Wardah dan Akhir Resolusi Kecantikan Saya di Tahun 2018
Akhir tahun 2017 lalu, saya menulis satu target ambisius. "Di 2018, kemampuan make-up harus bertambah," begitu tertulis di tembok kamar. Warna biru pakai Capslock. Ini resolusi yang cukup besar, karena akan menyeret merek lokal seperti Wardah, dan industri kecantikan Indonesia berjaya.
Apa kabar sekarang?
Semenjak lulus kuliah dan kerja, saya tertarik banget dengan dunia rias dan makeup. Tapi tertarik saja, enggak praktik. Hihi...
Media sosial membuat ketertarikan ini makin menjadi. Influencer, beauty blogger dan youtuber itu membuat saya 'terjebak'. Bukan jadi vlogger kayak generasi Z itu. Saya tahu diri. Cuma penasaran, kenapa kalau mereka dandan hasilnya bagus tapi saya enggak. Berantakan dan menor. Hahaha...
Saya pernah sakauw membaca aneka manfaat krim dan warna-warni makeup. Kalau sudah begitu, saya bisa seharian utak-atik Female Daily dan sejenisnya. Saya membaca semua review dan komentar yang ada di forum. Setelah itu, membandingkan kualitas dan harga satu produk dengan lainnya atau battle. Kalau masih sejalan dengan isi kantong, saya tidak pikir dua kali untuk beli dan coba. Untungnya, kulit saya bukan jenis sensitif. AMAN.
Hasilnya?
Hihi...jujur ya, biasa saja sih (Eh, SKII lumayan deh kecuali harganya. Hihi..). Saking bosennya dengerin saya ngoceh, salah satu teman menyarankan saya pergi ke dokter kecantikan saja yang lebih AJAIB. Tidak. Mengenai perawatan dokter, saya memang anti dari dulu. Malas. Sudahlah mahal, kita masih harus antri dan keluar ongkos pula buat kesana. Hih, tidak usah, muka saya baik-baik saja.
JADI,
Tahun ini, target BIRU tebal satu itu rasanya harus masuk dalam daftar target tidak terealisasi. Kenapa? Tahun 2018 ini, saya dihadapkan pada situasi complicated (Eaa). Tidak sesuai untuk belajar make-up. Apalagi, arahan pemerintah dan Bank Sentral untuk turut mengencangkan ikat pinggang juga sepertinya harus diikuti.
Apa hubungannya dengan pemerintah? Kalian harus tahu. Kebanyakan krim dan losion ajaib buat muka dan tubuhmu itu impor Cyin. Impor make-up membuat neraca pembayaran Indonesia bolong gede. Tekor. Hahaha...stop sampai di situ. Saya bosen ngomongin ekonomi. #angkuh.
Karena itu, lebih dari enam bulan ini, saya benar-benar puasa belanja kosmetik. Kalau dipaksakan mungkin bisa, tapi saya kehilangan minat. Kecuali lipstik deh, karena tanpa senjata mematikan itu, muka saya pasti pucat banget.
Saya sampai heran sendiri. Ternyata bisa ya? Wkwk...Sebelumnya, meski tidak menerapkan 10 langkah perawatan muka ala Korea, saya biasanya menjalankan 5-6 langkah perawatan seperti diajarkan HyeKyo Noona.
Sekarang?
Boro-boro.
Saya bisa pergi ke kantor cuma pakai minyak zaitun asli Mekkah dan sunblock. Ehm...mungkin ini rahasianya? Hihi.. Pokoknya, kemana-mana, saya cuma pakai bedak dan lipstik. Blush-on tipis-tipis (kalau niat).
Puasa beli kosmetik, membuat saya menginsafi satu hal. Ah, ternyata muka ini baik-baik saja tanpa botol-botol itu. Tidak ada yang berubah. Tidak ada jerawat kecuali ketika tamu bulanan datang. Tidak belang bentong karena terbakar sengat matahari. Tidak kusam berlebihan. Air wudhu saja sudah cukup. Hahaha...yang ini kebangetan.
Kemudian, saya menyadari tiga hal penting.
Pertama,
Kosmetik dan kecantikan itu benar-benar sudah menjadi industri. Besar. Ia menyeret kita untuk khawatir dengan berbagai penyakit seperti muka kering, kusam, pucat, kerut, gelambir, warna tidak merata, dan sebagainya dan seterusnya. Padahal, tanpa semua itu juga hidup akan baik-baik saja. Biasa saja. Yah, tapi diakui sih, kalau pakai serumnya Lancome rasanya muka lebih glowing dibanding Sariayu. Wkwk...
