Writerpreneur Rempah Rindu dan Sejuta Terima Kasih Untuk Prosesnya
Akhir Juni lalu, saya bertemu orang-orang hebat yang mengantarkanku pada
berbagai pintu dan pengalaman baru. Bekraf melalui Workshop
Writerpreneur Accelerate di Bogor menjadi pintunya. Momen ini menjadikan saya mengalun bersama Rempah Rindu.
Our New Baby Finally Born at Perpusnas Expo, Minggu (22/9) |
Mereka menggelar pelatihan empat hari menulis dan memasarkan buku dari hulu ke hilir. Bagaimana mengonsep ide sampai memasarkannya. Mentor utamanya Kirana Kejora. Namun selama empat hari tersebut ada Agustinus Wibowo, Pidi Baiq dan sederet nama besar lain.
Kamu mungkin bisa juga bilang. Ah, apa yang istimewa dari pelatihan intensif empat hari? Dikarantina sekalipun. Iya juga sih, kamu benar, selalu benar. Pelatihannya bisa didapat dari siapapun dan dimanapun. Berbayar atau gratis.
Selama ini, mungkin saya saja yang kurang membaca dan bergaul. Kurang piknik. Jadi, ya pikiran dan aktivitas saya begini saja. Hidup dalam dan termakan rutinitas.
Tapi karena forum ini penting, maka saya merasa wajib mengucapkan terima kasih. Postingan ini untuk mereka, khusus.
Thanks to All of You, Elang Tempur (Komunitas Alumni WWA) |
SAYA baru tahu bahwa dunia dan relasi penulis dan penerbit telah banyak bersalin rupa. Kita bisa menawarkan naskah kita melalui berbagai metode. Penerbit mayor hanya segelintir cara diantara ratusan cara lain. Distribusi buku melalui Gramedia juga hanyalah satu jalan, seribu jalan lain terbentang.
Saya dikenalkan sedikit mengenai jalur indie dalam menerbitkan buku. Jalur para pendekar. Saya yang hanya cuma bisa AOAO ini sungguh tertatih mengejar ketertinggalan.
Kemudian, saya diingatkan kembali tentang militansi. Bahwa semua orang bisa menulis. Harus menulis. Lepas dari apapun profesi maupun genre tulisannya. Menulis bukan hanya sekedar bekerja untuk keabadian, kata Pram. Namun menulis adalah sebuah cara untuk melepaskan beban yang ada di pikiran. Merunutkan apa yang berkecamuk dalam benak.
Saya berkenalan dengan seorang perempuan hebat. Seorang Ibu dua putra yang begitu produktif dalam menulis. Satu cerpen sehari atau satu bab novel sehari, katanya. Begitu loyal dan berdedikasi dalam mengembangkan komunitasnya. Begitu getol dan rajin dalam menyerap semua pelajaran baru dari para mentor. Begitu tidak kenal lelah dalam bekerja keras.
Saya juga merasa malu di depan seorang dokter perempuan berusia lebih dari setengah abad asal Bandung. Di usianya itu, bersama dengan seabrek kegiatannya mengelola klinik dan rumah sakit, dia menulis. Semangat juga menyerap semua ilmu. Bolak-balik Bandung-Jakarta untuk menghadiri semua agenda yang kami buat. Luar biasa, kan? Malu gak kita yang lebih muda ini kalau terus mengeluh.
Tiga Srikandi yang Begitu Penuh Semangat Menggetarkan |
Sejenis dengan totalitas penuh lain adalah Ibu Sri dari Surabaya. Dia seorang guru dengan tujuh putra. Terbang dari kota Pahlawan ke Jakarta demi hadir dalam Pitching Forum VIU dan Grand Launching buku di Perpusnas Expo.
Dia menyerap semua ilmu kekinian dari cara memesan kamar via aplikasi daring sampai seluk beluk program komputer. Ibu saya sendiri, dengan usia yang tidak jauh beda, sudah malas mempelajari aplikasi whatsapp dan sebangsanya.
