Kenangan Terakhir Sebelum Kau Pergi, Dek!



 Apa yang paling dekat di dunia ini? Kematian. Yang Paling jauh? Masa lalu. Yang paling berat? Memegang amanah. (Imam Al Ghazali)




Kadang, kita baru bisa mensyukuri dan merasakan arti kehadiran seseorang ketika dia sudah pergi. Bagi saya, kata itu klise. Namun, kata selalu lebih bernyawa ketika seseorang sedang mengalaminya. Tak bisakah waktu diputar ulang? Tak bisakah saya lebih menunjukkan betapa saya mencintainya? Tunggu, saya belum membelikan permintaan remeh temeh terakhirmu  itu? Argan oil, yang katamu sakti untuk mengatasi jerawat masa pubermu.

Rasa menyesal itu akan selamanya bercokol di hati saya sejak hari Minggu lalu. 8 November 2015 pukul 13.15 WIB, saat ketika malaikat Izrail menunaikan tugasnya. Saat ketika saya, Mama dan Bapak harus ikhlas mengembalikan titipan Allah SWT-yang selama 16 tahun ini dititipkan kepada kami. Purna sudah tugas kami menuntunmu di dunia.

Fajar Minggu itu, sekira 10menit sebelum adzan Shubuh berkumandang, adalah hari yang tidak akan mudah aku lupakan. Suasana panas menyengat dan kering yang sudah terjadi di Jakarta akibat musim kemarau panjang, sedikit terkikis akibat hujan deras Sabtu siang. Telepon genggam saya berdering, dari Bapak.   
Sambil menangis sesenggukan, kabar itu datang seperti kilat dalam kesadaran saya.

Adik saya satu-satunya, Daffa kecelakaan, lagi. Iya lagi, awal tahun ini, dia juga mengalami kecelakaan yang mengakibatkan tulang lengannya patah. Empat giginya juga tanggal. Karena itu, bagi kami sekeluarga, ingatan akan kecelakaannya masih terbayang jelas.  Menghadapi kenyataan itu, bagaikan menyayat luka yang masih setengah kering. 

“Ditabrak sama truk besar di alun-alun. Sampai sekarang belum sadar, di UGD. Sepertinya luka operasinya kemarin kena lagi. Sekarang yang luka agak parah dagunya,” begitu kata Bapak sembari  menangis.

Lepas adzan, saya sholat Shubuh, mandi dan bersiap. Pukul 05.00 pagi, saya sudah berada di Stasiun Pasar Senen. Saya akan berangkat pukul 06.15 WIB naik Fajar Jogja sampai Purwokerto.

Purwokerto, tempat saya mendapatkan gelar Sarjana itu, mulai saat ini akan menorehkan satu kenangan lagi di benak saya. Setelah kecelakaan, Daffa dibawa ke PKU Muhammadiyah Sruweng, Minggu dini hari. Hanya setengah jam di sana, dia langsung dirujuk ke RS Margono di Purwokerto. Jadi, saya disuruh Bapak langsung ke sana saja.

Sekitar pukul 23.00 WIB, Bapak sedang akan pulang setelah mengikuti  pengarahan di Polres Kebumen. Di perempatan alun-alun Kebumen arah ke Pejagoan, dia melihat ada kecelakaan. Responsif sebagai anggota Polri, dia mendekat. Ternyata, sang korban yang saat itu sedang tergeletak di pinggir jalan itu anaknya sendiri, adik saya. Bapak sayalah yang akhirnya menggendong dan mengantarkannya ke dua Rumah Sakit itu. Luka yang masih menganga, membuat Bapak menunda  menghubungi Ibu saya. Setelah menelpon saya Shubuh, Bapak baru  mengabari tante dan om, untuk mengabari kecelakaan itu. Kata Bapak, dia enggak sanggup. Tindakan Bapak yang satu ini, benar benar membuat saya tidak berhenti bersyukur menjadi darah dagingnya. Semalaman itu dia menanggung kabar itu sendirian? Apakah dia memberi waktu kepada kami untuk beristirahat? Padahal, malam sebelumnya, Bapak baru lepas piket malam.

Selain belum membelikan obat jerawat, satu hal yang sangat saya sesali adalah saat itu, saya tidak memiliki firasat apapun akan ditinggal pergi. Saya sering berpikir, apakah apa sering digembor-gemborkan orang tentang firasat terakhir sebelum di tinggal pergi oleh keluarga itu didramatisir? Apakah itu berarti aku tidak cukup dekat dengan Adik semata wayangku itu?

