Sudah Saatnya Negara Ngutang pada Masyarakatnya Sendiri
www.bisnis.com |
Sore ini, saya bertemu dengan Deputi Komisioner Pengawasan Nonbank OJK Dumoly Pardede. Bagi kalian yang masih awam dengan bahasa-bahasa setinggi langit yang terkait dengan lembaga keuangan, dia adalah sang pengawas di bidang asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan (multifinance) dan modal ventura. Kalau di kementerian biasa, jabatannya adalah eselon II.
Hampir satu tahun ini, Dumoly beserta Firdaus Djaelani, adalah tokoh yang sentral bagi karir saya. Kata-katanya adalah sabda yang bisa diteruskan, dikomentari atau bahkan dipelintir, ke semua pemain di industri nonbank Tanah Air. Dari mulut kedua orang inilah, serangkaian kebijakan keluar. Kadang membuat pebisnis girang tiada kepalang, tak jarang juga membuat perut mereka mulas.
Pertemuan sore ini, diprakarsai oleh anak2 IKNB, yang sehari-harinya menulis perkembangan lembaga ini. Dumoly, adalah stakeholder kami yang bersahabat, mudah dihubungi lewat telepon pintarnya atau bahkan minta ketemu di kantornya. Hari ini, ketika dia mengeluarkan tiga aturan OJK baru terkait bisnis modal ventura, dia tidak keberatan ditemui di kantornya.
Apa dan bagaimana isi tiga aturan ini, tidak akan aku ceritakan di sini. Itu akan aku tulis untuk laman www.infobanknews.com, tempatku mengantungkan hidup saat ini. Saat ini, aku ingin menulis rencana regulator yang mewajibkan lembaga keuangan nonbank membeli Surat Berharga Negara(SBN).
Let Me Explain with simple words...
Jadi, ibarat sebuah rumah tangga, sebuah negara juga memiliki anggaran belanja dan pengeluaran; APBN. Dalam proses pembangunan, dana yang kita miliki ternyata memiliki keterbatasan sehingga mengharuskan kita harkus berutang. Utang ini, teman-teman, bagi sebuah negara bukanlah sesuatu hal yang tabu. Jumlah utang Indonesia itu, kalau enggak salah sekitar Rp1200 triliun. Banyak? Iya banyak dibandingkan dengan gaji kita sebulan. Namun, jika dibandingkan dengan nilai total APBN kita yang mencapai Rp10 ribu triliun, jumlah utang kita itu masih sedikit.
Iya, beberapa lembaga internasional, termasuk diataranya adalah IMF dan World Bank, justru memuji jumlah utang kita. Dibandingkan dengan Jepang misalnya, rasio perbandingan APBN dan jumlah utang mereka sudah lebih dari 100%. Bahasa mereka, pengaturan fiskal kita prudent.
Bagaimana cara negara berutang dan siapa saja yang memberi pinjaman ke kita?
Seperti layaknya rumah tangga kecil, cara negara berutang dibagi menjadi beberapa hal. Pinjaman langsung yang berlangsung government to government misalnya, antara Indonesia dengan AS. Atau bisa juga antar suatu negara dengan lembaga internasioknal seperti World Bank atau yang saat ini sedang heboh; Asian Infrastruktur Investment Banking. Bank Indonesia (BI) juga memiliki skema peminjaman sendiri untuk mengatur stabilitas moneter lewat skema: secondary reserve.
Yang paling terkenal, adalah senjata pemerintah di bidang fiskal. Surat Utang Negara (SUN). Jadi, setiap tahun, pemerintah sebenarnya telah merencanakan mengeluarkan utang baru untuk membiayai pembangunan. SUN inilah senjatanya. Nantinya, pemerintah akan mengumumkan berapa jumlah SUN yang akan dikeluarkan, tempo pembiayaannya, bunganya, dan juga dalam mata uang apa.
SUN ini ibarat kuitansi. Siapa saja kalian yang mau meminjami negara uang kalian, akan diberikan kuitansi. Kuitansi yang menerangkan bahwa kalian telah meminjami uang kalian sebesar berapa miliar gitu misalnya ke negara. Negara, pastinya akan membutuhkan waktu untuk membayar utang ke kalian (jangka waktu) yang paling sering dijadikan patokan adalah 10 tahun. Sebagai balas jasanya, setiap tahun selama jangka waktu tersebut, kalian akan mendapat bunga(return atau imbal hasil). Bagaimana kalau sebelum 10 tahun itu kalian membutuhkan uang tersebut? Pendek kata, kalian bisa menjual kuitansi ini di pasar sekunder khusus yang menjual Surat Berharga Negara (SBN). Harganya dan bunganya pun bisa naik dan turun, tergantung kondisi makro ekonomi.
Selama ini, pemegang SUN Indonesia ini lebih banyak asing. Porsinya kalau enggak salah sekitar 40%. Di pasar saham,porsi kepemilikan asing lebih besar lagi, lebih besar dari 50%. Sedih enggak? Inilah yang sebenarnya sering dikeluhkan banyak pihak. Ekonomi kita masih sangat tergantung dengan peran investor asing. Nyatanya, pasar keuangan kita begitu terbuka seperti pintu rumah menyambut tamu. Sekali saja mereka keluar, pasar keuangan ini akan kocar-kacir. Dalam sehari, misalnya waktu ada teror bom di Sarinah itu, dana asing sebesar Rp1 triliun kabur. Siapa yang paling kocar-kacir? Bukan mereka, tapi justru pemerintah, OJK dan juga BI.
