Dear Bapak Menteri, Ini Sebenarnya Alasan Kami Menunda Beli Rumah



Cara Generasi Milenial membeli rumah
Foto: Shutterstock


Dalam daftar panjang target 2018 yang disusun akhir tahun kemarin, saya menuliskan dua target berani mati. Saat menyusunnya, mungkin saya sedang galau akut. Ketika galau menyapa, semua hal terlihat seperti masuk akal bukan? Wkwk...

Saya menuliskan dua target di 2018, lebih rajin belajar ilmu blogging, nulis blog (meski isinya 100% curhat) serta menambah pengetahuan dan keterampilan investasi.




Kenapa dua hal ini? Pertama, karena saya takut tidak bisa menulis lagi, dimakan rutinitas. Zona nyaman membunuhmu, kata motivator bertarif puluhan juta per jam itu. Kedua, saya merasa sudah semakin dewasa (ehm) tapi tidak mengalami pengembangan aset. Merasa kalah lagi, Gin? Enggak kok, hidup kan bukan lomba lari, pesan salah seorang teman. Hahaha...sudahlah ya cukup, curhatnya.

Belum genap sebulan, saya sudah mulai mengeluh. Target seperti susah direalisasikan. Nulis apa ya? Belajar apa dulu ya? atau mau investasi dimana ya? (Percaya diri boleh, sombong jangan!). Sore ini, saya menemukan EurekaMoment dan menemukan bahan tulisan receh tapi menarik

Ikhwalnya, membaca sejumlah laporan yang menyiratkan kekhawatiran tentang masa depan generasi milenial. Sejumlah pihak seperti  Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, pakar keuangan, bankir-bankir parlente, ekonom yang jago membaca data, serta situs properti online menyebut hal sama. Generasi Milenial Indonesia akan susah memiliki rumah. Apalagi, kalau milenial-milenial itu mimpi punya rumah di Menteng, Kuningan atau Pondok Indah. Duh...kebanyakan mimpi.

Kenapa? Harga properti berlari marathon di belakang mereka. Sementara kondisi keuangan mereka hanya seorang sprinter. Harga rumah-rumah di tengah Jakarta sudah miliaran. Kantong siapa yang kuat? Padahal, rumah adalah sebuah pencapaian. Rumah juga merupakan tempat kembali setelah lelah bejibaku #halah

Enggan pusing, mereka melakukan anomali. Generasi milenial memang terkenal sebagai generasi yang melanggar pakem. Mereka tidak suka terlalu diatur, tidak suka kerja dari jam 09.00-17.00 dan suka pindah-pindah kerja. Alasannya? Cari pengalaman.

Kelahiran 1980-1990,  katanya lebih suka belanja pengalaman dibandingkan barang, termasuk rumah. Ngapain nyicil rumah? Katanya mending jalan-jalan ke Raja Ampat, Tibet, Dubai atau Korea Selatan. Mereka juga tidak mendongak dengan ilmuwan dan astronot tapi menyembah pada travelblogger dan vlogger.

Dua fenomena ini, membuat mereka yang merasa bertanggung jawab terhadap roda perekonomian negara stres. Mengapa? Kalau milenial tidak tertarik beli rumah, ekonomi akan melambat.

Kamu perlu tahu, sektor properti dan turunannya seperti konstruksi adalah parameter perkembangan ekonomi nyata. Pembangunan properti akan banyak berdampak pada berbagai sektor lain termasuk warung-warung pecel dan starbak keliling pinggir jalan. Properti juga menyerap banyak tenaga kerja dari tukang aduk semen sampai Si-Doel, yang sudah makan Sarjana dan Magister.

Jadi, wajar kan, betapa resah mereka kalau sampai kamu tidak tertarik beli rumah? Bagaimana kalau eekonomi negara bila kamu mencari pelarian atas tingginya harga rumah dengan  mantengin Traveloka, SkyScanner atau AirBnB? Dikira ngurus ekonomi gampang apa? (Jadi wartawan ekonomi lebih berat, Pak! Hehe...cium tangan)

Rumah.Com, sebuah situs pembanding properti online, membuat survei. Bisnis Indonesia menulis, generasi milenial sebenarnya tidak anti beli rumah.

Mereka mau saja beli (dan dijebak) utang (riba) selama 10 bahkan sampai 20 tahun. Namun, mereka butuh waktu berpikir. Pas lihat isi dompet, gaji, keinginan hedonisme dan syarat njelimet, mereka balik badan. Daripada puyeng, pikir mereka, mending buka Instagram liat artis Korea yang hidup di dunia khayali. Wkwk....#toyor.