Ya baiklah, beda. Tanpa perawatan standar, muka akan terasa kasar sedikit seperti parutan kelapa. Tapi sekali lagi, maksud saya, hidup tetap akan baik-baik saja. Sehat. Normal. Kuncinya adalah hati yang gembira. Hihi...
Apakah saya mau mengajak untuk berhenti belanja kosmetik gitu? SORRY, tidak akan. Sebulan terakhir, saya kembali membuka Shopee dan Sociolla. Bahasanya pemerintah, mengejar realisasi target di akhir tahun. Wkwk.. Saya masih berhasrat menghabiskan jutaan rupiah demi krim dan losion mahal itu kok. Tapi pas lihat dompet, sedih banget. #eh #malahcurhat. Bagi saya, kosmetik membuat hidup terasa lebih berwarna sehingga harus dinikmati.
Kedua,
Jangan merasa bodoh dan menjadi perempuan cetek hanya karena suka dandan. Mengisi dan meningkatkan kualitas otak satu hal, tapi pinter dandan juga enggak ada salahnya. Takut dibilang menor dan enggak pantes? Senyumin aja dan biarkan. Seminggu kita dandan begitu terus mereka juga diam.#super percayadiri
Perempuan itu bukan komoditas. Barang dagangan. Enggak usah merasa murahan kalau lagi pengin dandan sedikit tebal dan lebih merah. Enggak dosa atau membuat kita jadi terkesan genit, menor atau haus perhatian laki-laki. Aduh, kalian hidup di zaman apa sih? UDIK. Beresin dulu isi otak biar enggak berantakan. Kalau rapi, otak jadi punya ruang untuk menerima hal baru.
Sebaliknya, jika kamu punya pandangan perempuan harus dandan tipis-tipis, boleh saja. Tapi enggak usah nyinyir dan merasa lebih baik. Kenapa semua orang harus mengikuti gayamu yang cukup dengan bedak Marcks dan lipstik warna nude? Itu konservatif, enggak bisa dandan atau gak mampu beli? Haha...resek kayak netizen.
Ketiga,
Coba baca empat seri tulisan Dahlan Iskan mengenai Bu Nurhayati, sang fouder Wardah. Aduh, keren banget. Saya angkat topi dengan kiprahnya di dunia kosmetik Tanah Air. Semenjak Wardah booming, saya pikir, merek-merek kosmetik lokal kembali percaya diri untuk menjadi tuan di rumah sendiri. Belanja iklan dan kampanye jor-joran. Diversifikasi produk sebagai dupe kosmetik impor.
Sebagai konsumen, kita jadi sadar dan punya pilihan. Kita jadi bisa komentar, "Ah, lipstik Purbasari yang Rp40 ribu itu lebih pigmented dibandingkan Laneige yang Rp250 ribu." Boleh donk kita tepuk dada dan bangga sama produk lokal? Stop, jangan memperdebatkan bahan bakunya yang masih impor. Hihi...
Wardah memberi saya pemahaman. Keinginan perempuan untuk tampil cantik dapat membuka 11 ribu lapangan kerja. Itu satu perusahaan. Bagaimana kalau ada 20, 50 atau 100 Wardah? Berapa lapangan kerja tercipta? Berapa sumbangannya ke perekonomian? BANYAK.
Waktu Umroh setahun lalu, travel saya memberangkatkan ratusan karyawan Paragon (grup usaha Wardah). Katanya, itu program rutin perusahaan. Luar biasa kan? Kalian para perempuan, termasuk saya, enggak pengen bisnis? Bermanfaat bagi banyak orang? Masih cuma bisa nyinyir, kenapa perempuan cuma sibuk otak-atik muka? KASIHAN.
Sebagai perempuan yang hobi coba dan belanja kosmetik, kita mesti ngapain dulu?
Gampang.
Ganti semua kosmetikmu dengan Wardah atau produk lokal.
Wardah itu habis mengeluarkan seri terbarunya, Instaperfect. Kayaknya bagus kan? Gimana? Saya belum beli. Hihi...
Ayolah, mari belanja, mari gunakan produk Indonesia. Mari, hidupkan perekonomian nasional melalui kuatnya konsumsi domestik. Haha...#bukanpesansponsor.
Apa kabar sekarang?
