Pemerintah Fokus Membangun Pendidikan. Bagaimana dengan Saya?

Saya baru sempat membaca dengan agak serius artikel mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN 2019). Program pengampunan pajak (tax amnesty) diklaim berhasil sehingga keseimbangan primer (selisih pendapatan dan penerimaan negara) bisa dipaksa turun sampai Rp20 triliun. Kedua mengenai anggaran pendidikan. 



Pendidikan di Indonesia
Snowman Biru yang Kembali Masuk dalam Daftar Belanja

Eh, tax amnesty ini baik atau enggak sih gaes? Pemerintah kan memasang karpet merah ke para jutawan pengemplang pajak itu ya? Atau orang-orang yang gak nasionalis karena simpen duit di luar negeri? HAHAHA...thats all about, where you stand for the candidates? Nomor satu atau dua? Hihi...

Tahun depan, pemerintah juga fokus membangun pendidikan. Belanja untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia. Laporan World Bank menyebut kualitas SDM kita kehilangan 50% kualitasnya karena sistem pendidikan yang (mungkin) salah. Data BPS juga menyebut pengangguran terbuka makin banyak terutama di desa. Itulah kenapa dana desa harus dikucurkan. #eh maaf.

Sudah. Dua parameter itu saja dijembreng biar enggak makin sedih.

Apakah saya yakin, mulai tahun depan ada perubahan besar di sistem pendidikan kita? Entahlah. Apalagi, belanja pendidikan adalah investasi jangka panjang. Enggak langsung kelihatan kayak beli baju. Kelihatan di lemari. Tapi setidaknya, tetap menitipkan nyala harap itu tidak pernah salah. 

Nyala itu membesar kemarin. Saya ketemu pengusaha di bidang transportasi. Tahun depan, dia akan bekerjasama membangun semacam lembaga pelatihan dan penempatan kerja untuk menjadi sopir truk. Mengapa sopir?

Sopir itu, katanya, tidak ada jenjang kariernya. Sekali sopir tetap sopir. Tidak ada manajer, general manager atau direktur sopir, itu alasan pertama. Kedua, latar belakang pendidikan sopir di Indonesia sudah pasti di level menengah dan dasar. "Emang ada Sarjana mau jadi sopir?" alasannya. Ini jadi momok, industri 4.0 nanti katanya otomatisasi. Truk tanpa awak mungkin ada tapi masih jauh. Paling dekat, peningkatan kualitas SDM sopir saja dulu.

"Sekarang cari sopir truk itu susah. Di samping jumlahnya makin sedikit, regenerasi mati karena pengusaha enggak pake kernet lagi. Banyak sopir dari kernet.  Jadi kebanyakan pengusaha membajak sopir. Dilema. Padahal, distribusi barang menggunakan truk itu peluangnya masih gede banget di Indonesia," alasannya lagi.

Saya tahu, itu win-win solution bagi usahanya. Kalau harus membajak orang, dia pasti harus membayar gaji lebih besar. Boros dan tidak sejalan dengan kitab suci industri 4.0 yang mensyaratkan efisiensi. Kedua, tentu saja menambah isi duit di kantong perusahaan. Tenaga penyalur sopir. Hahaha...Sudah Gin, otaknya perlu dicuci.

====

Tahun depan akan jadi momen yang pas sekali bagi saya, kamu, kita. Tahun depan kita punya Presiden baru atau Presiden lama yang naik lagi. Haha...

BUKAN.


Momen untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas diri. Mengukur diri di tengah persaingan dan kompetensi sesuai arahan APBN 2019.

Beberapa minggu terakhir,  karena (lagak) super sibuk yang sedang dilakoni, saya merasa keteteran. Rasanya sudah bangun lebih pagi dan tidur lebih malam, setiap hari. Tapi tetap saja masih banyak pekerjaan yang tersisa. Saya takut badan saya rontok lagi. 

Bulan kemarin, saya kena cacar air. Entah ketularan virus dari teman kantor, daya tahan tubuh sedang turun atau memang semata karena belum pernah terkena virus ini. Cacar air membuat saya harus tumbang setidaknya empat hari.

Karena keteteran dan mengukur kekuatan badan itu, saya meminta bantuan seorang teman. Saya tuliskan dengan detail pekerjaannya. Ekspektasi saya mungkin terlalu tinggi. Atau, saya tidak bisa mendelegasikan wewenang dengan baik. Nanti saya evaluasi lagi.

