WFH dan Darurat Corona di Jakarta (III), Pragmatis adalah Sebuah Pilihan Paling Realistis
Saya menyebut diri saya keledai. Sudah jatuh, lebih dari sekali, tapi tidak pernah belajar dari prosesnya. Dengan kemampuan membaca dan menganalisa pasar saham yang pas-pasan, saya seharusnya menyimpan amunisi di tempat yang lebih aman. Tapi tidak, di tengah ancaman resesi global akibat COVID-19, saya memutuskan untuk terus terjun di pasar saham.
Manufaktur padat karya akan terdampak COVID-19 dan daya beli masyarakat terjerembab |
Volatilitas di pasar saham selama pandemi COVID-19 memang luar biasa. Bukan mendebarkan lagi, cenderung tidak masuk akal. Semua saham, tanpa melihat fundamentalnya lagi, dibuang. Saya tidak pernah membayangkan harga BBCA menjadi Rp22ribu dari Rp35ribu-an. Tapi merogoh dompet untuk nyerok harga bawah? Nanti dulu.
Makanya, di salah satu grup Whatsapp, saya memberikan hormat dua tangan, juga kaki, pada seorang rekan. Dia berani membongkar isi tabungan untuk membeli BBCA yang harganya kepleset. "AASI juga menarik tuh, PER-nya udah 7X, enggak tahan gue," katanya.
Awalnya, trading halt pertama sampai ketiga, membuat saya tak berhenti mengelus dada. Kondisi apa ini? Setelahnya saya sudah tidak peduli. Sudahlah. Trik memperbaiki harga seperti yang pernah saya tulis juga rasanya tidak lagi menarik. Beberapa hari kemudian, pas buka kembali platform trading di Panin Sekuritas, portofolio saya kebakar hampir 40%. Mau sedih tapi lupa rasanya
Kapok? Ternyata tidak.
Saya malah top-up, seminggu terakhir ini. Setelah itu, saya kembali aktif trading. Lupa dengan salah satu target 2020, menjadi investor.
"Sekarang adalah saat yang tepat untuk investasi saham. Kamu boleh memilih investasi di logam mulia atau dollar. Tapi hitung persentase kenaikannya. Tidak ada yang menjanjikan yield setinggi di saham," tulis Satrio Utomo, salah satu guru online saham saya. Hahaha...
Saya punya sedikit tabungan dollar dan emas perhiasan. Saya hitung sekilas yield investasi di dua intrumen itu. Saham menjanjikan persentase yang lebih besar. Benar juga. Setelah itulah, saya mantap dan top-up. Wkwk...
Seminggu ini, saham masih sangat fluktuatif. IHSG sempat ditutup hijau. Namun, saya yakin ini bukan jenis hijau yang datang bersama keyakinan dan kepastian. Jalan terjal terbentang jelas di depan. Buktinya, asing masih mencatatkan jual bersih (net-sell). Mereka justru terus menjual saham unggulan seperti BBRI dan BBCA.
Meski awam dengan ilmu matematika dan biologi, saya juga yakin pandemi virus belum pada masa puncak. Ke depan, saya percaya pasar keuangan masih akan bergerak fluktuatif. Tapi, saya sudah memilih. Saya akan turut berlayar bersama gelombang besar ini.
Lagipula, pesan para bijak bestari itu juga benar. Banyaknya luka akan membuatmu kebal pada akhirnya. Kurang dari setahun investasi saham, saya pernah mengalami kerugian yang cukup dalam di PT Jasa Marga Tbk (JSMR). Kemudian, tahun lalu, saya pernah rugi besar juga di PT Charoen Pokpand Tbk (CPIN). Meski akhirnya bisa keluar dengan selamat. Sekarang? Unrealized loss 40% terkesan tiada arti. Wkwk...#nyengirsedihtapitetapsombong.
---
Kemarin, seorang teman mengirimkan pesan. Pesan kegalauan akibat terlalu lama tinggal di rumah dan kangen tawaf di mall.
"Jenis penyesalan apa yang lo rasain," tulisnya dalam WA. "Pertama, lo menyesal karena selama ini tidak kemana-mana. Tidak mengajak pergi atau membelikan apa yang keluarga lo mau, yang mereka inginkan. Sekarang, giliran uangnya ada, kesempatannya enggak ada. Dan kita tidak pernah tahu apakah masih tetap ada dalam masa ketidakjelasan ini."