Janji Pramuka untuk Disiplin dan Konsisten Merealisasikan Target 2018 |
Semenjak lulus kuliah dan kerja, saya tertarik banget dengan dunia rias dan makeup. Tapi tertarik saja, enggak praktik. Hihi...
Media sosial membuat ketertarikan ini makin menjadi. Influencer, beauty blogger dan youtuber itu membuat saya 'terjebak'. Bukan jadi vlogger kayak generasi Z itu. Saya tahu diri. Cuma penasaran, kenapa kalau mereka dandan hasilnya bagus tapi saya enggak. Berantakan dan menor. Hahaha...
Saya pernah sakauw membaca aneka manfaat krim dan warna-warni makeup. Kalau sudah begitu, saya bisa seharian utak-atik Female Daily dan sejenisnya. Saya membaca semua review dan komentar yang ada di forum. Setelah itu, membandingkan kualitas dan harga satu produk dengan lainnya atau battle. Kalau masih sejalan dengan isi kantong, saya tidak pikir dua kali untuk beli dan coba. Untungnya, kulit saya bukan jenis sensitif. AMAN.
Hasilnya?
Hihi...jujur ya, biasa saja sih (Eh, SKII lumayan deh kecuali harganya. Hihi..). Saking bosennya dengerin saya ngoceh, salah satu teman menyarankan saya pergi ke dokter kecantikan saja yang lebih AJAIB. Tidak. Mengenai perawatan dokter, saya memang anti dari dulu. Malas. Sudahlah mahal, kita masih harus antri dan keluar ongkos pula buat kesana. Hih, tidak usah, muka saya baik-baik saja.
JADI,
Tahun ini, target BIRU tebal satu itu rasanya harus masuk dalam daftar target tidak terealisasi. Kenapa? Tahun 2018 ini, saya dihadapkan pada situasi complicated (Eaa). Tidak sesuai untuk belajar make-up. Apalagi, arahan pemerintah dan Bank Sentral untuk turut mengencangkan ikat pinggang juga sepertinya harus diikuti.
Apa hubungannya dengan pemerintah? Kalian harus tahu. Kebanyakan krim dan losion ajaib buat muka dan tubuhmu itu impor Cyin. Impor make-up membuat neraca pembayaran Indonesia bolong gede. Tekor. Hahaha...stop sampai di situ. Saya bosen ngomongin ekonomi. #angkuh.
Karena itu, lebih dari enam bulan ini, saya benar-benar puasa belanja kosmetik. Kalau dipaksakan mungkin bisa, tapi saya kehilangan minat. Kecuali lipstik deh, karena tanpa senjata mematikan itu, muka saya pasti pucat banget.
Saya sampai heran sendiri. Ternyata bisa ya? Wkwk...Sebelumnya, meski tidak menerapkan 10 langkah perawatan muka ala Korea, saya biasanya menjalankan 5-6 langkah perawatan seperti diajarkan HyeKyo Noona.
Begini Saja Resolusi Makeup 2018 Saya? Menyedihkan |
Sekarang?
Boro-boro.
Saya bisa pergi ke kantor cuma pakai minyak zaitun asli Mekkah dan sunblock. Ehm...mungkin ini rahasianya? Hihi.. Pokoknya, kemana-mana, saya cuma pakai bedak dan lipstik. Blush-on tipis-tipis (kalau niat).
Puasa beli kosmetik, membuat saya menginsafi satu hal. Ah, ternyata muka ini baik-baik saja tanpa botol-botol itu. Tidak ada yang berubah. Tidak ada jerawat kecuali ketika tamu bulanan datang. Tidak belang bentong karena terbakar sengat matahari. Tidak kusam berlebihan. Air wudhu saja sudah cukup. Hahaha...yang ini kebangetan.
Kemudian, saya menyadari tiga hal penting.
Pertama,
Kosmetik dan kecantikan itu benar-benar sudah menjadi industri. Besar. Ia menyeret kita untuk khawatir dengan berbagai penyakit seperti muka kering, kusam, pucat, kerut, gelambir, warna tidak merata, dan sebagainya dan seterusnya. Padahal, tanpa semua itu juga hidup akan baik-baik saja. Biasa saja. Yah, tapi diakui sih, kalau pakai serumnya Lancome rasanya muka lebih glowing dibanding Sariayu. Wkwk...
Ya baiklah, beda. Tanpa perawatan standar, muka akan terasa kasar sedikit seperti parutan kelapa. Tapi sekali lagi, maksud saya, hidup tetap akan baik-baik saja. Sehat. Normal. Kuncinya adalah hati yang gembira. Hihi...