Siapa sih mereka? Banyak. Sebagian besar mereka adalah lembaga keuangan asing yang mengelola uang dalam jumlah ribuan triliun rupiah (private equity). Kalian pernah dengar JP Morgan? Credit Suisse? Atau Scroders? Beberapa diantaranya mereka. Di samping itu, lembaga keuangan lokal seperti asuransi, dana pensiun dan BPJS Ketenagakerjaan.
Nah, ke depan, OJK menurut aku memiliki strategi yang bisa diapresiasi. Dalam beberapa tahun ke depan, OJK mengharuskan lembaga keuangan nonbank untuk semakin memperbesar penempatan investasinya di SBN. Dengan begitu, praktisnya, pemerintah Indonesia akan ngutang kepada masyarakatnya sendiri, bukan ke asing-asing itu.
Di tahun ini misalnya, asuransi jiwa harus menaruh investasinya minimal 20% di SBN, sedangkan asuransi umum dan reasuransi minimal 10%, BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan (badan) sebesar 30%, DJS Ketenagakerjaan 50% dan dana pensiun 30%.
Dengan aturan ini, berdasarkan perkiraan lembaga uperpower ini, setidaknya ada Rp204,92 triliun portfolio utang Indonesia akan dipegang lembaga keuangan nonbank dalam negeri. Di tahun 2017, jumlahnya akan naik menjadi Rp230,85 triliun. Setahun berikutnya, membuncit menjadi Rp247,17 triliun. Dan akan menjadi Rp265,47 triliun di tahun 2019 dan Rp286,20 triliun di 2020.
“Kita bisa bilang bahwa pemerintah akan mendapatkan kepastian dana dan pembayaran bunga yang murah untuk membayar pembiayaan jalan tol, pelabuhan dan bandara,” sebut dia.
Memang, selama ini, di pasar obligasi, bunga SBN Indonesia sangat berfluktuasi. Bila pasar keuangan goyah karena situasi keamanan atau karena suatu sentimen global tertentu misalnya, bunga SUN akan meroket. Itulah yang disebut dengan fluktuasi di negara emerging market. Kalau bunga SBN Indonesia meroket,pemerintah harus membayar bunga yang lebih mahal kan? Is it fair? Kalau sebenarnya pemerintah membayarkannya kepada BUMN atau perusahaan-perusahaan di dalam negeri? Dimana seharusnya mereka membatu pemerintahanya sendiri?
Di samping itu, yang sering terjadi di Indonesia, sebagian besar lembaga nonbank ini, ternyata masih menganut sistem investasi yang konservatif. Sebagian pengelolaan keuangannya disimpan di deposito perbankan yang paling aman. Iya, menyimpan uang di deposito itu memang paling minim risiko tetapi juga dengan imbal hasil yang sangat kecil. Sesuai peruntukannya, menyimpan uang di deposito juga salah. Karena deposito hanyalah pas untuk jangka waktu pendek. Sedangkan lembaga-lembaga ini, misalnya asuransi jiwa dan dana pensiun- memiliki spektrum investasi jangka panjang. Bahkan beberapa misalnya mencapai 20 tahun.
Kalau sebagian dari mereka masih menyimpan di deposito juga, mereka bisa menjadi seenaknya sendiri. Sebagai pemilik dana besar, mereka bisa memaksa bank meminta bunga khusus. Bank juga tidak berdaya dan hanya bisa mengiyakan. Inilah, kata Dumoly, yang membuat bunga perbankan masih setinggi langit meski inflasi sudah mulai turun.
“Kalau bunga deposito tidak turun, alat investasi yang lain seperti reksadana misalnya tidak laku dan tidak menarik. Bunganya tidak jauh dari deposito. Padahal, pemerintah mintanya bunga kredit turun agar bisa menggerakkan sektor ekonomi riil,” tambah Dumoly.
Dalam kacamata awam saya, sekali lagi, saya setuju dengan langkah OJK ini. Ini yang sering ekonom bilang sebagai upaya untuk memperdalam pasar keuangan dan mengurangi ketergantungan kita pada asing. Salah satu alasan kenapa pemerintah Jepang dengan berani melandaskan pembangunannya dari hasil utang, adalah karena pemerintahnya berutang kepada masyarkatnya sendiri. Kepercayaan masyarakat mereka akan kemampuan pemerintah untuk melunasi dan membayar bunga utang mereka secara tepat waktu begitu tinggi. Dengan begitu, pemerintah Jepang tidak khawatir kalau sewaktu-waktu pasar keuangan mereka crush. Toh investor-investor di pasar keuangan mereka adalah pihak lokal yang tidak akan lari dan melarikan dananya kemana-mana.
Kalau di Indonesia? Waduh, ada sentimen sedikit dari omongan oma Yallen di AS sana, langsung deh kayak kena gempabumi di atas 7 SR.
Teman saya tadi bilang, bahwa beberapa pemain di industri asuransi, merasa keberatan dengan aturan ini. Sampai tulisan ini saya tulis, saya belum melakukan crosscheck kepada asuransi dan juga DPLK tentang hal ini. Namun, menurut saya pribadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari aturan ini.
Kalau kita sering mendengar betapa lembaga-lembaga internasional dan juga investor asing itu begitu PD dan yakin dengan kondisi fiskal dan juga makro ekonomi Indonesia, kenapa kita tidak? Dengan dibebaskannya anggaran kita dari beban berat subsidi energi, ruang fiskal APBN kita semakin lebar. Dengan begitu, tidakkah ini saatnya untuk lebih memberikan kepercayaan kepada pemerintah Indonesia? Tidakkah ini saatnya memperbesar portofolio di SBN?
Aku cinta Indonesia, Indonesia Tanah Air Beta!!!!
Komentar
Posting Komentar