Relasi Tukang Ketoprak, PLN dan Trader Saham di Tengah Tren Bisnis Rintisan

Di perempatan tempat tinggal saya, ada tukang ketoprak. Ada dua ketoprak sebenarnya dalam radius 100 meter. Kayak Indomart dan Alfamart yang saingan tapi tetep pengen deketan #eh. Penjual pertama asalnya dari Kuningan (Jawa Barat), satu belum ditanya. Hehe...


Trader saham dan perusahaan rintisan
Berbagai jajan yang diproduksi perusahaan skala nasional dan global 


Saking lamanya tinggal di Tanah Abang, saya menjadi saksi pergantian manajemen di bisnis kuliner skala gerobak ini. Saya melihat usaha ketoprak ini diwariskan dari tangan pertama ke tangan kedua. Saat sang penerus ini training ngulek bumbu kacang dan nyampur bahan, saya memperhatikan dari jauh. Sebagai founder, sang Bapak terlihat begitu telaten. Saya lebih suka ketoprak dua generasi ini dibandingkan yang satunya.

Kemarin, saya mampir untuk membeli ketopraknya. Ada dua orang yang juga sedang antre beli ketoprak. Tiga piring disiapkan. Saya baru sadar bahwa sang anak ini bikin ketopraknya lama banget. Dia sudah bukan trainee lagi menurut saya. Dia profesional.

Saya perhatikan, caranya memberi garam dan bumbu dalam adonan dan mengulek bumbu kacang itu dihayati banget. Haha..

Dia campurkan airnya sedikit demi sedikit, diperiksa tekstur dan kekentalannya, sampai menemukan campuran yang pas. Begitu juga dengan caranya mencampur bihun dan toge. Memang rasanya lebih enak dibandingkan yang satunya lagi.

Tapi please, untuk ketoprak seharga Rp12 ribu, kamu tidak akan menemukan suatu perbedaan mendasar. Kesimpulannya, pulang kerja dengan badan lelah dan perut lapar dilarang keras pesan ketoprak ini. Apalagi kalau antre. Kemarin itu saya butuh setidaknya 20 menit.

LAMA !!


Saya sampai mikir dan pengen nanya ke Abangnya. "Mas, sudah pernah mencoba pekerjaan lain? Mungkin bakat dan passion Anda tidak menjadi tukang ketoprak?" hehe... Dalam hati saja, saya mah santun orangnya.

===


Minggu (4/8) kemarin, warga Jakarta serta sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah heboh. Mati listrik massal sampai berpuluh-puluh jam di beberapa lokasi. Gelap gulita dan lengang sekali Jakarta hari itu. Rusak semua rencana saya berganti ngadem dan jajan di mall. Apalagi?

CNBC Indonesia bilang, mati listrik kemarin itu adalah yang terparah sejak 2002. MRT dan Commuter Line sampai harus berhenti beroperasi. Jaringan telekomunikasi semi lumpuh. Jalanan makin kacau karena lampu pengatur lalu lintas ikut tumbang.

Sederhananya, dalam bahasa saya, jaringan PLN ini njegleg. Ada dua sambungan besar yang mengaliri listrik Jawa. Karena daya listrik biasanya turun di hari Minggu, satunya istirahat. Eh, yang satunya lagi mendadak gangguan. Mantan Dirut PLN Dahlan Iskan melalui disway.id bilang pohon sengonlah penyebabnya. 

Abah, pertama baca tulisannya dengan penuh prasangka, jumawa dan post-power syndrome. Tapi ya, mungkin itu caranya menyindir dan menohok halus manajemen PLN? Sebagai mantan dirut? 


PLN dan mati listrik
Pohon Sengon Rp1 triliun (disway.id) 


===

Satu hal membuat saya belajar sedikit mengenai bisnis kelistrikan akhir akhir ini.

Kejadian ini adalah pukulan telak bagi perusahaan di tengah upayanya mempercantik diri. Ada banyak isu negatif dalam diri PLN : Dirutnya yang baru kena cokok KPK, merahnya rapor keuangan, pencemaran lingkungan serta tentu saja: Sexy Killers. 

Batubara sebagai bahan utama pembangkit listrik yang tidak ramah lingkungan tapi dekat dengan kekuasaan. Padahal, Perpres khusus sedang disiapkan untuk kemaslahatan bisnis PLN dalam kendaraan listrik. 

Mati listrik setengah hari benar-benar membuat warganet geram. Trending topics di Twitter sampai Senin malam. Semua isinya rutuk dan makian. Sampai muncul gambar mereka yang sedang berjuang di tengah terik dan ketinggian. Sebagian yang lain juga membandingkan betapa manjanya "orang Jawa" karena matinya listrik. 