"Penyesalan kedua," tulis dia. "Penyesalan karena lo selalu ini terlalu membuang dan boros dalam menggunakan uang dan segala sumber daya yang lo punya. Sekarang, ketika datang musim penuh ketidakpastian dan kejelasan begini, lo menyesal. Kenapa dulu enggak lo tabung saja, biar lebih tenang dan jelas dalam menghadapi situasi begini?"
SAYA BINGUNG
Pertanyaan yang sulit. Dia meminta saya menjawab salah satu meski tidak yakin. Lebih condong ke yang pertama atau kedua? desaknya. Saya tetap tidak mempunyai jawaban.
---
Di tengah situasi yang penuh dengan ketidakpastian, saya seperti tidak memiliki banyak pilihan. Berdiam di rumah saja, misalnya.
Setengah mati memutar otak dan kreativitas agar tidak bosan dan mati gaya. Mengeluh bosan hanyalah tanda betapa kita tidak bisa mensyukuri apa yang diberikanNYa.
Dengan memilih tetap melakukan trading saham, saya jadi tahu diri. Di situasi darurat, saya belajar untuk berpikir dan bertindak cepat. Serba praktis. Berpikir sekarang saja, tidak usah berharap dan berandai-andai bagaimana fluktuasi pasar besok hari. Bahkan, sore nanti.
Seminggu kembali memasang jala di pasar saham, membuat saya lebih pragmatis. Kemarin, saya sempat melihat beberapa saham yang ada dalam portofolio sudah hijau. Tentu saja, dalam kondisi seperti ini, saya hanya berani membeli saham-saham blue chip dan liquid. Tidak ada waktu untuk melihat saham lapis tiga.
Apa yang terjadi?
Semua saham yang saya pegang begitu lincah berakrobat. Mantra tidak ada kepastian dalam ketidakpastian begitu ampuh. Sorenya, ketika akhirnya saya 'angkat jemuran', profit yang saya dapat sudah menyusut.
Menyesal? Sedikit.
Tapi dari semua penyesalan, saya mencoba belajar. Sekarang, saya setengah mati untuk latihan disiplin. Realistis. Berapapun keuntungan yang ada hari ini, akan saya ambil. Tidak ada waktu untuk sesi dua apalagi esok hari. Realisasikan keuntungan, beli lagi saham yang sama kalau dirasa masih menarik dan menguntungkan. Sudah itu saja.
---
Sikap pragmatis dari metode investasi saya mungkin terbawa. Seorang teman menulis lagi di dindingnya. "Kenapa orang sibuk berandai-andai, akan melakukan apa setelah pandemi ini berakhir? Bukankah seharusnya, langkah pertama kita adalah memastikan. Nanti, setelah wabah ini mereda, kita harus memastikan. Kita masihkah ada di sini atau sudah di alam sebelah? tulisnya.
Bukan pesimis atau menakuti. Namun, saya rasa, pikiran semacam itu adalah hal paling realistis.
Buat apa takut pada segala macam kemungkinan dan ketakutan yang belum tentu terjadi?
Kenapa menyesali masa lalu terlalu banyak dan berlebihan? SUDAHLAH.
Apa yang sedang menimpa kita sekarang, krisis kesehatan akibat COVID-19, bisa menjadi sangat gelap. Tidak ada seorang pun yang dapat memastikan. Saya, kamu, bisa keluar dari kondisi ini dalam keadaan baik-baik saja. Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang katanya menteri keuangan terbaik se-dunia itu, sudah bilang. Khususnya secara ekonomi, COVID-19 bisa lebih buruk dibandingkan dengan krisis ekonomi tahun 1998. Banyak usaha yang harus kembali menyusun serpihannya dari minus, bukan lagi nol.
Ini bukan saya yang bilang, tapi Ibuk Menteri itu. Yang bersama pemerintahan seluruh dunia, siap membagikan uang lewat helikopter berbalut stimulus. Helicopter money, kata John Kehoe.
Lalu, kenapa kita harus banyak berpikir untuk besok?
Bukankah yang terbaik adalah melakukan apa yang terbaik di hari ini? Lakukan saja apa yang bisa dilakukan dan didapatkan untuk hari ini.
Sisanya?
Berdoa saja lebih panjang dan lama. Lebih khusyu. Bentangkan sajadah lebih sering.
Perbanyak kemanusiaan dan solidaritas dengan sesama manusia.
Semoga saya, kamu, dan kita dapat bertemu pada kesempatan yang lebih baik.
Aamin.
Komentar
Posting Komentar