Keterbatasan dan hambatan ada untuk dilawan. Tidak ada ruang untuk mengasihani diri sendiri. Saya bertemu dengan seorang penderita lupus yang begitu mandiri. Menghidupi dirinya dengan menulis. Persendiannya boleh lumpuh diserang imun tapi tidak semangatnya. Begitu juga dengan seorang mojang imut dari Sukabumi. Dunia boleh menyerang dan mengolokmu tapi tidak dengan keinginannya mendobrak tembok kreativitas.
Kepadanya, saya menghormat takzim.
Saya sungguh berutang begitu banyak pelajaran kepada kalian.
Selain orang-orang hebat itu, saya bertemu dengan berbagai kesempatan baru. Seorang teman, yang novelnya sebentar lagi diangkat dalam film, mengenalkan dunia film. Dia membawa saya menemui seorang sutradara film. Saya tidak minta dicasting atau main film apapun. Hahaha...saya cukup tahu diri.
Sang sutradara ini mau meluangkan lebih dari tiga jam waktunya untuk berdiskusi dengan kami. Tentang proses di balik produksi film. Tentang anggarannya. produksinya, eksekusinya dengan berbagai kru film. Dia juga mau bercerita tentang tantangan dunia film nasional. Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia dibandingkan denga pemerintah Korea Selatan atau India. Kenapa dua negara itu? Nanti, kapan-kapan saya ceritakan.
Dunia ini kadang berputar dengan cara yang aneh dan penuh canda, batin saya.
Apa yang selama ini saya pikir sedang usaha dan rencanakan, bergerak jungkir balik. Ada berbagai kejutan yang tentu saja sebuah keniscayaan. Namun, di persimpangan, saya bersua dengan para bintang.
Rempah Rindu and The Long Journey |
Adanya singgungan berbagai stakeholder dalam dunia tulis. Salah satunya adalah kesempatan saya untuk pitching naskah antologi buku saya ke dalam web series. Iya, pada perkembangannya, forum ini mengantarkan saya ke Pitching Forum VIU di Akatara. Akatara adalah salah satu program besutan Bekraf yang mempertemukan content creator dengan berbagai stakeholdernya.
Di forum Akatara, saya mempresentasikan naskah buku ini di hadapan orang-orang VIU untuk dilihat dan dinilai kelayakannya.
Bagus? Sukses? Saya adalah orang yang sangat percaya proses tidak pernah menghianati hasil. Target kami, saya dan tim Rempah Rindu, judul buku kami, adalah belajar. Belajar presentasi. Belajar melihat sejauh apa dunia literasi ini bergerak dan berkembang. Apapun hasilnya biar semesta yang menentukan.
Lagipula, ini adalah fiksi pertama saya sejak setidaknya 10 tahun lalu. Iya, saya memang orangnya bebal dan malas. Menjadi jurnalis membuat saya larut dengan rutinitas membuat artikel dan opini. Tidak ada lagi waktu tersisa untuk fiksi. Padahal, apa buku terlaris sekarang? Bukankah Harry Potter karya fiksi?
Rempah Rindu Squad bersama dengan Super Mentor, Mbak Kirana Kejora |
Saya terduduk diam diantara hingar bingar ini
Melihat berbagai macam orang lalu-lalang, berakrobat, bermain peran
Tak satupun saya mengenalnya
Kemudian saya merasa jengah dan rapuh
Mengapa saya tidak seperti mereka? Dan mereka dan mereka?
Mengapa saya selalu begini dan begitu saja?
Sepertinya saya memang hanya pandai mengeluh dan merutuk
Padahal saya terus diberi dan diberi tanpa pernah memberi
Tuhan,
Apapun yang sedang dan akan terjadi pada saya sekarang dan waktu ke depan,
Terima kasih telah membawa saya pada kelindan ini,
Terima kasih untuk berkat yang begitu luar biasa
Komentar
Posting Komentar