Investasi Alternatif Ketika Pasar Saham Sedang Lesu dan Berguguran

Hampir masuk bulan kedua di 2020, target pertama saya yang akan terealisasi sepertinya adalah soal investasi. Beberapa hari terakhir, saya malas banget liat papan bursa. Sepertinya ini bukan tahun terbaik untuk investasi saham.


reksa dana ambles
Investasi apa yang tepat saat saham berguguran?



IHSG yang terus memerah, net-sell asing, running kabar Jiwasraya-Asabri yang mengambyarkan hati, dan virus Corona di China mungkin menjadi penyebabnya. Transaksinya sepi. Enggak menarik. Atau karena para bandar itu sudah masuk penjara? #eh

Menimbang, mengingat dan sebagainya,
Saya memutuskan, sekarang adalah saat yang tepat untuk rehat sejenak dari pasar saham.

Jadi posisinya full-cash, nih?
Enggak, masih punya. Terutama karena memperbaiki harga (average down) yang ternyata masih ketinggian. Haha...Jadi, keputusan menjadi investor adalah, the rights time and rights place #anexcuses #traderlayfe

Sebenarnya, apa sih yang harus dilakukan saat pasar saham turun? Saya mencatat beberapa. Tentu saja analisa ngawur dan sembarangan yhua!! Beda kelas sama idola saya, Teguh Hidayat, yang belakangan namanya makin berkibar. Diundang ke Istana Negara dan RDP Komisi VI DPR-RI, Cyin! MANTAP!


Baca sampai habis tips dan analisa saya, ya!

Pindah dari main saham langsung ke reksa dana saham. Seberapa efektif?
 
Bagi saya, sama saja. Tidak ada bedanya. Kamu hanya diumpankan dari satu mulut buaya ke mulut harimau. Hahaha...ketjam sekali.

Reksa dana saham (RD Saham) juga sedang turun. Menilik Infovesta, sekilas, imbal hasil RD saham lebih banyak berada di lajur merah. Tentu saja ada beberapa yang hijau, tapi tipis. Imbal hasil ini berlaku harian, mingguan, setahun dan tiga tahun. Semuanya sami mawon: MERAH. Seberapa merah? Silahkan dicontek di sini.

Kasus Jiwasraya dan Asabri makin jadi preseden buruk. Mungkin orang yang kemarin baru tercerahkan melalui Yuk Nabung Saham jadi mikir lagi. Lah, ini BUMN aja kepleset begini? Terus Manajer Investasi kayak EMCO dan Narada juga jebol? Kenapa gue harus nabung saham? Nabung di bawah bantal saja, aman! Menurut saya, menjadi sangat wajar menjadi apatis begitu.

Kalau RD merah, bukankah saat yang tepat untuk top-up? Kalau bahasa para marketing perusahaan sekuritas dan aset manjamen, tentu saja iya. Namanya juga bakul yang pengen dagangannya laris.  "Jadi nanti pas rebound, kita dapat harga yang murah," begitu alasannya.

"Iya kalau rebound, Mas. Kalau makin jatuh dan harga kita ketinggian di atas gimana?" jawablah begitu dengan nge-gas, jangan lupa. Dodol-lah yang bertanggung jawab.

Di saat pasar saham sedang jatuh dan tidak jelas seperti ini, langkah lebih bijak adalah pindah ke reksadana pendapatan tetap. Khususnya yang berbasis obligasi (SUN atau obligasi korporasi) ataupun deposito dan setara kas.

Bagaimana dengan SUN dan Obligasi?


SUN tentu lebih aman dari saham. Surat Utang Negara (SUN) jelas dikeluarkan pemerintah sehingga tentu saja hampir tidak mungkin mengalami gagal bayar. Apalagi kita punya menteri keuangan terbaik di dunia, seperti Sri Mulyani Inderawati. Ya kan? Pasti aman. Beberapa waktu terakhir, permintaan SUN di pasar bahkan kelebihan (oversubscribed)

Hanya saja, kamu harus hafal di luar kepala. Semakin SUN laris dan banyak dicari, imbal hasil (bunga) yang beredar di pasar turun. Tepat seperti hukum permintaan. Semakin banyak barang dicari (permintaan) akan membuat harga (imbal hasil) semakin murah.

Ke depan, karena semakin banyak investor bertindak defensif dan hati-hati, imbal hasil pasti makin turun. Ibuk Menkeu tentu senang. Kamu, bisa jadi, tidak terlalu.

Meski begitu, obligasi tetap bisa diandalkan. Obligasi juga kerap menjadi pelarian sementara bila pasar keuangan sedang tidak baik. Kenapa harus reksa dana? Tentu saja karena reksa dana pendapatan lebih mudah dibeli melalui sistem ecer dibandingkan beli satuan. Wkwk...

Bagaimana dengan Saving Bonds Ritel (SBR)? Kalau kata Kemenkeu, generasi milenial ini target pasar banget buat SUN. Kenapa? Investasi aman, murah-meriah dari Rp1 juta sampai Rp3 miliar dengan imbal hasil sekitar 1,5% di atas bunga acuan BI. Menarik? Tentu saja kalau nabungnya Rp100 miliar. Kalau nabungnya Rp5 juta kayak saya, ya biasa saja. Hehehe...


Emas?
Harganya sempat naik gila-gilaan dalam beberapa hari terakhir. Namun, bagi saya, emas tetap belum menarik. Kalaupun berniat beli, belilah emas perhiasan. Bukan batangan dari ANTAM atau UBS. Kenapa?

Menerapkan prinsip yang ada di toko emas. "Berhias sambil menabung." Hahaha...

Enggak ada yang alternatif investasi yang benar ya, kalau menurut saya? Dari tadi? Save the best for last, of course.

Di tengah hiruk pikuk yang seperti ini, saya mencermati grafik lain. Grafik nilai tukar Rupiah terhadap USD #standar. Dari sana, saya jatuh cinta dengan penguatan nilai rupiah terhadap mata uang dunia tersebut. Wah, sudah menguat 2% lebih, batin saya. Pernah tembus Rp13.500/USD.

Lalu, saya mengintip berita mengenai asumsi makro dalam APBN 2020. Asumsi makronya Rp14.400, kata Bu Sri Mulyani. Jadi, Rupiah sudah bergeser setidaknya Rp900 dari asumsinya. Bapak Perry Warjiyo, sang Gubernur BI, terus bilang, dia tidak akan membiarkan Rupiah terlalu kuat di pasaran.

Sempurnalah niat, ketika pasar saham anjlok dan reksa dana runtuh seperti sekarang, maka inilah jalan keluar terbaik. Bagaimana? Pindah ke USD. Sekarang nilai tukar IDR/USD masih di Rp13.650. Belum telat kalau mau masuk.

Percaya saya? Saya sih iya. Masa kamu tidak?
Ahahaha...

Whatever,
Semoga selamat di dunia yang makin embuh dan amburadul ini ya, Gaes!
Stay enjoy, save and healty

Komentar