WFH dan Darurat Corona di Jakarta (II), Ketika Deretan Angka dan Jumlah Hanya Sebatas Statistika

Minggu ketiga semenjak pemerintah propinsi DKI Jakarta menyatakan siaga darurat korona. Minggu ketiga ketika "lockdown, work from home, social distancing, atau physical distancing" menjadi kata yang begitu akrab di telinga. Asing tapi akrab, akrab tapi asing.


WFH di Jakarta
Setelah virus ini berakhir, kita jalan-jalan lagi, ya?

Akrab. Seakrab kita dengan sudut-sudut rumah. Sudut yang biasanya kita lewati saja karena kesibukan. Berdiam diri di rumah, ternyata juga menjadi solusi jitu untuk mencari dan menemukan barang yang sempat dikira hilang.

Dua minggu atau bahkan sebulan di rumah, membuat kita mengamini kata Kerry Clarkson. What doesnt kill you makes stronger. Selain lebih kuat, kita juga makin kreatif bukan? Minimal dalam hal gaya rebahan. Dari kiri ke kanan atau sebaliknya. Hehe...Padahal, kemarin sempat niat banget membuat jurnal harian WFH. Wkwk...

---

COVID-19 mencerabut banyak sekali hanya dalam satu atau beberapa malam. Hiruk pikuk Jakarta, keramaian, peluang, kesempatan, yang sebelumnya seperti telah tersusun rapi dalam rak. Tapi bukankah kita masih bisa meneruskan semuanya dari rumah? Seperti esensi WFH?

Langsung atau tidak, virus ini mengubah banyak sekali warna. Di tengah kelengangan pusat bisnis dan perdagangan Tanah Abang dan Thamrin, ada selubung kecemasan, kekhawatiran, dan putus asa. Jakarta berubah menjadi semacam kota mati meski pemerintah tak jua berani memutuskan penguncian wilayah.

Kecemasan dan kematian itu, seperti virus, menular. Aromanya membuat siapa saja seperti terhisap. Kabar dari media massa, yang datang seperti air bah, juga menjadi penyebab. Media sosial tak jauh berbeda. Kecemasan itu, nyata.

Kecemasan bercampur menjadi kesedihan. Kemarin, waktu saya memesan ojek online, abangnya meminta bayar uang tunai saja. Bukan dari dompet elektronik. "Biar saya punya uang tunai untuk beli bensin, Mbak. Sepi banget," katanya. Dalam perjalanan yang tidak terlalu jauh, dia menawarkan untuk menunggui saya. Saking sepinya orderan, lanjutnya. Saya mau nangis, kalau tidak malu sama bapaknya.

Kata pemerintah, mereka menyiapkan lebih dari Rp100 triliun sebagai stimulus menghadapi COVID-19. Salah satunya bantuan langsung tunai (BLT) dan restrukturisasi kredit kendaraan bermotor bagi ojek online. Cukupkah? Apakah bapak ojek yang datang dari Bekasi ke Tanah Abang ini, juga menjadi salah satu penerima BLT, yang Rp200 ribu sebulan itu?

"Kami memprediksi, dampak ekonomi selama pandemi COVID-19 ini bisa lebih serius dari krisis di tahun 1998," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Gusti Allah, semoga Kau menyelamatkan kami semua dalam pusaran ini. Mari berdoa lebih khusyu.
 
---

Tetiba air mata begitu mudah keluar. Ketika masjid di depan tempat tinggal saya mengumumkan tidak ada lagi sholat Jumat. Diganti sholat dhuhur saja di rumah. Rasanya sudah seperti mau perang, kata teman saya. Ketika speaker masjid terus berbunyi. Mereka mengumumkan jadwal penyemprotan disinfektan. Terus menerus memberi peringatan kepada warga yang masih keluar dan nongkrong di luar. Ketika portal jalan dipasang, bahkan siang hari. Rasanya sulit untuk tidak tercekat.

"Bukankah kemarin semua masih baik-baik saja? Bukankah ini hanya mimpi buruk?" harapan yang terlalu tinggi.

Hidup di Jakarta menjadi benar-benar mengkhawatirkan. Tak ada lagi Jakarta yang terbuka dan menawarkan kemudahan mobilitas.

Waktu pemerintah mengumumkan WFH, saya langsung pengen pulang ke Kebumen. Tapi larangan pemerintah, para kyai, organisasi kemasyarakatan, dan beberapa teman membuat saya berpikir ulang. Saya tetap tinggal di Jakarta, berada di tengah epicentrum wabah ini. Menjadi saksi hidup. Sampai sekarang.