Pengembang properti juga sebenarnya tidak berpangku tangan. Mereka bergerak. Beberapa pengembang kini bahkan menjadikan generasi milenial sebagai target pasar utama. Pengembang di Gading, misalnya membuat apartemen khusus studio dan dua kamar.

Harganya murah, meski tetap ratusan juta juga (ya kali ah, beli sarapan). Pengembang di Jakarta Timur memberikan bonus tinggal gratis selama unitnya belum jadi. Beberapa pengembang lainnya juga memberikan skema DP dan cicilan khusus atau sistem patungan. Jadi, tiga orang bisa patungan membeli satu unit apartemen. Semuanya demi satu hal, agar kaum-kaum sontoloyo ini punya rumah yang aman dan nyaman. Tidak bangga dengan status sebagai kontraktor atau nebeng di Pondok Mertua Indah. Jih, malu kali...

Membaca kabar-kabar ini, saya jadi berpikir (kerjaannya mikir dan komentar, khas milenial). Bekerja di Ibukota Jakarta selama lebih dari enam tahun, pontang-panting pergi pagi-pulang malam, kerja di hari Minggu, saya juga belum punya rumah. Rumah tapak, rumah di atas awan (apartemen) atau rumah barbie sekalipun.

Saya pernah merasa tak perlu lagi bekerja. Ya, buat apa? Gak akan kebeli juga itu rumah. 

Namun, ketika membaca sebuah berita, semangat saya seperti kena pompa angin.  Ada mas-mas ahli keuangan berusia 29 tahun #ehm, yang menyarankan untuk menunda beli rumah. Kenapa? Beli Rumah hanya membebani keuangan (yang sudah berat). Mending investasi dulu sampai bisa bayar DP yang lumayan dan mengambil pinjaman dalam tenor yang lebih pendek.

Mas, saya menjadi merasa tidak sendirian di muka bumi ini #mendadak baper. Saya kemudian menyusun tiga alasan maha penting kenapa memilih untuk menunda membeli rumah. Buat kamu yang istimewa, ini saya beberkan:

Nyaman

Selama lebih dari lima tahun ini, saya kos di pusat kota. Tanah Abang. Hanya bayar Rp400 ribu sebulan. Ibu kos saya tidak kenal prinsip inflasi dan kenaikan harga properti. Itu membuat saya terlena. Buat apa beli rumah? Kos sebulan juga setara dengan delapan gelas kopi di gerai kapitalis atau makan enak di mall paling tenar se- Jakarta Pusat. Wkwk...Kos aja lah, hidup enak dan efisien.

Malas Ribet

Saya pernah berniat mengajukan kredit rumah di pertengahan tahun 2012 dulu. Orangtua saya kurang mendukung. Alasannya jauh, ribet, siapa yang ngurusin? Siapa yang bayar? (Lah, itu sih aku Mah, Pah!) 

Setelah itu, bahasan beli rumah ditutup rapat. Dan harga rumah berlari kencang. Saya tidak ada di pusaran dan hanya bisa tersenyum manis.

Belum Punya Teman Membangun Rumah Tangga

Eaaa...Save The Best for Last, kata trainer lagi. Wuakakaka... #tutupmuka.

Jadi, panjang-panjang ngomong ngalor-ngidul-ngetan-ngulon, saya cuma mau curhat ini saja. Kalau nekat beli rumah, mau tinggal sama siapa? Pulang kerja, galau, cerita sama siapa? Dilampiaskan ke mana? Gambar-gambar bisu di dinding lagi? Duh, sedih amat, Gin!

Alasan itu yang membuat saya kekeuh ngekos. Nanti, kalau sudah ada yang menemani tinggal, saya pasti tidak akan ragu untuk membeli rumah. Jangankan rumah, tangga-tangganya yang katanya komplek dan penuh pelajaran hidup itu juga akan saya beli dan jalani. Hahaha...

Jadi, Pak Menteri dan Bankir, mungkin kalian sudah saatnya jangan hanya fokus pada pendanaan saja. Itu sih masalah gampang Pak, bagi sebagian kami. Yang lebih penting dan mendesak adalah,

"Apa tidak ada bantuan kredit untuk yang mau nemenin tinggal di rumah para kaum milenial itu?" Kalau ada, saya mau antri paling depan.  Hihi...

Biar khas Milenial di tahun 1990-an, tulisan ini akan saya akhiri dengan pesan Dilan. Tahu kan siapa Dilan? Itu lho....si badboy tapi sukses bikin baper sejagad maya:

"Kredit KPR itu berat Dek, kamu enggak sanggup. Biar Mas saja yang tanggung buat kita."

Kemudian dunia hening. Lega....




 

Komentar