Di Tengah Panasnya Pemilu, Gultik Blok M dan MRT-lah yang Menyatukan Kita

Setelah menunaikan kewajiban sebagai warga negara dalam Pemilu 2019, saya menunaikan kewajiban lain. Kewajiban membawa teman saya makan gulai sapi enak di Gulai Tikungan (Gultik), kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Makan di Gultik juga menjadi kesempatan pertama bagi teman saya itu menjajal moda transportasi terbaru Jakarta, Mass Rapid Transit (MRT). 

Makan Gultik Blok M
Pose terbaik setelah naik MRT, makan gultik dan nemu dompet berharga di McD


Gimana Pemilu 2019 kemarin, Gaes? Sudah memilih yang terbaik untuk menjadi wakilmu nanti? Enggak percaya pada Pemilu dan sistem demokrasi untuk mengganti kekuasaan? Ini saya kutipkan pandangan Prie GS, kolumnis dan budayawan Semarang, dalam status Faceboknya.

"...Kita tak mengenal dari dekat hampir semuanya. Ada yang kita kenal tetapi tak ada di daerah pemilihan (dapil) kita. Maka ini bukan soal pilihan pribadi. Ini doa bagi negara. Lemah atau kuat pilihan kita, benar atau salah pilihan kita jangan risaukan. Tugas kita hanya menjadikan pilihan ini sebagai ikhtiar dan doa."
...
" Betapapun baik niatmu belum tentu kebaikan itu hasilmu. Sebaliknya: betapapun buruk niatmu belum tentu seburuk itu hasilnya bagi lawanmu. Maka di dalam demokrasi ada sebuah realitas yang sangat rumit juga ada realitas yang sangat simpel."
Jadi, apapun hasilnya nanti, jangan sedih.
Jangan merasa kalah, Gaes.


===


Meski sudah tinggal lebih dari lima tahun di Jakarta, saya masih mempertahankan KTP Kebumen. Lebih praktis. Karena tidak bisa pulang ke Kebumen pada libur Pemilu kemarin, saya harus mengikhlaskan kehilangan hak memilih anggota DPR dan DPD. Berbekal formulir A5 dari KPU Kebumen, saya memilih di Kampung Bali, Tanah Abang. Sepertinya pengalaman ini juga bukan pengalaman pertama saya. 

 Kemarin itu, saya mencatat beberapa hal janggal. 


Makan Gulttik Blok M
TPS-33 Kampung Bali, Tanah Abang.
Tempat mencoblos (17/4) pada Pemilu 2019 


Pertama adalah saya tidak diperkenankan mencoblos dari pagi hari. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meminta saya kembali ke TPS setelah pukul 12.00 WIB. Padahal, sesuai aturan, dan diamini oleh teman saya yang anggota KPU Kebumen, saya berhak mencoblos dari jam 07.00-13.00 WIB. Saya ternyata tidak sendiri. Saya menemui beberapa orang yang mengalami nasib yang sama di TPS tersebut. Saya membuka laman berita daring seperti ini dan menemukan hal yang sama terjadi di beberapa daerah. How comes, KPU?

Kedua, ketika kembali ke TPS, pukul 12.05 WIB, saya melihat TPS tersebut istirahat total. Mereka sedang menunggu makan siangnya dan tidak menerima pemilih. Kami harus melihat mereka makan di tengah panas Jakarta. Mungkin benar, mereka lelah panas dan lapar. Saya cek aturan ini, seharunsya, mereka baru istirahat pukul 13.00 WIB.

Ketiga, saya melihat mereka menolak pemilih yang membawa undangan C-6 yang datang selama masa istirahat. Mereka bilang, waktu mencoblos telah selesai sebelum pukul 12.00 WIB. Mengapa beda begini? Aturannya jelas-jelas menyebut aturan mencoblos sampai pukul 13.00 WIB. 

Mereka pasrah tanpa perlawanan dan pulang. Saya laporkan hal ini ke saksi parpol dan mereka diam saja. Panwas yang ada di TPS, entah kemana. Saya tidak melihatnya. Beberapa pemilih tambahan juga tidak bisa memilih karena terbatasnya surat suara tambahan. Mereka bilang, surat suara tambahan hanya tersedia lima buah (2% dari jumlah DPT).

Saya berhasil mencoblos Presiden dan wakil Presiden di TPS 33, sesuai dengan hak saya. Pulang ke kost-an, yang hanya berjarak 100 meter, dari TPS dengan kelingking kiri berwarna biru. Tapi dengan hati kecewa dan gondok. Kita masih harus banyak sekali berbenah dalam penyelenggaraan demokrasi kita.

Mau sedih dan marah-marah.

Tapi, demi mendengar banyak kisah patriotik tentang petugas KPPS yang bekerja sampai larut malam, rasanya malu. Saya sudah berbuat apa untuk bangsa ini selain mengeluh dan merutuk?

Belum lagi ketika melihat betapa heroiknya foto-foto dalam artikel ini. Indonesia tidak hanya Jawa dan banyak diantaranya berada jauh di wilayah yang susah diakses. Logistik Pemilu harus dibawa melalui berbagai kondisi yang sulit. Rasanya lebih tidak pantas kalau kerja mereka hanya mendapat cibir dan makian.

===


TAPI BOSEN kan ngomongin Pemilu dan lanjutannnya itu?

Nulis dan omongin hal enteng saja deh!!


===


Makan Gultik Blok M
Pose terbaik setelah pertama kali naik MRT Jakarta ke Blok M.
Ayo Gaes, bilang terima kasih ke siapa? Hahaha...