---

Belum genap seminggu sejak Anies Baswedan mengumumkan darurat Corona yang pertama, seseorang menelepon saya. Seseorang dari perusahaan konsultan komunikasi. Dia membutuhkan bantuan saya untuk menganalisa isi koran, majalah dan berita online terkait pandemi COVID-19. Saya menerima tawarannya.

Setiap hari, tanpa libur, saya harus mengirimkan analisa. Analisa saya, katanya, akan dikirimkan untuk direksi dan manajemen di beberapa perusahaan. Setiap pagi, tim monitoring media mereka mengirimkan highlight berbagai koran dan berita online. Saya tinggal menulis analisanya. Analisa sembarangan dan sebisanya, tentu saja. Tidak seperti para ahli dengan beragam gelar. Sumber analisanya, biasanya saya bikin sebisanya dari berbagai artikel atau opini saja. Paling hanya sejam-dua jam bikinnya. Tidak susah. Tapi mereka senang dengan hasil kerja saya, katanya.

Apakah saya senang? Yang pasti, saya tidak pernah berhenti bersyukur di tengah wabah seperti ini. Malu, kalau saya hanya mengeluh. Seperti, kenapa pengeluaran justru terasa semakin boros, padahal di rumah saja? Kenapa rasanya mulut tidak berhenti ingin mengunyah? TIDAK, TIDAK PANTAS.

Saya bersyukur, ketika banyak orang khawatir kehilangan pekerjaan, saya justru mendapat pekerjaan tambahan. Sebentar lagi Ramadan dan Idul Fitri. Namun, tahun ini, suasanya mungkin akan banyak berbeda. Pemerintah sudah memutuskan meniadakan mudik gratis bareng. Kementerian sudah meminta ASN-nya untuk tidak mudik. Sebuah imbauan yang sulit sekali.

Jadi, rasanya saya terlalu jumawa kalau hanya berdiam dan terus menambah pundi rekening. Sementara paramedis dan lainnya, bertaruh nyawa. Saya melakukan apa yang bisa dilakukan untuk membantu. Sedikit sekali, seperti buih di lautan. Tidak perlu dibahas.

Membaca dan melihat berbagai isi dan tampilan media massa selama COVID-19, membuat saya berpikir. Kelamaan, saya seperti melihat semuanya dalam hitam-putih, angka statistik, kalkulasi untung-rugi. Pragmatis. Menyedihkan.

Misalnya ketika saya menganalisa laporan Gugus Tugas COVID-19 yang diperbarui setiap hari. Laporan analisa saya berupa penambahan jumlah pasien positif, tingkat fatality death-rate penderita, penambahan jumlah pasien di negara lain, berapa persen porsi DKI Jakarta terhadap propinsi lain, membandingkannnya dengan prediksi beberapa pakar atau statistika, dan lainnya.

Pun ketika saya menganalisa berbagai kebijakan pemerintah. Saya menganalisa beragam skenario yang memukul perekonomian Tanah Air. Penurunan daya beli masyarakat, turunnya konsumsi masyarakat, prediksi pertumbuhan ekonomi, rendahnya serapan anggaran investasi kementerian, siapa saja yang diuntungkan dalam aturan baru pemerintah, dan semacamnya.

"Satu orang meninggal adalah tragedi, 100 orang meninggal hanya statistika," kata orang. Di atas keyboard komputer lipat, analisa saya mengalir dengan mudahnya. Tanpa perlu berpikir panjang.

Betapa mengerikannya, hati. Bila mereka, sang pembuat kebijakan, hanya melihat angka sebagai angka. Tak ada nyawa, tak ada perasaan dan kemanusiaan. Apalagi karena mereka membahasnya di ruangan yang sejuk, wangi dan perut kenyang. Ah, semoga semua ini hanya pikiran buruk saya saja.

Hai, kamu! Semoga kamu tidak menganggap pekerjaan dari nominal yang masuk ke rekening. Semoga hatimu tidak terlalu keras dan membatu. Hidupmu sulit, tapi banyak sekali orang yang lebih sulit. Banyak sekali orang baik di luar sana mesti dunia sedang tidak baik. 

---

Di papan bursa, yang begitu artifisial dan penuh mimpi, lebih lagi. Harga saham akrobat naik-turun sesukanya dalam hitungan menit.

Saya ingat, di tahun 2011. Saat ketika saya baru belajar melihat deretan angka dan kode empat hurufbergerak real-time. Mencoba memahami makna net-sell, dividen dan yield, ke dalam otak saya. Dunia yang begitu jauh dari keseharian saya dulu.

