Otak Buatan yang Mengakomodir Kepentingan untuk Terus Baper
Ajang Social Media Week yang digelar 13-15 September 2017 lalu di The Hall, Senayan City menyisakkan banyak pekerjaan rumah untuk saya. Baik dalam pekerjaan maupun pribadi. Yang pertama terkait tanggung jawab pekerjaan agar terus bisa beli makan, gincu dan paket data. Yang kedua, terkait dengan transformasi besar. Semoga tidak hanya seperti kerlip bintang. Indah, bila hanya dilihat dari kejauhan.
Otak buatan yang semakin cerdas dan menggemaskan semakin membuat saya terpukau dan ternganga. Di hari kedua SMW 2017, sebuah talkshow terkait chatbots paling menarik perhatian. Pembicaranya dari Line Indonesia, Microsoft, Kata.ai dan tentu saja, bank swasta paling kece se-Indonesia; BCA (pesan sponsor. Wkwk...)
Pernah mendatangi sebuah laman di internet dan langsung diajak ngobrol? Chatbots biasanya ada di sebelah kiri bawah layar. "Saya Vina. Ada yang bisa dibantu?" begitu biasanya pesan awalannya.
Apple baru saja mengumumkan akan meluncurkan tiga buah produknya; Iphone8, Iphone8plus dan Iphone X. Yang terakhir, harganya bisa buat DP rumah sederhana di tanah tumpah darah saya, Kebumen. Namun, itu tidak menggoda saya. Chatbots yang menggunakan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligent atau AI) dan Native Languange Program (NPL) lebih membuat saya baper.
Mba Vina yang sering menyapa ramah di dunia maya ini, hanyalah robot. Dia hanya robot tanpa tulang dan darah, apalagi hati. Meski begitu, dengan dua teknologi itu, mereka bisa mengerti banyak sekali hal. Tidak hanya bahasa formal saja tetapi juga bahasa gaul khas milenial. Mereka juga cerdas tak terkira karena dapat menyimpan ratusan miliar data.
Bisa bayangin betapa pinternya?
Mbak Revie Sylviana dari Line Indonesia menyebutkan bahwa @jammi (chatboxnya Unilever) bisa mengingat kapan terakhir kamu beli shampoo dan ukuran berapa. Setelah itu, seminggu sebelum habis, dia akan mengingatkanmu untuk membeli shampoo lagi. @veronica, milik Telkomsel, juga tidak kalah canggih. Mesinnya mampu mengenali foto Raisa dan Hamish. Jadi, dia nyambung dan mampu memberikan komentar kocak soal #haripatahati nasional (yang sekali lagi, enggak ada ngaruhnya ke kehidupan saya). Saya cuma peduli sama SongSong Couple. Wkwk...
Chatbots, menurut mas-mas dan embak-embak super pinter itu, pas banget sebagai salah satu upaya memanjakan konsumen. Dalam bahasa keren nan melangit, mereka menyebutnya consumer engagement. Kenapa? Alasan pertama adalah karena masyarakat Indonesia lebih suka begunjing mengirim pesan dibanding menelepon. Mencari informasi terkait sebuah produk atau layanan aduan pelanggan dengan menelepon juga mahal. Baik dari sisi pemilik bisnis maupun pelanggan. Berapa lama biasanya kamu menelepon untuk mengadu? 10 menit? Ilang pulsa Rp15 ribu? Jawabannya itu-itu saja? Kesel kan?
Maka kemudian, mereka menilai chatbots lebih efektif. Sebagai pengguna, kamu hanya perlu mengadu melalui aplikasi pesan di telepon pintar. Mereka akan memberikan jawaban dengan akurat. Selain itu, di Indonesia, chatbots memiliki alasan khas milenial banget.
"Orang Indonesia itu mudah banget baper dan doyan banget ngobrol," kata Yogie Nugraha, Product Manager AI Microsoft Indonesia.
Di Indonesia, perusahaan besutan Bill Gates ini memiliki chatbots, Ranni. Mba Ranni baru resmi diluncurkan Agustus lalu. Namun, menurut datanya, pernah ada orang yang menyempatkan ngobrol sampai tujuh jam dengan Mba Ranni ini. Bahkan, ada yang pernah ngirimin gambar ala anak SD, Mba Ranni loves mas Budi di chatbotnya. Wkwk...baper ya keterlaluan ya sama mesin? Sekarang, kamu bisa menilai bahwa keanehan saya hanya 10% aja dibandingkan mereka ya kan?
Coba bayangkan kira-kira ini bocah harapan bangsa ngobrol apa sama mesin? Apa pula kira-kira tanggapan Soekarno denger generasi kalian (iya generasi kalian, karena saya agaknya sudah masuk milenial plus-plus. Wkwk) dengan kelakuan ajaib kalian ini? Ini karena mereka sangat responsif, nyambung ngomong apa aja dan tentu saja, tidak pernah ngambek!!
Client Partner Facebook Indonesia Henry Manampiring yang juga hadir di sesi lain, menyebutkan bahwa Indonesia adalah produsen Instagram Stories terbanyak di dunia. Katanya, orang-orang Facebook di Asia Pasifik bahkan seluruh dunia sempat heran dan bertanya, "Emang orang-orang Indonesia gak kerja ya?" Wkwkwk....dia enggak tahu betapa hebatnya kita melakukan multitasking, kerja dan ngecek bisa dilakukan dalam satu waktu.
BAPER!!! Itu kata kuncinya.
Saya juga jadi kepikiran. Kenapa kita jadi mudah banget baper ya? Baca kalimat-kalimat menye-menye sedikit langsung sensi. Lihat SongSong Couple duduk sebelahan langsung pengen. Denger kata KUA pengen lari ke sana. Nonton video orang putus dikit langsung nangis. Dan sebagainya dan sebagainya? Malu ga sih?
Apa kita kebanyakan dibombardir sinetron-sinetron dengan genre sama selama beberapa dekade ini? Untuk mengalihkan perhatian bahwa kita punya pekerjaan yang sangat besar. Kemampuan bahasa internasional (dapet salam dari skor TOEFL), kemiskinan, kepemimpinan, etos kerja rendah, kemampuan mencipta suatu barang dan korupsi yang merajalela?
Cinta tentu menjadi komoditas yang gampang dikunyah dan ditelan. Cinta juga menjadi barang murah tetapi cukup efektif menghasilkan keuntungan ratusan bahkan miliaran dollar dalam sepekan. Tak perlu lagi buka pabrik, menghasilkan barang dan kemudian menjualnya dengan segala trik marketing. Keuntungan juga secuil.
Apakah ini sebuah skenario besar pengalihan isu? Siapakah dalang besar di belakangnya? (ala-ala James Bond) Inikah upaya sistematis melumpuhkan kemampuan, sang mantan macan Asia?
Terdengar seperti putus asa dan tidak berdaya. Namun, seperti kata orang bijak, rumah adalah tempat paling nyaman dan aman di dunia. Tapi, sekali lagi, tidak ada pertumbuhan di dalam zona nyaman.
Yuk mari baper lagi dan biarkan mereka menguasai setiap sendi kehidupan kita. Lanjutkan membuka diri sampai telanjang di depan jendela komputermu!! Atau akankah kita mulai bangkit dan melawan?
Komentar
Posting Komentar