Apakah saya mau mengajak untuk berhenti belanja kosmetik gitu? SORRY, tidak akan. Sebulan terakhir, saya kembali membuka Shopee dan Sociolla. Bahasanya pemerintah, mengejar realisasi target di akhir tahun. Wkwk.. Saya masih berhasrat menghabiskan jutaan rupiah demi krim dan losion mahal itu kok. Tapi pas lihat dompet, sedih banget. #eh #malahcurhat. Bagi saya, kosmetik membuat hidup terasa lebih berwarna sehingga harus dinikmati.
Bareface ala-ala Beauty Blogger, Belum Mandi dan Tanpa Makeup |
Kedua,
Jangan merasa bodoh dan menjadi perempuan cetek hanya karena suka dandan. Mengisi dan meningkatkan kualitas otak satu hal, tapi pinter dandan juga enggak ada salahnya. Takut dibilang menor dan enggak pantes? Senyumin aja dan biarkan. Seminggu kita dandan begitu terus mereka juga diam.#super percayadiri
Perempuan itu bukan komoditas. Barang dagangan. Enggak usah merasa murahan kalau lagi pengin dandan sedikit tebal dan lebih merah. Enggak dosa atau membuat kita jadi terkesan genit, menor atau haus perhatian laki-laki. Aduh, kalian hidup di zaman apa sih? UDIK. Beresin dulu isi otak biar enggak berantakan. Kalau rapi, otak jadi punya ruang untuk menerima hal baru.
Kalau kamu merasa lebih percaya diri, bahagia, produktif dan menunjukkan sisi terbaik kemampuanmu dengan make-up, go ahead. Enggak ada yang salah atau diubah. Itu hanya soal karakter dan selera.
Sebaliknya, jika kamu punya pandangan perempuan harus dandan tipis-tipis, boleh saja. Tapi enggak usah nyinyir dan merasa lebih baik. Kenapa semua orang harus mengikuti gayamu yang cukup dengan bedak Marcks dan lipstik warna nude? Itu konservatif, enggak bisa dandan atau gak mampu beli? Haha...resek kayak netizen.
Ketiga,
Coba baca empat seri tulisan Dahlan Iskan mengenai Bu Nurhayati, sang fouder Wardah. Aduh, keren banget. Saya angkat topi dengan kiprahnya di dunia kosmetik Tanah Air. Semenjak Wardah booming, saya pikir, merek-merek kosmetik lokal kembali percaya diri untuk menjadi tuan di rumah sendiri. Belanja iklan dan kampanye jor-joran. Diversifikasi produk sebagai dupe kosmetik impor.
Battle Lipstik Lokal vs Impor yang Pernah Hitz di Jagad Maya |
Sebagai konsumen, kita jadi sadar dan punya pilihan. Kita jadi bisa komentar, "Ah, lipstik Purbasari yang Rp40 ribu itu lebih pigmented dibandingkan Laneige yang Rp250 ribu." Boleh donk kita tepuk dada dan bangga sama produk lokal? Stop, jangan memperdebatkan bahan bakunya yang masih impor. Hihi...
Wardah memberi saya pemahaman. Keinginan perempuan untuk tampil cantik dapat membuka 11 ribu lapangan kerja. Itu satu perusahaan. Bagaimana kalau ada 20, 50 atau 100 Wardah? Berapa lapangan kerja tercipta? Berapa sumbangannya ke perekonomian? BANYAK.
Waktu Umroh setahun lalu, travel saya memberangkatkan ratusan karyawan Paragon (grup usaha Wardah). Katanya, itu program rutin perusahaan. Luar biasa kan? Kalian para perempuan, termasuk saya, enggak pengen bisnis? Bermanfaat bagi banyak orang? Masih cuma bisa nyinyir, kenapa perempuan cuma sibuk otak-atik muka? KASIHAN.
Sebagai perempuan yang hobi coba dan belanja kosmetik, kita mesti ngapain dulu?
Gampang.
Ganti semua kosmetikmu dengan Wardah atau produk lokal.
Wardah itu habis mengeluarkan seri terbarunya, Instaperfect. Kayaknya bagus kan? Gimana? Saya belum beli. Hihi...
Ayolah, mari belanja, mari gunakan produk Indonesia. Mari, hidupkan perekonomian nasional melalui kuatnya konsumsi domestik. Haha...#bukanpesansponsor.
Komentar
Posting Komentar