya mendengar kabar bahwa dia mendapat beasiswa di Filipina. Anak-anaknya masih kecil saat itu sehingga diasuh oleh nenek, uwak saya itu di Yogyakarta. Suaminya tetap tinggal di Yogyakarta.
Kesibukan menenggelamkan kami sampai hari ini. Tapi, saya tetap mengetahui kabarnya dari jauh.
Terutama dari Ibu. Suaminya memang bekerja serabutan, untuk tidak dikatakan pemalas. Menjadi pekerja malas, tetapi berdagang selalu gagal. Entah berapa rupiah yang telah menguap sebagai modal.
Ketertarikannya adalah pada kegiatan partai politik. Sebuah parpol yang memiliki akar kuat dalam pergerakan kampus.
Sebagai kader loyal, tentu saja sang suami diberi kesempatan menjadi calon wakil rakyat. Dia dua kali mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Saya juga mendengar dia menjaminkan rumahnya untuk pencalonannya yang kedua. GAGAL. Jangan tanya kenapa. Yang pasti, rumah melayang, kursi panas tak juga dalam genggaman.
Semenjak itu, hubungan sang menantu-mertua tidak harmonis. Wajar banget. Soalnya ibu mertuanya bahkan tidak merestui pencalonannya yang kedua kali. Sudahlah, usaha saja. Apapun. Selama masa itu pula, si mbak dosen ini yang dikabarkan membiayai kebutuhan anak-anak. Sekarang, anak pertama mereka sudah duduk di bangku SMA.
Lama tidak mendengar kabarnya, ibu saya cerita, sang menantu kini tinggal di Kalimantan. "Mengerjakan suatu proyek," kata ibu saya lagi, tidak detail.
Tinggal jauh dari istri membuatnya tidak kuat menahan diri. Mengurus berbagai keperluannya juga dia kewalahan, keluhnya. Dia menikah lagi. Dengan seorang perempuan berusia 18 tahun dengan latar pendidikan Sekolah Dasar. Istri pertamanya, saudara saya, kabarnya menyetujui. Soalnya mereka menikah resmi di KUA, bukan hanya nikah siri. Kemarin, si mbak baru kembali dari Kalimantan untuk menemui mereka.
Si mbak, berdasarkan cerita, juga tidak kembali dengan linang air mata. Mungkin sudah habis. Uwak saja yang terus menangis sampai matanya sembab dan badannya limbung.
===
Saya tidak tahu harus berkata apa tentang kisah ini. Saya hanya bisa diam dan terenyak.
Laki-laki, kadang menjelma menjadi satu makhluk yang begitu aneh dan tidak pernah dapat dimengerti. Sama seperti keluhan para pria saat memahami kami, para perempuan..
Karena itu, saya seolah kehilangan kata dan pandangan ketika mendengar kabar si-mbak. Apa yang berada dalam pikirannya sekarang? Apakah ia merasa tersisih dan terkalahkan? Apakah dia menganggap ini sebuah cobaan? Atau takdir Tuhan yang harus dijalani dengan pasrah dan hati lapang, saya tidak tahu. Maqam dan ilmu saya belum sampai.
Saya juga bingung harus memberikan saran apa. Apakah saya akan menyarankannya untuk bercerai dari suaminya? Toh selama ini dia telah membuktikan dirinya menjadi ibu dan kepala rumah tangga. Toh selama ini dia merasa lebih sering dikecewakan daripada dibahagiakan.
Apakah begitu? Apakah cerai menjadi solusi, meski tidak disukai Allah?
Saya benar-benar tidak tahu dan tidak berani berkomentar.
Apakah begitu berat bagi perempuan hidup di zaman sekarang?
Dunia kenapa terkadang begitu rumit dan semrawut. Manusia mengapa kadang begitu tidak tahu diri dan melampaui batas.
Sudahlah.
Saya tidak tahu lagi. Benar-benar.
Tentang kisah si-mbak ini. Tentang apa yang seharusnya dilakukan pemerintah selama masa darurat corona ini.
Sudahlah.
Komentar
Posting Komentar