Mendadak Asian Games dan Perjalanan Menyalakan Lentera

Saya tidak bangga dengan rasa nasionalisme yang ada pada diri ini. Itu terlihat pada ajang Asian Games kali ini.


Asian Games Jakarta-Palembang 2018
Saya Bersama Teman-Teman yang Mendadak Asian Games


Saya juga belum melakukan apapun untuk bangsa ini. Di usia saya yang sudah lebih dari seperempat. Bandingkan dengan atlet bulu tangkis kita Jonathan Christie yang hari ini memastikan tiket final Asian Games. Minimal setor medali perak bagi Tanah Air. Umurnya baru 21 tahun. Dibandingkan dia, saya masih bukan siapa-siapa, bukan apa-apa.

Saya tidak akan bohong.

Sampai beberapa hari kemarin, saya juga tidak terlalu tertarik dengan Asian Games. Dari jauh-jauh hari, teman satu kost-an saya heboh mengajak nonton. "Karena tiket harga pembukaan dan penutupannya mahal, setidaknya kita nonton cabang olahraganya yuk," kata dia. 

Saya bilang ngapain? Enggak usah. Di televisi banyak. Buang-buang waktu dan terutama duit. Apalagi, beberapa bulan ini saya benar-benar sedang mengencangkan ikat pinggang.

Ketika semua orang mengelu-elukan indahnya pesta pembukaan, sepertinya saya juga tidak bergeming. Oke, kecuali tari Ratoeh Jaroe yang dari Aceh itu. Pertunjukkannya mengesankan. Pas baca tafsirnya Mbak Kalis di sini, air bening dari sudut mata tidak bisa tidak menetes. Tapi sisanya, ah maafkan saya.

Ketika menontonnya di salah satu tempat makan di pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat, (bahkan masih disambi kerja) saya bersama teman bahkan sempat nyinyir. Bukan soal motor dan atraksi stunt-man Jokowi, itu biarkanlah saja. Enggak penting kecuali bagi beberapa buzzer. Lebih penting soal berapa belanja pemerintah yang begitu jor-joran. Rp5,5 triliun demi Asian Games yang cuma dua minggu itu.

Waow, berapa rumah sakit dan sekolah tercipta dari duit itu? hehe...

Beberapa hari sebelumnya, saya datang ke percetakan 24 jam di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Agak-agak sakit jiwa, karena jam 01.00 WIB dini hari masih di sana. Hampir seluruh mesin cetak yang beroperasi di jam larut itu, memuntahkan persiapan Asian Games. Wkwk...Gimana coba kan enggak pengen komentar.

Terus lagi dengan semua dandanan cantik di sepanjang jalan Thamrin-Sudirman.  Cantik banget kayak anak perawan mau dilamar. #eh. Kemarin lihat di Gelora Bung Karno (GBK) pun begitu. Cantik nian. Belum juga dengan serangkaian kegiatan kementerian untuk memeriahkan Asian Games. 

Beberapa kali mampir di FX Senayan, mall terdekat dari GBK, penuh kayak pasar kambing menjelang Idul Adha. Hihi... Lumayan kali ya, kalau pertumbuhan ekonomi semester dua ini mengandalkan belanja Asian Games.

JADI,



Asian Games Jakarta-Palembang 2018
Saya dengan Latar Belakang Nyala Api Abadi Asian Games 2018 (jauh) 

Dari sikap dan pandangan-pandangan itu, saya memutuskan bahwa dari skala 1-10, saya cukup tahu diri. Saya menempatkan rasa nasionalisme saya pada angka 3-4. Kebanyakan? Semoga enggak ya.

Dengan level itu, saya merasa cukup datang ke area festival Asian Games. Tiket masuknya sudah diturunkan dari Rp30 ribu menjadi Rp10 ribu saja kemarin. Modalnya kalau naik Kopaja 19 dari kost  cuma Rp4 ribu. Naik Grab mungkin Rp10 ribu. Terus foto-foto asyik di sekitaran GBK. Jajan-jajan enggak boleh lupa kapanpun dan dimanapun.

Tapi, kemarin, waktu nonton badminton bersama ribuan orang melalui layar gede GBK, ada sesuatu yang bergetar dalam hati. Saat mereka meneriakkan INDONESIA. Saat dengan semangatnya mereka  berteriak ketika sang atlet menambah poin. Saat semua orang menempel bendera Indonesia di pipi. Atau bando dan aksesoris lain di rambutnya. Mengenakan kaos merah-putih. Membawa Sang Saka dalam genggaman tangan atau badannya. 

Ah, saya trenyuh dan sempat menitikkan air mata.

Betapa kita adalah sebuah negara yang besar. 
Yang tidak pernah kurang dari semangat patriotisme dan heroisme.

Betapa sebenarnya, kecintaan kita pada Indonesia, Sang Tanah Tumpah Darah, ini tidak pernah mengering dalam sanubari

Betapa kita rela mengorbankan apapun yang kita mampu atau punyai untuk Ibu Pertiwi

Tidak, rasa itu tetap ada. Masih besar.

Hanya saja, kita hanya lelah di depan rutinitas dan kewajiban sehari-hari

Di Jakarta, orang harus pergi kerja dan mengejar kereta paling pagi. 
Pulang malam.
Berjejalan di kereta panas dan sumpek, belum gangguannya
Tak bisa tidak, kita hanya bisa mengutuk.

"Kenapa pemerintah begitu abai dengan penderitaan kita? Yang setiap hari menempuh 20 km dari rumah ke kantor demi sesuap nasi?" jerit rakyat.

Kita hanya lupa menyala dan menjaga nyala.
Lentera kecil di tengah gelap
Ketika membaca berita.
Seorang Gubernur muda menjahitkan baju Rp40 juta di Plaza Indonesia.
Membeli mainan di Singapura senilai itu juga. 
Meminta sapi untuk syukuran.

Semuanya minta dibayarin. Menjadikannya tersangka kasus gratifikasi dan korupsi. 

Bagaimana bisa hati kita tidak sakit?
Padahal untuk segelas kopi Rp30 ribu saja, kita selalu berhitung.
Memilih menu makan siang saja sambil membayangkan tagihannya.

"Lalu buat apa ada pemerintahan, kalau pada akhirnya hanya akan menyakiti hati kita?" Mereka itu bekerja untuk kita ataukah kita yang harus membayarnya?


Sungguh, di tengah semua hiruk pikuk ini
di tengah ketidakpercayaan pada banyak hal dan banyak pihak,
Kewajiban kita hanya satu,
sederhana saja,

Menyalakan lentera.
Setelah menyala, 
Kita harus menjaga lentera harapan itu tetap menyala. Tidak padam diterpa anging kencang. 
Lentera akan kebaikan, keramahan dan kebesaran negeri ini

Lentera Harapan akan kebesaran Indonesia
Di hari depan.

Lalu Muhammad Zohri telah membuktikannya di Finlandia kemarin lalu.
Mematahkan teori peluang dan membawa pulang medali emas.
Dia menyalakan lenteranya

Para atlet pencak silat telah menunaikan kewajibannya. 
Menyalakan lentera besar.
Kita panen emas dari olahraga asli Indonesia itu.

Mereka menyalakan lentera.
Tinggal giliran saya, kamu dan kamu
Menyalakan lentera kita masing-masing.
Dengan cara kita masing-masing.

Komentar