"Di Kalimantan, mati listrik berjam-jam sudah menjadi makanan sehari-hari. Tidak ada yang mengeluh dan protes," katanya.

Jelas beda donk, kami kan warga Ibukota. Kehidupan kita layaknya bintang yang wajib disorot dan dilaporkan di media sosial. Beli jajan aja kita mulai terbiasa cashless. Musuh terbesar transaksi cashless, ternyata adalah listrik yang padam. Jadi, apa jadinya setengah hari tanpa listrik? Panas, sumpek dan MATI GAYA.

Enam sampai sepuluh jam waktu terasa begitu lama. 


mati listrik massal PLN
Foto yang diunggah oleh PLN Disjaya (Foto: Instagram) 


Apa sih susahnya nyalain pembangkit cadangan? Kan tinggal menyalakan tombol on-off? Kenapa PLN membutuhkan waktu begitu lama sampai berpuluh jam? Manajemen, dengan pimpinan baru, sebenarnya berkompeten enggak dengan kinerjanya? Wkwk...netijen, kalian memang luar biasa. 

Kenapa tidak menyalakan lilin daripada merutuk kegelapan? Kata seorang bijak. Hahay...Aku tidak mengutuk karena lari ke mall yang adem.

===


Saya mungkin sudah pernah menyinggung hal ini di beberapa postingan sebelumnya. Setahun terakhir, saya mengubah gaya investasi saham dari defensif menjadi agresif. Hidup adalah risiko begitu juga dengan investasi. Alih-alih menjadi fundamentalis, saya mencoba menjadi trader. Pilih satu sampai maksimal lima saham dalam genggaman. Begitu hijau (untung) 2-5%, jual. Beli lagi di saham yang sama atau pindah ke saham yang sedang diskon.

Sukses? Biasa saja. Kadang benar tapi sering juga salah. Pernah dengan bodohnya beli CPIN di harga Rp7000-an dan nyungsep sampai Rp4.000. Menarik dan menantang. Karena hidup yang terlalu aman dan nyaman katanya tidak menarik dijalani bukan? Haha...super sekali, Gin!


usaha rintisan dan trader
Chart yang menentukan keberhasilan bermain saham (Investing dan Panin Sekuritas) 

Saya belum menentukan apakah gaya investasi seperti ini cocok dengan karakter dan kepribadian. Cuma, gaya hidup dan tuntutan hidup metropolitan yang kapitalis mungkin mengubah pandangan saya. Jadi, sepanjang menghasilkan uang dan instan, maka saya tertarik dan mencoba. Hehe...

Agaknya, sekuritas dan aset manajemen juga paham dengan karakter generasi milenial ini. Beberapa teman sebelah meja dengan gagah berani bermain saham dengan ilmu pasar modal dasar, follower Jouska dan Bara di medsos serta browsing berita ekonomi. Tidak ada yang patut dikhawatirkan terlalu banyak dengan modal minimal Rp100 ribu atau bahkan sampai Rp1 juta. Untung memang, saya lihat. Tapi caranya memilih saham seperti memilih lotre. Hijau syukur, merah tunggu saja sampai hijau. Padahal ini ada caranya khusus, baca postingan saya sebelumnya di sini. Wkwk...

Karena terpengaruh, teman yang lain juga mengikuti langkah saya. Bahkan mekanisme bid-offer saham dia belum terlalu paham, saya perhatikan. Namun, dia percaya diri masuk ke kawah besar. Semoga dia beruntung!

Saya merasa lebih baik? Tentu saja tidak meski saya mengantongi sertifikat Wakil Perantara Pedagang Efek (WPPE) dari Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun lalu. (enggak sombong) Saya juga bermain saham dengan gaya koboy hingga kerap babak belur.

Namun, hampir empat tahun lalu, ketika membuka akun sekuritas, mereka mewajibkan setidaknya Rp10 juta. Tentu saja ini berbeda dengan reksa dana yang memang sifatnya kolektif. Sekarang, buka akun sekuritas bisa dimulai dari Rp100 ribu saja, plus kelas pasar modal dasar. Di Panin Sekuritas bahkan dapat makan siang gratis.

Reksa dana Panin Dana Maksima dan Ultima, kalau tidak salah ingat, buka pertama minimal harus Rp1 juta. Selanjutnya baru boleh Rp250 ribu. Sekarang, kamu bisa buka akun reksa dana dengan Rp10 ribu saja di Bareksa atau Tokopedia. Setara dengan uang kembalian jajan atau semangkuk bakso. Tapi sebenarnya,  nominal yang lebih besar saat buka akun setidaknya membuat mereka lebih mawas diri. Ilmu yang dikuasai pun seharusnya lebih baik dibandingkan sekedar tebak-tebak buah manggis.