Karena sudah berjanji dari hari-hari sebelumnya dengan teman satu kost, saya pergi ke blok M kemarin. Pulang pergi naik MRT yang fenomenal itu. Yang membuat warga Jakarta bangga sejajar dengan negara maju. Bisa posting di media sosial. "Bukan di Singapura atau Tokyo lho, ini Jakarta." Siapa dulu Gubernur dan Presidennya. Wkwk...

Perjalanan ini istimewa karena bagi dua teman saya, ini pengalaman pertama. Sebuah perjalanan yang agak memalukan sebenarnya, saya bilang. "Karena kalian tinggal tidak lebih dari dua kilometer dari stasiun MRT Bundaran HI. Tapi kalian tidak mencoba dari awal mula operasional," ungkap saya.

Karena masih baru, memanfaatkan MRT sebagai sarana transportasi massal Bundaran HI-Lebak Bulus adalah pengalaman yang menyenangkan. Transportasi yang aman, nyaman dan efisien. Bayangkan, Bundaran HI-Blok M hanya 15 menit. Biayanya, selama masih diskon 50% di bulan April, hanya Rp4.000. Noraknya juga kelihatan banget pas celingak-celinguk liatin stasiun MRT sepanjang perjalanan.

Sepanjang perjalanan, saya puas mengerjai mereka dengan celaan. Wkwk...

Tapi kemudian, saya juga merasa dikerjai balik. "Mbak, perjalanan kita epik nih hari ini. Tulis ya di blog kayak waktu kita ke TMII," kata Andini, adalah nama sebenarnya. Wkwk...

Makan Gultik di Blok M adalah agenda kedua kami selain mencoba MRT. Karena alasan ini juga saya tidak kuasa menolak. Aduh, jajan enak itu godaan berat.

Sudah pernah makan Gultik? Kalau kamu belum pernah mencobanya, destinasi kuliner Jakarta Selatan ini wajib hukumnya. Ini link Mapsnya. 

Setelah stasiun MRT selesai dibangun, akses ke Gultik menjadi sangat mudah. Kamu tinggal turun di stasiun Blok M dan keluar ke arah Blok M Plaza. Tanya aja bapak satpam atau petugas informasi di sana menuju pintu keluar paling selatan di lantai dasar. Tinggal belok kiri, sampailah pada deretan abang-abang Gultik. 


Makan Gultik di Blok M
Penampakan Gultik yang enak banget, mau nambah-nambah lagi (Foto: Panduaji.net) 


Sesuai namanya, Gulai Tikungan adalah makanan kaki lima di sepjalan Mahakam, Jakarta Selatan. Di sini, kamu akan mendapati berbagai penjual gulai sapi. Yang mana paling enak? Saya sudah beberapa kali ke sana, semuanya enak.

Apa yang istimewa dan nagih? Porsinya yang cuma satu piring kecil. Harganya cuma Rp10 ribu. Jadi, bisa nambah lagi dan lagi. Rasanya, gurih, kentel, manis. Dagingnya kecil-kecil sehingga tidak alot dan meresap. Selain kerupuk, jodoh paling cocok adalah berbagai jenis sate seperti usus, telor puyuh dan jerohan. Harga satu tusuk sate Rp5 ribu saja. Jam buka gultik adalah dari sore (menjelang Magrib) sampai tengah malam.

Enak banget deh, harus coba.

Di Gultik, si-Andini sampai mau tambah-tambah lagi tapi malu. Apalagi, mas-nya yang jualan di tikungan belakang ganteng. Hahaha... Dia takut imejnya jatuh gelinding ke selokan. Masa perempuan kecil begitu makannya banyak, katanya. Wkwkwk...

===

Pulang dari Blok M, kami mampir jajan lagi di McDonalds, Sarinah. Andini punya alasan yang sangat pas.

"Pengin makanan penutup yang manis deh Mbak, setelah makan gultik bareng Mas manis," begitu alasannya.  BAPER akut!  Tapi dia tahu, saya juga lemah di hadapan eskrim.

Karena libur, McD malam itu lumayan penuh. Kami sampai kesulitan mencari kursi kosong. Hal yang sama juga terjadi ketika kita ngemil di Plaza Blok M, sebelum makan Gultik. Apalagi, setelah Pemilu, berbagai restoran"menjebak" konsumennya dengan diskon Kelingking Fun Day. Bohong! Tapi tak apa deh, penjualan ritel menopang pertumbuhan daya beli konsumen, kata berita ini. Hihi...

Membawa dua eskrim dan kopi latte, saya duduk di tempat Andini menunggu. Dia langsung heboh dan belingsatan. "Mbak gue nemu dompet nih, punya yang tadi duduk di sini kayaknya," katanya.
Sontak, saya menjawab asal. "Wah, duitnya banyak gak?" Kaya mendadak donk lo." 

Setelah itu, Dini menjadi bulan-bulanan. Kami berdua mengerjainya bahwa dia harus minta bayaran dari si-empunya dompet. Kalaupun enggak punya uang, dia harus minta pemilik dompet untuk mempertemukannya dengan calon jodohnya. "Sayang dia masih bocah kuliahan ya Din, perempuan lagi. Coba CEO perusahaan, yang duitnya gak berseri terus single," kata Rahma menimpali. Saya auto ngakak sampai perut perih.


====

Bagaimana? Apa perasaanmu setelah mendengar hiruk-pikuk Pemilu kemarin?

Masih sibuk berkubang dengan hitungan suara? Atau menebar kebencian kemana-mana tentang menang-kalah di media sosial?

Tiba-tiba, saya menemukan potongan kalimat ini dalam sebuah buku yang sedang dibaca.

"Dia (mereka) yang tercerahkan, mencari kebenaran pada makna bukan pada kata. Dia yang lemah melakukan sebaliknya, mencari kebenaran dari kata bukan dari makna," kata Sang Sufi, Imam Al-Ghazali.

Komentar