Eka Kurniawan di Kelas Jurnalisme Sastrawi Pantau





   


Jurnalisme-menulis nonfiksi- kadang memiliki beberapa keterbatasan.  Jurnalisme misalnya, sering hanya mengabarkan apa yang terjadi tapi tidak dengan apa yang dirasakan.



Bahasan ini membuka diskusi kami Sabtu lalu. Akhir pekan, cuaca yang sedikit panas di ruangan berisi sekira 40 orang itu, makin menambah ketertarikanku. Hari ini special. Kelas jurnalisme sastrawi Yayasan Pantau yang diasuh Andreas Harsono siang itu, menghadirkan tamu istimewa, Eka Kurniawan.  

Setahun lalu, seorang rekan di kantor lamaku merekomendasikan karyanya sebagai novel yang harus dibaca. Dia bilang, karyanya banyak dibaca dan dipuji banyak orang. Eka juga diundang sebagai salah satu pengarang Indonesia di Frankfurt BookFair 2015.

Saya tertarik. Resensinya di Goodreads juga banyak. Tapi bukunya belum juga kebeli menunggu panjangnya antrian dan terbatasnya kemampuan keuangan. Namun, begitu email mas Andreas masuk di inbox saya Jumat itu, saya langsung ke Gramedia. Beli Lelaki Harimau. Saya gak mau ketemu Eka ketika belum satupun karyanya dibaca.

“Dia berasal dari Tasikmalaya. Menamatkan sarjana dari Fakultas Filsafat UGM. Skripsinya tentang Pramoedya Ananta Toer. Di Pantau dulu, kami sering berdebat tentang Pram yang mencampuradukan tulisan nonfiksi dan fiksi….Orang bilang Eka Kurniawan, the next Pram,” kata Mas Andreas memperkenalkannya.

Dalam suatu kelas jurnalisme narasi yang dua bulan ini saya ikuti, Mas Andre memang mengkritik Pram. Menurutnya, Pram dengan sembrono memfitnah tokoh Pramana sebagai intel Belanda. Padahal, tidak ada satupun bukti otentik yang membuktikan keterlibatan Pramana itu. Bahkan,mas Andreas mensinyalir, kegagalannya mendapatkan nobel pun karena alasan itu.

Karya fiksi seperti novel, lanjut Eka, memang tidak akan menjadi rujukan seperti layaknya jurnalisme. Namun, isi novel bukan hanya bualan semata.  Bangunan utama novel bisa saja berasal dari riset maupun fakta sejarah yang harus dilakukan verifikasi berulang-ulang. Di titik ini, Eka dari dulu mendebat mas Andreas soal fiksi yang didasarkan pada fakta-fakta.

“Saya melakukan riset. Saya membaca semua macam buku, koran, majalah, terbitan. Saya bertemu dengan banyak orang. Menjadi jurnalis juga membuat saya terbiasa dan terus-terusan melakukan verifikasi,” jelasnya.

Dalam diskusi yang berlangsung sekira 1,5 jam ini, berbagai pertanyaan detail terkait dunia tulis-menulis dipaparkan dan dijelaskan Eka. Bagaimana tidak, mereka semua yang datang adalah orang-orang yang dekat dengan kata dan kalimat. Ketika ada yang bertanya, mas Andre juga menjelaskan secara singkat profil mereka. Di situ, saya baru tahu, beberapa alumni kelas Pantau datang. Ada editor buku Kompas Gramedia, ada orang World Bank yang memiliki toko buku di Pasar Santa, penggiat LSM dan juga penulis yang bahkan sudah diundang di Ubud Writer Festival. Aku? Apa…hanya butiran debu.

Ada yang tanya bagaimana proses meramu cerita Cantik Itu Luka yang sedikit bertema magic, seorang juga bertanya tentang metamorfosa tulisan di Lelaki Harimau dan Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Yang paling mengesankan, dua pertanyaan ini; satu diajukan mas Andreas dan satu lagi ditanyakan oleh seorang perempuan alumni Pantau;


“Di Ubud Writer Festival, Okky Madasari pernah bilang bahwa di Indonesia, orang tidak bisa hidup dari sastra. Menurut kamu?


dan pertanyaan yang lain begini:


“Apa tanggapanmu soal editing dan sensor di Indonesia?”


Menjawab pertanyaan pertama, Eka menjawab dengan jujur. Susah memang hidup jadi penulis di Indonesia. Cantik Itu Luka, yang saat ini sudah masuk cetakan ke-8 dan 30ribu pembaca, membutuhkan waktu 14 tahun. “Berapa besar royalti yang diterima per tahun? Untuk biaya hidup sekeluarga di Jakarta? Kecil.” Jawabnya. Selama beberapa tahun, Eka harus “kerja serabutan”. Dia menulis beberapa script film dan sinetron atau menjadi supervisor di beberapa acara tayangan TV.  “Beberapa hari lalu usia saya genap 40tahun, sebelumnya saya pernah berjanji ke diri saya sendiri. Saya akan balik ke Tasikmalaya dan buka toko souvenir kalau tidak berhasil melakukan apa-apa di usia itu,” jelasnya.

Soal sensor, dia punya cerita khusus. Di novelnya Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, Eka sering sekali menyebut kemaluan laki-laki;kontol. Pihak Gramedia mengharuskannya membaca ulang dan mengeditnya. Eka agak keberatan. Akhirnya, novel itu terbit dengan tiga ketentuan dari penerbit: menambah jumlah endorser, menambah logo untuk usia 21+ di halaman belakang dan juga menambahkan nama editor.

Saya sendiri mengajukan acara ini- di akhir diskusi, sembari minta tandatangan di Lelaki Harimaunya- bagaimana menghadapi mata angin di tengah penulisan?

Jawabannya membuat saya santai dan semakin terlena dalam pembenaran.

“Saya bukan orang yang produktif. Itu sebabnya jarak antara novel pertama dan kedua saya sekita 10 tahun. Kalau saya malas menulis ya males aja. Pengen tidur ya tidur, atau nonton film atau apa saja. Saya orangnya tidak bisa dipaksa-paksa gitu,”

Luarbiasa sekali jawabannya. Terima Kasih sudah menularkan pengalaman dan kembali meniupkan semangat baru di akhir pekan lalu. Saya berjanji akan membeli dan membacai novelmu yang lain.





Komentar