Heboh Banget sih Krisis Turki? Kita Mesti Ngapain?

Hagia Sophia, Wait till I Come to You....#peluk
(Foto: Shutterstock).


Krisis mata uang Lira di Turki tiba-tiba meresahkan perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh, mata uang Rupiah terhadap Dollar (AS) melemah. Bunga acuan kembali dinaikkan 0,25%.


Apakah mungkin kita terjerembab dalam lubang yang sama seperti negeri itu? Kenapa semuanya jadi ikut terseret gini. Ga usah panik, kata pemerintah. Semua ini hanya sementara.

Lagian ngapain panik sih? Erdogan, Presiden Turki, juga selow.
"Kami punya Tuhan," katanya.

Namun, mengapa sebenarnya jatuhnya perekonomian di suatu negara menyebabkan efek domino? Jatuh satu jatuh semuanya? Mengapa bisa dua negara yang terpisah jarak jutaan kilometer bisa terkait? 

Berikut beberapa alasan sederhananya. Enggak usah pake angka-angka yang jelimet. 
Kalau mau lihat angka lihat aja koran atau BPS. Hihi..

Tidak Ada Satu Negarapun yang Bisa Mandiri 100%

Ekonomi global sudah tidak memiliki sekat apalagi di pasar keuangan. Handphone canggih dalam genggamanmu bisa saja Apple. Tapi yakin semuanya dibuat di AS? Enggak. Hardwarenya kebanyakan datang dari perusahaan di Tiongkok, bahkan asemblingnya juga di sana. Bahasa kerennya, global-supply-chain. Mana yang murah, jadikan pusat produksi. 

Di pasar keuangan istilahnya lebih kejam, uang tidak lagi memiliki tuan dan negara. Dalam perdagangan saham dan mata uang misalnya, investor dari negara manapun bisa masuk kemana pun mereka mau. Di pasar negara manapun. Kalau kaya dan punya uang memang bebas.  

Indonesia menganut sistem devisa bebas. Itu berarti setiap investor, khususnya asing, juga bebas keluar (menarik dana) dan masuk kapan saja. Investasi dari pasar saham ini nama kerennya hot money.  Logika ini menjadi dasar istilah yang mungkin kamu sering kenal, belanja asing (foreign buy) atau jual asing (foreign sell).Lawannya? Investasi langsung (FDI) kayak bangun pabrik. Jadi enggak bisa langsung kabur gitu aja.  

Pasar Indonesia, bagi investor asing, masuk dalam kategori emerging markets (negara berkembang). Investasi di negara emerging marketsi ini bagi investor sangat menarik. Ia menawarkan imbal hasil tinggi. Dobel tripel dari investasi di negara maju kayak AS. Namun ya pasti high risk high return. Alias sepadan sama risikonya. 

Setelah ekonomi AS dirasa terus membaik, Bank Sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunganya kembali. Para ahli menyebutnya ekonomi memasuki the new normal era.  Kalau saya sih menyebutnya, AS sakit semua negara sakit. Mereka sembuh, kita semua tetap sakit. Hihi...

Dengan ekspektasi kenaikan suku bunga, investor asing ketakutan dan menarik diri dari pasar emerging markets. Mereka menganggap imbal hasil sama risikonya gak sebanding. Apalagi kalau pemerintah kelihatan gak becus ngurus negara. Keliatan darimana? Di Indonesia, paling ketahuan dari defisit neraca pembayaran dan perdaganga. Kalau sudah begitu,  IHSG, rupiah dan pasar obligasi langsung keok. Fenomena ini yang sering disebut para ahli itu dengan sudden revearsal (keluarnya arus modal secara mendadak).

Apa yang biasa dilakukan investor kecil atau ritel macam saya dalam kondisi ini?
Mengikuti sarannya Pakde Erdogan saja, banyak berdoa. Kita punya Tuhan. Hehe...
#sambil nonton film Turki

MSCI, Indeks Acuan bagi Investor Global

Di pasar saham, asing tidak melakukan pembelian langsung pada satu per satu saham. Maksudnya, JP Morgan gitu (salah satu pengelola dana terbesar) enggak langsung beli BBCA atau BBRI 500 lot dalam sehari. Enggak. Mereka masuk melalui kumpulan saham atau Exchange Traded Fund (ETF). ETF sebenarnya mirip dengan konsep reksa dana. Unitnya disebut dengan kreasi penyertaan. 

Warren Buffet menyarankan untuk investasi melalui ETF aja btw. Saya sempat lirik sebentar ETF dalam negeri. 
Mahal abis modalnya. 
Wkwk...janganlah kalau duitnya mepet. 

Sebelum memasukkan investasinya ke emerging markets, investor asing pasti melihat satu indeks. Namanya indeks acuan. Mereka menyebutnya MSCI (Morgan Stanley Composite Index). MSCI adalah kumpulan berbagai saham yang tersebar di berbagai negara. MSCI Emerging Markets  misalnya, berisi kumpulan sejumlah saham di pasar Asia Tenggara.  

Bagaimana komposisinya? Mereka menghitung berdasarkan bobot. Saham-saham perbankan Tanah Air, bobotnya nanti paling besar dibandingkan sektor saham lain. Makanya, saham perbankan itu penggerak (mover) bagi gerak IHSG, selain karena memang ukuran (kapitalisasi pasar) yang juga besar. Maksudnya, kalau saham sektor perbankan turun, indeks juga turun.

Untuk apa MSCI ada? Tentu saja mudah bagi mereka untuk memantau. Sekali lihat, pergerakannya tergambar. Bila investor asing banyak menjual portofolio investasinya di emerging markets, maka indeks MSCI turun. Berarti investor asing itu masih terus waspada. Semakin buruk risiko global, mereka melakukan penjualan untuk meminimalkan risiko. Langsung terlihat hubungannya bukan?