Iya, saya tidak memiliki firasat apapun. Di kereta, bapak beberapa kali menelepon. Ketika saya sedang di atas motor Rahma-teman kuliah saya dulu- Tante saya kembali menelepon dan bilang saya akan dijemput kakak sepupu. Saya masih belum punya firasat. Dalam perjalanan stasiun Purwokerto-Margono, yang menghabiskan waktu sekitar 20 menit itu, saya masih sempat melihat-lihat perubahan apa saja yang terjadi di kota Satria itu. Bukankah kalian menganggap hati saya begitu bebal?

Ketika tiba di depan UGD, saya bertemu dengan tante, dia memeluk saya erat. Dia bilang, saya harus sabar, kuat dan ikhlas. Dia membisikkan itu di dekat telinga saya. Tante saya itu lalu melanjutkan,”Mumpung masih ada kesempatan, kamu langsung minta maaf sama Daffa dan pamit,” pesannya. Setelah itu, saya seperti berjalan di atas es yang tiba-tiba mencair. Semuanya berubah menjadi dingin dan pucat. Lutut saya melemas.

Sekitar 1,5jam kemudian, kenangan menunggu Daffa sakaratul maut akan sering berputar di kenangan. Hawa dinginnya, ketakutannya, kegelisahannya. Suara tangis tertahan Bapak, tangisan sesenggukan mama yang beradu dengan bacaan takbir dan istighfar, serta usaha paramedis mengembalikan nafasnya.
Mengingat kembali dan menanyakan detail kabar itu dengan kakak sepupu, saya mendapat gambaran lengkap. Pukul 09.00 WIB, keluarga –khususnya Bapak dan kakak sepupu- mendapat penjelasan dari dokter bahwa harapan hidup adik saya tinggal 5%. Apa yang bisa dilakukan keluarga, sarannya, hanyalah terus berdoa di dekat telinganya, karena dia masih bisa menerima respon suara. Sampai beberapa menit sebelum saya datang, dia masih bernafas normal. Kendati samar2, kata Bapak, terdengar suara seperti orang mengorok. Namun begitu saya datang sekitar jam 12.00 WIB

“Dek, Dek ini mbak. Mbak Nana. Mbak minta maaf ya Dek, kalau selama ini ada salah sama Daffa. Mbak ikhlas Dek, ikhlas. Kalau kamu masih dengar suara mba, langsung istigfar ya Dek,” maka kalimat itulah yang seketika itu ada di benak saya. Sebegitu sajakah kalimat terakhir saya ke adik semata wayang? Kemana perginya kemampuan merangkai kata sampai berpuluh ribu karakter, yang selama ini menjadi mata pencaharian saya? Pergi menguap entah kemana.

Selain memastikan bahwa Daffa mengingat Allah SWT di akhir nafasnya, saya tahu bahwa tugas saya adalah menguatkan mamah. Mamah, saat itu adalah semuanya. Tegak dan tegarku untuknya, karena betapapun kita  merasa kehilangan,  urutan kesedihan pertama pasti untuk Ibu. Tak heran karena ia yang hamil, melahirkan, membesarkan dan selalu jadi tempat berkeluh kesah. Di usia saya sekarang, bahkan sering saya hanya butuh mendengar suaranya, untuk kemudian semangat lagi.

Sekitar pukul 13.15 WIB, dokter memastikan bahwa Daffa sudah meninggal. Pasalnya, selama lebih dari 1,5 jam nafasnya dipacu, dia tidak menunjukkan respon. Sontak, saat itu menjadi kali pertama bagi saya mendengar tangisan keras dan pilu dari Bapak. Bapak yang tidak pernah marah itu, yang selalu sabar mengatasi semua kegalauan hatinya dalam diam, dan selalu ada dalam kondisi apapun. BApak, yang sudah menanti hampir 13 tahun untuk memiliki putra, yang selalu terlibat dalam setiap tahap perkembangan Daffa, dan yang lebih berperan menjadi  teman. Mamah juga bisa merasakan kepahitan Bapak ditinggal Daffa.

Semenjak Minggu siang tanggal 8 lalu, bumi masih bergerak tidak normal bagi saya. Tidur sebentar dan tidak nyenyak, bolak-balik Jakarta-Kebumen, menjalani beberapa tahap ujian, menyelesaikan beberapa urusan yang tertunda dan harus diselesaikan, menyemangati dan memastikan orang tua dalam keadaan baik, ngantor, dan mencoba memikirkan waktu terbaik untuk berputar arah. Hidup harus terus berjalan meski tak sesuai rencana. Ada ruang kosong yang tertinggal di sini, tapi apakah kita hanya bisa meratap? Semuanya masih berat. Kepergianmu Dek, telah menyadarkan dan mengubah semuanya. TAk usah dipikirkan. Kami hanya ingin memastikan jalanmu dipermudah dan dilapangkan. Dosamu semua diampuni. Yang lain, biarkan kami yang di sini yang memikirkan dan bertahan.  



Komentar