Pesan Bijak Narasumber di Kamis Malam




Gambar diambil dari sini: http://stiepena.ac.id
 
Jumat siang yang biasa, tapi semoga keberkahannya tidak biasa.  Namun, semalam saya bertemu dengan orang yang memberikan saya suatu pandangan yang berbeda.Semalam, saya bertemu dengan narasumber saya. Sejam  kami berdua ngobrol tentang pengalaman dan kariernya.


 

Dia, lelaki kelahiran tahun 1965.  Telah lebih dari 30 tahun berkarir di bisnis logistik nasional yang berfokus pada jasa pengiriman domestik. Lebih sejam ngobrol, saya mulai bete. Jawabannya pendek-pendek dan hampir tidak menarik. Tapi, ketika saya menanyakan apa cita-citanya yang belum tercapai sampai saat ini serta rencana pensiunnya, dia lebih terbuka.

Saya tercekat dan hampir kehabisan kata, ketika dia menyebut:


“Saya punya cita-cita menghafalkan Al-Quran dan mengajarkan kandungan kepada orang lain. Namun, sampai setua ini saya baru hafal beberapa saja,” katanya sembari tersenyum. Senyumnya, saya akui, tidak buruk. Haha….istighfar Gina.


Bermula dari sini, dia bicara banyak. Yang paling membekas, adalah prinsipnya soal memilih pemimpin.

“Memilih pemimpin yang Muslim itu wajib. Ada tersurat langsung dalam Al-Quran. Kalau patokan kita dalam memilih pemimpin itu biar Jakarta maju, tidak macet, tidak banjir, dsnb. Semuanya itu parameter dunia. Bukan parameter akherat,” lanjutnya.

Kata dia, kalau kita meninggal dan diminta pertanggung jawaban atas semua yang kita lakukan di dunia, maka kewajiban ini akan kita pertanggungjawabkan. Dengan alasan apapun, kata dia, memilih pemimpin yang bukan muslim itu salah. Meskipun dia memiliki kemampuan sehebat apapun, ketika ada kandidat Muslim, dialah yang harus kita pilih.

“Untuk Jakarta, saya berharap akan ada beberapa kandidat yang maju selain A. Saya berdoa SU,Y, MI atau siapapun akan maju. Jadi, suara terpecah di beberapa kandidat tersebut.  Saya akan memilih salahsatu kandidat yang Muslim itu. Namun, saya berharap A yang menang,” kata dia.

Kalau A yang menang, si narsum ini berharap dia memang sanggup membawa Jakarta kea rah yang lebih baik.


“A yang menang dan semoga Jakarta tidak lagi macet, tidak banjir, lebih rapi dan sebagainya. Saya menikmati hasilnya. Namun, kewajiban saya sebagai Muslim tetap saya laksanakan,” tutupnya sambil tersenyum.


Saya hanya bisa terdiam. Mencoba memikirkan dan meresapi pemahamannya akan win-win solution. Di busway yang mengantar saya pulang malam tadi, beberapa kata-katanya masih terngiang. Wajah orangtua saya di rumah membayang. Tak terasa air mata saya mengalir,

Saya rindu ada di pelukanmu, Ma... Bicara apa saja tanpa berkesimpulan, tapi lega dalam benak.

Kita memang perlu banyak bicara Ma, segera.

Tuhan, tunjukan saya win-win solution atas beberapa pilihan-pilihan ini. Aaamiin.




Terimakasih untuk obrolan kita semalam Pak W,
  

Komentar