Turki di Dua Belahan Benua, Eropa dan Asia
(Foto: Shutterstock)
 

Dampak Hubungan Dagang

Semakin intim suatu hubungan, semakin terkoneksi gitu, hakekatnya. Iya donk?
 

Sama. Bila hubungan dagang kedua negara terjalin erat, jatuhnya perekonomian satu negara juga akan berimbas pada ekononomi rekannya. Kalau dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor terbesar Indonesia adalah ke AS, Jepang dan Tiongkok. Jadi kalau satu sakit, satunya ikut demam.

Jatuhnya perekonomian Tiongkok gitu ya misalnya, tentu saja akan mengurangi permintaan ekspor Indonesia. Permintaan ekspor itu kan tahu sendiri, ngaru banget ke perekonomian negara.  Apalagi, sebagian besar ekspor Indonesia ke Tiongkok itu bentuknya komoditas seperti batu bara. Sedih ya? Sesuatu yang tinggal nambang dari alam. Enggak ada nilai tambah.  Impornya? Beraneka ragam dari barang remeh macam jarum dan benang sampai Wuling dan Xiaomi. 

BTW, kata teman saya, Xiaomi  yang benar bacanya Saomi. Hihi...

Dengan kondisi impor Indonesia yang besar, defisit neraca pembayaran dan neraca perdagangan Tanah Air juga akan semakin membengkak. Sederhananya, apa yang dibayarkan ke luar negeri lebih besar dibandingkan apa yang masuk ke dalam negeri. Defisit. 

Defisit yang terlalu lebar itu sungguh meresahkan investor asing. Mereka melihat bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki pengelolaan keuangan yang prudent. Apa memang begitu? Dalam UU sih, sebenarnya pemerintah selalu menjaga level defisit neraca di bawah 3%. Di Turki, defisit neracanya sudah melebar sampai 5,5%. 

Reuters menyebut ekonomi Turki mengalami kepanasan. Overheating, bahasa langitnya. Pertumbuhan ekonomi yang terlalu cepat ditandai dengan pertumbuhan kredit perumahan yang besar dan impor. Defisit.Takutnya akan jadi bubble (gelembung) yang rentan pecah kayak hati perempuan #eh 

Gimana dampak hubungan dagang Indonesia dan Turki? Biasa aja, temenan doank. Aman. Gak perlu kebanyakan baper gitu kata Bu Sri Mulyani. Kita cuma kena panas gosipnya aja. 


Turki....udah deh gitu aja (Foto: Shutterstock)

Dampak Melalui Kepemilikan Saham

Perusahaan multinasional seperti General Electrics asal AS misalnya, tentu saja memiliki cabang di berbagai belahan dunia. Jatuhnya perekonomian di suatu negara tentu akan berdampak pada penurunan kinerja perusahaan. Mereka kan enggak bisa jualan ya Bep? 

Dalam tahap yang lebih parah, mereka harus menutup cabang perusahaan tersebut. Chaos. Ekonomi mandeg. Mau gimana? Bila beberapa perusahaan swasta menjalin kerjasama bisnis dengan membentuk anak perusahaan (joint venture company) atau kepemilikan saham, negara asal perusahaan tersebut juga akan turut terkena efek domino.

Gimana? Ya kan setiap tahun mereka itu setor duit ke kantor pusatnya (headquarter). Setoranya macem-macem, pastinya laba bersih. Kalau modelnya waralaba seperti McD gitu, setoran mereka semakin banyak items-nya.

Bila kontribusi anak usaha ini besar dalam membentuk pendapatan konsolidasi (total), sudah dipastikan mereka akan tambah-tambah mumet kan? Hihi... Mau tahu salah satunya? Freeport Mc.Moran yang mengelola tambang di Papua sana. Kalau enggak salah, sekitar 70% pendapatan konsolidasi mereka berasal dari cabang Papua. 

Dalam krisis keuangan Turki misalnya, beberapa bank dari Eropa seperti BBVA (Spanyol), Uni Credit (Italia), BNP Paribas Prancis, ING (Belanda) dan HSBC akan terkena dampak yang cukup besar. Mereka memiliki beberapa saham di beberapa perbankan Turki.

Bayangkan, kepemilikan saham mereka di bank Turki bisa sampai 40%. Kalau perekonomian suatu negara bangkrut, tahu kan siapa yang akan tumbang terlebih dahulu? Semua orang akan berbondong-bondong mengambil tabungannya di perbankan.

Padahal, duit mereka sudah diputerin pada kredit, obligasi atau saham Lebih sedih lagi, kalau dikuntit pejabat atau direksinya. #ehh #maaf  #turkipunyatuhan

Tidak itu saja. Krisis Turki juga terjadi karena inflasi yang sangat tinggi, 15% apa. Untuk mengkompensasinya, suku bunga acuan mereka juga tinggi. Sekitar 17%. Buat menghalau kejatuhan Lira, Bank Sentral diminta menaikkan kembali suku bunga jadi 24%. Itu satu-satunya obat, kata dunia internasional  Tapi kecenya, Erdogan menolak. Enggak mau. Buat apa? Suku bunga itu setan, Duh, aku lyke.


Balik lagi, apa yang bisa kita lakukan? 
Enggak usah ngapa-ngapain sih ah. Santai saja, minum kopi, makan enak. 
Biarkan orang-orang pintar itu bekerja. 
Kita menikmati mereka bekerja sambil berdoa saja pada Tuhan
Apalagi Menteri Keuangan Turki ganteng.
Badai ini akan berlalu.



Komentar