Its Not About YOU, but me, myself and i
Disclaimer ON : Kalau setelah baca terus ada yang komen, "Emang kamu sudah sesempurna itu dengan melakukan semuanya?" Maka saya akan jawab tegas. Bukankah tugas kita adalah mencoba menjadi pribadi yang lebih baik setiap harinya? Sampai suatu saat DIA berkata cukup? Saya sudah mengusahakan yang terbaik, sebaik yang saya mampu. Jatuh dan bangun. Tapi saya terus berdoa saya terus berjalan ke kanan, area positif.
⇔⇔⇔⇔⇔⇔⇔⇔
"Tidak perlu engkau tanyakan (tentang) siapa seseorang itu, namun tanyakanlah siapa teman dekatnya. Karena setiap orang itu meniru (tabiat) teman dekatnya.” (Abi bin Zaid r.a)
Sering mendengar kalimat-kalimat seperti itu? Pastinya. Rasululloh SAW juga pernah menasehati kita untuk bergaul dengan tukang minyak wangi ketimbang pandai besi. Kenapa? Kalaupun tidak ketularan atau beli minyak wangi, wanginya sudah nempel. Tapi kalau pandai besi? Siapa tahu apinya mengenai pakaianmu. Minimal, bau asapnya nempel di baju.
Orang-orang superkaya juga sepakat. Menemukan teman atau partner kerja (bisnis) yang baik, kata miliarder-miliarder itu, adalah setengah kesuksesan. Mengapa? Karena proses itu tidak mudah. Dalam karier dan bisnis, teman yang baik harus menjadi supporter pertama dan utamamu. Dunia boleh jungkir balik di depan matamu, tapi dia tetap ada di belakang pundakmu dan berkata, "Semuanya akan berlalu dan baik-baik saja."
Kali lain, dia juga harus bisa menjadi kritikus gila. Mengolokmu sebagai pribadi gagal dan tidak sanggup melakukan apapun dengan benar. Itu membuatmu dongkol. Namun, apa kamu berpaling dan meninggalkannya? Tidak. Kamu justru bersemangat untuk membuktikan bahwa tuduhannya salah. Itu membuatmu terus naik kelas.
Apa ciri lainnya? Banyak. Carilah sendiri di makhluk paling pintar sejagad, Google.
Akhir-akhir ini, Saya bertemu dan berinteraksi dengan beberapa jenis orang. Pertama, dia mengajarkan saya untuk tidak menyamakan hidup dengan perlombaan lari. Kalaupun hidup adalah lomba lari, katanya, kita punya lintasannya sendiri. Tidak perlu terus melihat dan membandingkan diri dengan lintasan orang lain, termasuk kecepatan dan waktu tempuhnya.
Itu menjadi suatu jeda bagi Saya. Apakah kegelisahan-kegelisahan ini adalah akumulasi dari terlalu banyaknya membandingkan lintasan lari orang lain? Apakah ini adalah imbas dari kurangnya melihat rapuhnya lintasan lari saya sendiri? Layaknya peribahasa, semut di seberang lautan tampak tapi tidak dengan gajah di pelupuk mata.
Tuhan, begini saja ternyata derajat ilmu ikhlasku. Begini saja ternyata kadar tawakal hambaMu ini. Aku menjauhimu dua langkah, dunia seperti luluh-lantak. Jagalah, kuatkanlah, dan naungi kami dari cahayaMU.
Orang yang kedua, menasehati saya soal konsistensi. Sejak masa puber berpuluh tahun lalu (kelihatan senior), saya mengakui sebagai pribadi yang plin-plan dan mudah goyah. Saya juga sering tidak konsisten dengan apa yang sudah saya yakini dan lakukan.
Bukankah fleksibel itu penting? Tidak. Saya tidak menganggap itu fleksibitas. Saya lebih mengakuinya sebagai minimnya usaha, tekad, kemauan dan gampang menyerah. Saya sering merasa mudah puas dengan pencapaian hari ini. Saya seorang perencana, memang. Tapi, ketika saya menemui tantangan dan kesulitan, saya menjadi pribadi yang berpangku tangan.
"Semua kunci sudah ada di tanganmu. Melakukannya, atau tidak, bagimu hanya semudah membalikkan telapak tangan," katanya. Hati saya berkata A, tapi saya justru melakukan B. Hahaha...Duh Gin, susah ya konsisten.
Orang ketiga, mengajarkan saya untuk belajar menjadi Muslim yang kaffah. Dalam suatu pertemuan panjang di ikon hedonisme paling mentereng di Jakarta Pusat, dia justru menasehati saya tujuh SKS, tentang pentingnya menapak kembali ke jalan yang 'lurus'.
"Apa DIA yang membutuhkanmu untuk taat? Bukan. Taat adalah selalu tentang kamu dan pilihan-pilihanmu. Ketika kamu memilih membangkak sekalipun, kekuasaanNYA tidak akan pernah berkurang. Semua tidak pernah tentang DIA, tapi tentang kamu, untukmu," katanya. "Kamu bukan sedang berada di meja prasmanan yang dibolehkan memilih menu-menu yang menarik mata dan selera saja," kuliahnya.
Seketika, Saya merasa ditampar. Tumbuhan iman di hati saya memang terus hidup. Namun, dia dalam posisi kurang disiram dan dipupuk. Dia kerdil dan membonsai. Selama ini, Saya mungkin kurang mendekat pada tukang minyak wangi dan terlalu banyak bergaul dengan pandai besi. Harum surga, tiba-tiba saja terbentang miliaran cahaya.
Apakah selama ini saya terlalu memperhitungkan segalanya dengan kalkulator sendiri? Menghitung semuanya dengan rumus sederhana, 1+1=2?
Sementara DIA berfirman,
"Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji," (Al-Baqarah: 261)Pesan mana yang paling istimewa? Tentu saja semua istimewa. Mereka ada di jalurnya masing-masing. Saya selalu bersyukur, DIA selalu mengelilingi saya dengan orang-orang yang mengingatkan.
Dalam suatu perenungan panjang, saya teringat doa yang terus saya panjatkan dalam perjalanan di dua kota suci, November lalu,
"Rabb, kumpulkan Saya dengan orang-orang baik. Kumpul dan dekatkanlah dengan orang-orang yang selalu mengingat dan pandai bersyukur atas nikmatMu. Satukan hamba dengan orang-orang yang pandai merendahkan diri di hadapanMU. Mengejar ridho serta ikhlasMu. Kumpul-kumpulkan kami dengan orang yang selalu merindu surgaMu ya Allah. Kabulkanlah."
Lalu,
Nikmat TuhanMu yang mana yang Kamu dustakan?
Semua ini bukan tentang seberapa banyak yang sudah diperoleh, tapi seberapa banyak yang sudah kau syukuri. Sungguh, Saya lebih merasa sering (sengaja) melupakannya.
Nasehat gw gak ada gin? (Mari kita menertawakan hidup)
BalasHapus