Bagaimanapun, saham adalah ilmu. Bukan judi atau lotere. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memfatwakan bahwa saham boleh. Bahkan sekarang, saham ternyata juga bisa menjadi salah satu instrumen wakaf.



PLN dan bisnis rintisan
Setiap pagi, Panin Sekuritas selalu mengirimi saya rekomendasi saham terpilih (Foto: Panin Sekuritas) 


Nominal yang semakin murah dan literasi keuangan yang semakin baik ( Salim sama Jouska) membuat milenial semakin melek investasi. Karena itu, saya pesan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memberikan pemahaman yang lebih menyeluruh tentang saham pada mereka ini. 

Boleh saja bilang kalau saham menarik dan menguntungkan di jangka panjang tapi dengan risiko dan fluktuasi yang juga tinggi. Jangan cuma cerita suksesnya saja yang dibahas, risikonya juga biar objektif. Karena seperti dalam persaingan dagang di bisnis apapun, ada juga yang berdagang dengan cara curang di papan saham. Tentu semut akan dengan mudah terkena gilas gajah. Apalagi kalau gajahnya culas. Ya kan? 

Tapi, kami generasi milenial, memang menyukai tantangan dan risiko. Saham dan reksa dana, agaknya memang paling pas dengan gaya hidup dan prinsip kami.

==


Setengah tahun terakhir, saya membuka pengalaman profesional dengan sesuatu yang baru. Berlagak masuk secara profesional dalam bisnis rintisan yang sangat baru dirintis. Kalau kasta terendah perusahaan rintisan tipenya adalah kecoa (cockroaches), maka skala usaha ini masih di bawahnya. Atau kecoa muda? Haha... Pokoknya serius tapi lucu, lucu tapi serius. 


Usaha rinttisan dan Trading saham
Grab dan Ovo, salah sattu kiblat sukses usaha rintisan. Bagi konsumen, tentu saja, diskon


Karena lebih dari lima tahun bergelut di bidang ekonomi-manajemen, saya kadang mikirin gimana agar bisnis yang baru seumur jagung ini tidak hanya bertahan tetapi juga tumbuh. Tentu ada rekan yang sering jadi sampahan ide-ide saya yang aneh bin absurd ini. Banyak rencana tetapi lebih banyak seharusnya. Seharusnya begini-begitu tapi pada akhirnya mentok pada wacana atau ketidaktahuan.

Membandingkan bisnis sendiri dengan beberapa bisnis orang lain, yang juga tumbuh cepat, saya kadang iri. Gimana dia bisa tumbuh cepat begitu ya? Mengapa bisa ya? Apa lagi yang mesti saya kuasai? Bagaimana caranya memulai? Begitu kira-kira pertanyaan yang ada di benak.

Rentetan kejadian ini membuat saya mikir,

Ketoprak, mati lampu massal, trading saham serta urusan perusahaan rintisan ini ternyata berujung pada satu hal. Hidup di zaman ini benar-benar membuat kita "terpaksa" terburu-buru. Menunggu sebungkus ketoprak selama 20 menit menjadi terlalu lama, tujuh jam waktu mengembalikan pasokan listrik identik dengan tidak kompeten. Begitu juga dengan menunggu dua sampai lima tahun untuk mendapatkan gain besar di sebuah saham.

Tidak ada lagi penghormatan kepada orang lain yang juga sedang berproses, dalam satu lintasan waktu. Tidak ada lagi tempat bagi mereka yang butuh waktu lebih lama dalam lomba lari ini. 

Didorong oleh media sosial, kita merasa pencapaian kita harus terjadi dalam waktu yang instan. Cepat. 

Karena kita tidak mau dianggap kalah dengan teman atau kompetitor. Karena mereka telah sampai pada suatu pencapaian sementara kita baru saja hendak melangkah. Karena lintasan lari kita ternyata lebih terjal dan berkelok. Karena kita tidak melihat orang atau negara lain merasakan apa yang kita rasakan. Proses yang sedang kita jalani ini bisa saja sangat berbeda dengan mereka. .

Tidak-kah berhenti sejenak untuk melihat apa yang terjadi di sekitar kita itu mengasyikkan? Bukankah kita juga harus mensyukuri apa yang kita miliki sebagai sebuah pencapaian? Mengapa tidak berhenti sejenak untuk mengevaluasi diri mungkin? Selama ini, mungkin terlalu jumawa dan serampangan sehingga ada pihak-pihak yang terluka? Atau mungkinkah, ini saat yang tepat untuk mengubah sedikit arah kemudi. Karena kita terlalu melenceng.

Bagaimanapun, hal ini harus kita pikirkan dan cermati bersama.

Mari sejenak berpikir.

Komentar

Posting Komentar