Senyum Paini dan Wontiyah di Rumah Impian Masa Depannya
Rumah tidak hanya berarti sebagai tempat bernaung dari terik siang dan dingin malam. Rumah adalah tempat merajut asa dan harapan masa depan. Kerap kali, rumah adalah tempat dilambungkannya segala doa baik. Tempat memulai segala mimpi. Rumah juga menjadi tempat kembali. Tempat dimana hati bertaut.
Memiliki rumah yang layak adalah hak setiap warga negara (dok: Shutterstock) |
Karenanya, tidak ada seorangpun yang tidak berharap memiliki rumah impian. Saat masih duduk di bangku sekolah dasar dulu, guru sering meminta menggambar rumah impian di masa depan. Menggembara imajinasi kita tentang rumah idaman. Sebuah rumah di pegunungan yang penuh bunga atau rumah besar di tengah perkotaan. Indah. Tak pernah ada yang salah dengan mimpi.
Memiliki tempat tinggal yang layak adalah hak setiap orang. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 28 ayat (1) menjamin setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tujuan pembangunan Indonesia tersebut juga diturunkan dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Akan tetapi, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mampu memiliki rumah yang sehat dan layak. Ada berbagai macam alasan. Salah satunya karena backlog, selisih antara jumlah rumah yang bisa dibangun dan permintaan masyarakat. Backlog yang mencapai 800 ribu unit/tahun membuat harga rumah terus melambung setiap tahun.
Menyadari peran dan fungsi rumah bagi masyarakat, pemerintah hadir melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Melalui Direktorat Jenderal Perumahan, PUPR menyelenggarakan Program Sejuta Rumah. Sampai akhir 2019, PUPR telah merealisasikan pembangunan rumah sebanyak 1.257.852. Sebanyak 945.161 rumah diantaranya dikhususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
MBR adalah salah satu fokus program Sejuta Rumah. Siapa saja yang dikategorikan MBR? MBR adalah warga negara Indonesia dengan penghasilan rendah, sehingga berhak menerima Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Salah satunya adalah mereka yang tidak memiliki penghasilan dibawah Rp4 juta/bulan untuk calon penerima rumah sejahtera tapak.
Di masa pandemi COVID-19, Kementerian PUPR mengeluarkan Keputusan Menteri PUPR Nomor 242/KPTS/M/2020. Melalui aturan tersebut, pemerintah melonggarkan sejumlah syarat bagi penerima FLPP. Termasuk dari sisi jumlah pendapatan, besaran suku bunga, lama subsidi dan jangka waktu pembiayaan KPR. Bagi masyarakat penerima FLPP, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga memberikan relaksasi kredit bagi masyarakat yang terdampak pandemi.
Rumah Paini, salah satu penerima BSPS di Kedungpring, Kemranjen, Banyumas | (dok: pribadi) |
Bagaimana dengan masyarakat yang juga masih tidak mampu mengakses fasilitas FLPP? Pekerja informal seperti buruh harian misalnya, bukankah mereka juga berhak atas rumah sehat yang layak? Adakah campur tangan pemerintah?
Dirjen Perumahan PUPR menginisiasi program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) atau yang kerap disebut bedah rumah. Tahun 2019, BSPS ditargetkan mencapai 206.500 unit rumah tidak layak huni melalui program peningkatan kualitas rumah swadaya (PKRS) dan pembangunan rumah baru swadaya (PBRS). Kecuali di Papua, dana PKRS sebesar Rp17,5 juta/penerima. Sedangkan dana PBRS mencapai Rp35 juta/penerima.
Krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19 merembet ke krisis ekonomi. Begitu banyak bisnis terdampak sehingga PHK-pun tidak terhindarkan. PUPR kembali hadir melalui Program Padat Karya Tunai (PKT) bagi pekerja properti.
Dengan demikian, PUPR menjalankan dua program sekaligus: bedah rumah dan PKT. Membangun rumah warga dengan bantuan pekerja yang menganggur di tengah pandemi. Hingga pertengahan Juni 2020, PUPR telah menyerap 144.163 orang dengan total anggaran Rp2,16 triliun.
Bedah Rumah di Rumah Wontiyah dilakukan bulan Juni 2020 (dok: pribadi) |
Manfaat program bedah rumah dan padat karya dari PUPR tersebut dirasakan oleh masyarakat di desa Kedungpring, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas. Sugiyono (35), Kepala Desa Kedungpring, menyebutkan program BSPS menyerap lebih dari 300 tenaga kerja.
Ketika sedang puncak kesulitan ekonomi, ratusan orang memperoleh pemasukan keuangan," sebut dia.Sugiyono tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanya. Di tengah situasi sulit, desanya mendapat tambahan 10 penerima BSPS. Tadinya, warga Kedungpring yang terdafrar sebagai penerima program BSPS hanya 50 unit. "Ini hasil dari doa panjang mereka untuk memiliki rumah layak," tambahnya.
Sugiyono tak perlu berpikir lama untuk segera merealisasikan berkah tersebut. Seminggu setelah Idul Fitri 1441 H, program padat karya mulai dilakukan. Realisasi program padat karya dibaginya menjadi dua bagian. Di tahap pertama, Paini (68), seorang janda dengan pekerjaan tidak tetap dan Wontiyah (55) menjadi salah satu penerima program BSPS. Sehari-hari, Wontiyah bekerja sebagai buruh tani di sawah milik tetangganya.
Dulu ibaratnya, rumah saja didorong saja sudah roboh. Lantainya juga masih tanah. Sekarang dipondasi sehingga ada lantainya. Lebih nyaman," kisahnya terharu
Paini dan Wontiyah telah lama memimpikan rumah yang layak bagi diri dan keluarganya. Usia Paini sudah tidak muda lagi. Karenanya, dia ingin menjalani masa tuanya di rumah yang layak dan nyaman. Berkumpul dengan keluarga dan orang-orang terdekat yang disayanginya. Namun, kendati telah bekerja setiap hari, rumahnya masih belum layak. Bantuan BSPS adalah jawaban dari doa panjang dan mimpi besarnya untuk memiliki rumah.
BSPS padat karya sebagai menjadi berkah bagi pekerja di sektor properti yang kehilangan pekerjaan (dok: pribadi) |
Karena kondisi rumahnya, Paini mendapatkan bantuan PBRS untuk membangun rumahnya. Sedangkan Wontiyah, mendapatkan bantuan PKRS dari PUPR.
"Saya sudah lama ingin merenovasi rumah tapi dananya tidak pernah cukup," sebutnya.
Sekarang, Wontiyah bisa bernafas lega. Impiannya selama bertahun-tahun menjelma nyata. Rumahnya lebih luas. Dia dapat memaksimalkan lahan di sebelah samping dan belakang rumah. Rumahnya pun terlihat lebih hijau dan asri. Kebahagiaan hatinya tercermin dalam senyum yang selalu menghiasi bibirnya. Satu lagi mimpinya telah menjadi nyata.
Siapa saja boleh bermimpi. Memiliki rumah yang aman, layak, dan nyaman salah satunya. Tidak ada seorangpun yang boleh merampasnya. Dan sampai kapanpun, mimpi tersebut tetap layak untuk dikejar dan diperjuangkan. Pemerintah hadir di tengah masyarakat untuk mewujudkannya. Kali ini, Kementerian PUPR melalui BPSP yang datang membuat senyum lebar bagi Paini dan Wontiyah.
Semoga ke depan, akan semakin banyak Paini dan Wontiyah lain, yang dapat tersenyum lebar. Karena salah satu mimpinya telah dicentang hijau: TEREALISASI.
Komentar
Posting Komentar