Namun, semenjak berkenalan dan kemudian akrab, saya tidak pernah melihat IHSG menyentuh angka 4000. Tidak sekalipun dalam siklus krisis 10 tahunan sekalipun. Kemarin, indeks sempat menyentuh titik rendah itu. SINYAL DARURAT.

Kaget? Resah? Khawatir?
Pasti, mesti sedikit. Portofolio saham saya jelas nyangkut. Hampir 40%, unrealized loss-nya. Tapi karena porsi investasi saham lagi sedikit, saya lebih santai saja. Portofolio investasi di reksa dana tidak perlu saya lihat. Hehehe...biar buat tabungan anak cucu kelak.

Trading halt, penghentian perdagangan saham sementara selama 30 menit bila indeks turun 5%, rasanya belum pernah terjadi. Hari ini, ketika saya menulis, trading halt sudah terjadi lima kali. Berarti indeks sudah turun 25%. Waktu terjadi dua atau tiga kali, saya kaget dan terbengong. Sekarang, sudah lebih pasrah dan ikhlas. Hehe...

Sungguh dibutuhkan lebih dari sekedar keberanian dan semangat anti menyerah untuk bertahan di dunia tersebut.

Kapok, Gin?
Mungkin, saya memang seseorang yang lebih dungu dibandingkan keledai. Mau saja masuk ke dalam lubang yang sama, berulang kali. Hari ini, ketika indeks turun lagi 5%, ketika jam perdagangan bursa dikurangi sejam, saya justru kembali menyetorkan dana ke-RDI. Saya menyicil beli sedikit-demi-sedikit beberapa blue chips. Hehe...doakan saya terus, dalam setiap doa dan sujud kalian. Saya selamat dalam badai ketidakpastian global.

---

Sebelumnya, saya menulis tentang investasi aman dan menarik di tengah ketidakpastian global dan regional seperti sekarang. Tulisan tersebut, saya tulis ketika suasana masih cukup kondusif. Suasana ketika COVID-19 sudah melanda Wuhan, tapi masyarakat dan apalagi pemerintah kita, masih abai dengannya.

Saya memindahkan tabungan rupiah ke Dollar Amerika Serikat (USD). Pertimbangannya sederhana, waktu itu kurs IDR terus menguat, menyentuh Rp13.600. Kemudian, saya melirik asumsi makro APBN 2020. Pemerintah mematok Rp14.400 dalam APBN. Sekarang, nilai tukar IDR terhadap USD ada di Rp16.200.

Untung besar? Sudahlah. Saya takut sekali, semua hal dalam otak dan benak hanyalah mengenai untung-rugi saja. Untung-rugi di tengah bencana yang harusnya membuat kita lebih mengembangkan kepekaan dan kemanusiaan. Tabungan dollar, biarlah saya simpan sebagai tambahan dana darurat.

Bagaimana dengan hal yang lain?
Saya sedang berusaha untuk melingkupi diri saya dengan berbagai kabar baik. Agak susah, mengingat pekerjaan yang tadi saya ceritakan. Namun, akan tetap saya coba.

Menekan ego dan kesombongan juga menjadi hal sulit selanjutnya di tengah krisis. Ego untuk berkorban dalam banyak hal demi kepentingan bersama. Ego untuk tidak selalu berpikir, kenapa harus saya yang memulai dan melakukannya? Kenapa tidak yang lain aja, yang lebih mampu, yang lebih besar, yang lebih siap. Kenapa aku lagi, aku lagi?  Mereka itu tidak merasakah harus melakukannya dengan lebih baik dan lebih besar? Bisakah sekarang, saatnya saya berpura-pura tidak peduli?

Rasanya suara setan itu seperti terus berdengung hebat di telinga. Rasanya dia tak pernah berhenti bekerja. Tidak pernahkah terlintas di benak mereka, setan itu, untuk mengurangi sedikit operasionalnya selama pandemi virus?

Sungguh, menyedihkan sekali. Kadang sampai saya berpikir, Jakarta-kah, kapitalisme-kah, atau lingkungan pergaulan saya, yang begitu buruk? Kenapa akhlak saya bisa compang-camping begini?


Tuhan, masihkah ada satu pintuMU? Pintu tempat meminta?

Beri saya keselamatan, kesehatan dan kelapangan hati serta rezeki.
Berikan kami jalan keluar terbaik dari krisis ini. 
Tolonglah saya, Tuhan!


Komentar