Namun, saya sedikit kecewa dengan hasilnya. Tidak membantu. Padahal, usia kariernya di bidang yang saya geluti ini tidak terpaut jauh.

Seorang teman yang lain lagi, sering menanyakan hal remeh temeh dan teknis. Hemm...maafkan saya kalau terlihat sombong dan angkuh. Namun, saya pikir, dengan kapasitas dan pengalamannya, itu sudah selesai. Atau, tanyakan saja pada Google. Mudah dan sederhana. Tidak, dia memilih mempertaruhkan harga dirinya dengan bertanya.

====

Saya sudah bilang, kapitalisme itu kejam. Ia memisahkan kita dengan sekat-sekat tinggi. Tidak terkoneksi satu sama lain. Di pabrik-pabrik otomotif yang padat karya dan modal itu, buruh-buruh mengerjakan hal yang sama setiap hari. Sekrup, baut dan ban diproduksi terpisah. Mereka tidak pernah tahu (atau minim sekali pengetahuannya) tentang bagaimana menyatukan komponen-komponen itu menjadi CRV atau Fortuner terbaru.

Di bidang apapun, selama masih menjadi budak kapitalisme, saya juga merasa begitu. Tekuni profesi di bidang A, bekerja dengan cara dan metode B, seterusnya. Selamanya. Kita menua di sana. Dipaksa mengubur semua mimpi di tengah himpitan realitas. Seolah itu cara terbaik untuk bertahan.

Pekerjaan ini, menutup saya dari jendela-jendela lain. Pekerjaan ini membuat saya merasa nyaman sepanjang waktu. "Sepanjang gue memiliki keahlian spesialis, bodo amat dengan yang lain."

JADI, 

Saya cuma mau mengingatkan diri sendiri untuk membuka mata lebih lebar. Tidak merasa menjadi paling benar dan tahu. Merasa memiliki kemampuan khusus.

Jangan. Bebaskan dirimu. Sungguh berada dalam kotak itu begitu menyiksa.

Kemudian, saya membuat pembelaan-pembelaan diri.

Saya memilih kembali ke menara gading pendidikan tahun ini.

Ketika dirasakan beberapa bulan ini, rasanya begitu berbeda dengan ketika saya meninggalkannya delapan tahun lalu. Yang sama, opini pribadi yang makin kuat. "Gue emang gak bakat kayak beginian. Kenapa enggak langsung praktik aja sih?" Wkwkwk...

Dari sana, saya juga menilai kualitas laporan World Bank itu. Lembaga yang ngaku-ngaku punya cabang di seluruh dunia tapi enggak punya ATM. Haha...retceh. 

Baiklah, cuma mau bilang. Kalau kita menggeneralisir kualitas SDM Indonesia itu kayak saya, maka kualitas SDM yang katanya biasa-biasa saja itu sungguh benar. Daya tahan dan bantingnya apalagi. Saya bahkan sering ngomong gini ke diri saya sendiri: 

"Kok aku enggak tertantang untuk baca buku, jurnal dan bikin makalah dengan sebagus-bagusnya gitu ya. Asal selesai tepat waktu sajalah."  Hahaha... 

Capek, lelah, merasa salah. Tapi, saya lega lagi ketika membaca tulisan Mas Iqbal tentang apa yang didapatkan Sarjana Jepang dan tidak bisa bahasa Jepang. Sarannya, mari gunakan momentum belajar keras itu sebagai proses dalam membentuk watak tahan banting. Baique Mas, lanjutkan ya. 

Pembelaan ini menemukan alasannya lagi tadi malam. Bapak Doktor, yang tersohor itu, menguliahi saya begini:

"Dunia Barat tahu mereka tertingal dari Timur ketika Perang Salib. Mereka masih berada pada the dark aged ketika banyak ilmuan Andalusia menemukan pengetahuan. Namun, setelah itu, kita terlalu terlena dengan ajaran Al-Ghazali. Dia seperti memisahkan agama dengan pengetahuan. Kemudian, sampai setidaknya abad ke-19, kita tidur. Ketika Eropa, Dunia Barat, sudah begitu maju dengan pengetahuannya," katanya. Saya lihat, matanya menerawang jauh. Tubuhnya melemas. 

Baiklah Pak, nanti saya pikirkan lagi ya.

Sekarang saya mau kerja dulu. Kapitalisme, yang bentukan Barat itu, sudah memanggil manggil.

HEHEHE... #ciumtangan









Komentar