Belajar Menulis Lebih dari 10 Tahun, Bagaimana Hasilnya?

Januari selalu penuh dengan aura optimisme. Mantranya juga nyetrum buat saya. Meski optimis untuk nulis coretan begini saja. Nyuwun sewu dulu buat target 2020. Masih menunggu NIAT menuju realisasi. Haha...



belajar menulis
Kalau dihitung dari Persma, sudah lebih 10 tahun, saya belajar menulis




BTW, ini luar biasa sekali lho?
Saya sudah menulis empat judul di Januari 2020. Prestasi atau kelihatan banget gabutnya ? Wkwk..

Mendadak dan random saja seperti biasa. Selepas membaca tulisan Iqbal Aji Daryono di DNK, saya terpikir untuk membuat catatan seperti ini. Penting banget bagi saya bila ingin melanjutkan karier di bidang penulisan.

Begini, di Facebook, saya intens mengikuti status beberapa penulis. Dahlan Iskan, Eka Kurniawan, AS Laksana atau Prie GS sudah pasti tidak pernah saya lewatkan. Di samping itu, kalau belum follow, saya rasa kamu harus mengikuti Iqbal Aji Daryono, Fauzan Muhrim, pasangan Agus Mulyadi-Kalis Mardiasih, atau dosen FISIP UGM Abdul Gaffar Karim. Tentu banyak yang lain, seperti Satrio Utomo, Yanuar Rizki atau Chatib Basri, kalau soal ekonomi.

Eh, selain mereka, saya juga mulai mengikuti dan mendengarkan kajian online atau podcast Gus Baha dan Gus Ulil Abrar Abdalla di Spotify. Sangat menyimpang dari Muhammadiyah, yang selama ini lebih banyak mewarnai keislaman saya. Wkwkwk...

Mereka semua ini memang kolumnis yang malang-melintang di berbagai media. Namun, kalau kamu juga mengikuti status Facebooknya, tulisan mereka itu gurih sekali. Beberapa memang mengakui Facebook sebagai ajang latihan menulis sebelum dikembangkan menjadi tulisan jadi. Namun, meski baru setengah jadi, tulisannya 'gurih' dan menggigit.

Uniknya, mereka tidak selalu menulis hal berat dan rumit untuk dikomentari. Bahasan apapun mereka tulis. Tapi dari sana, terlihat sekali kualitas bacaan dan alur pikir mereka dalam memahami sesuatu. Penasaran? Lihat sendiri ya! Saking nyamannya, saya sering merasa scroll Facebook bukanlah hal sia-sia yang menghabiskan waktu. Langkah ini adalah jalan ninja saya untuk menjalin ide tulisan. Hahaha...alasan banget.

Dari sana, saya membandingkan diri dan merasa minder. Dari memulai belajar menulis di Pers Mahasiswa sampai sekarang, tulisan saya kok begini saja. Tidak berkembang dan bergelombang. Apa saya harus berpikir ulang untuk mencari pekerjaan yang sama sekali lain ya? Ekekek....



belajar menulis
Bersama tim Rempah Rindu (Bogor, 2019)

 
Karena itu, sebagai bahan evaluasi dan perbaikan, berikut catatan saya. Kekurangan dan lubang besar dalam tulisan-tulisan saya:

Tulisan yang kerap kali tidak ada benang merah. Kecuali ada banyak sekali hal atau detail yang akan disampaikan, saya memang jarang membuat garis besar tulisan (outline). Menulis untuk media online dengan konsep hardnews, percayalah, kamu tidak akan pernah merasa perlu membuat outline. Karakter media online memang membaca artikel sekali nafas. Terlalu habis waktu menyusun outline. Kalaupun ada, palingan kamu hanya bilang, outline ada di dalam kepalamu.

Karena Okezone adalah kerja profesional pertama saya, kebiasaan ini terbawa sampai sekarang. Tentu saja, bagi saya, menulis tanpa outline itu kerap berhasil.

Namun, waktu membuat karya fiksi bersama Rempah Rindu, saya merasa kesulitan sekali menulis tanpa outline. Apalagi, fiksi itu mengenal premis, point of view (POV), penguatan tokoh dan alur, serta konflik. Tidak membut outline adalah kesalahan besar. Tulisanmu akan bergerak kesana-kemari tanpa tahu arah dan tujuan #kayak hidup.

Menulis sekali duduk, seperti yang kerap saya lakukan untuk blog ini juga begitu. Kepikiran apa, tulis. Saya biasanya tidak beranjak sebelum selesai menuliskannya. Kalau bersambung, biasanya tidak jadi. Hasilnya? Bisa dilihat sendiri. Kacau dan enggak beraturan. Ya kan? Wkwk...

Pola pikir yang melompat dan tidak berurutan. Penyebab pertama berpengaruh pada hal yang kedua.

Beberapa orang yang kerap melakukan komunikasi text intens dengan saya tentu tidak merasa ada yang salah. Namun, bagi yang belum, mereka mengaku kerap kesulitan membaca wa dari saya. Bukan hanya sekedar typo, saya kerap kali melempar pertanyaan tanpa tanda tanya, misalnya. Saya juga kerap menghilangkan beberapa kata, menganggap semua orang pasti paham. Belum lagi obrolan ngalor-ngidul-ngetan-ngulon yang sering saya masukkan dalam satu waktu. Kebiasaan itu menyusahkan, bagi sebagian orang.

Kebiasaan ini ternyata kerap terbawa dalam tulisan. Kalau dibaca ulang, tulisan saya kerap kali melompat enggak jelas. Saya seperti mengajak pembaca untuk meloncat dari 2,5,7. Tidak runtut. Seharusnya, saya menyertakan kalimat perantara atau pembatas agar pembaca paham. Tapi saya tidak melakukannya. Tentu saja itu fatal sekali.

Kalau ada editor, tulisan saya pasti akan ditambal. Lubang kecil itu akan ditutup sehingga pembaca memahaminya. Sekarang, saya kerja sering tanpa editor. Haha..maksudnya, self-editing. Lubang itu kadang tidak saya temukan letaknya. Atau baru saya ketahui setelah membaca dua sampai tiga kali tulisannya. Menyulitkan sekali, saya butuh seorang editor. #eh

Kerap mengulang kata yang sama dalam tulisan.
Atau memulai kalimat lain dengan kata yang sama. Krisna Pabichara, pengarang Kita, Kata, dan Cinta, pernah bilang dalam suatu pelatihan yang saya ikuti bersama Bekraf tahun lalu.

"Kalau kamu menggunakan kata 'melihat' dalam tulisan lebih dari 10 kali, cobalah berpikir ulang untuk jadi penulis. Mungkin kamu tidak berbakat atau kurang membaca. Bahasa Indonesia memiliki puluhan padanan kata 'melihat'. Kamu bisa menggunakan kata mengintip untuk melihat sesuatu dengan satu mata. Melirik untuk melihat sembari sembunyi. Menatap untuk melihat dengan intens," katanya panjang lebar.

JLEB! Pesan Daeng Krisna, panggilan akrabnya, menohok dan membekas sekali dalam ingatan. Bahasa Indonesia itu kaya walaupun tidak mengenal horizon waktu seperti bahasa Inggris ataupun Jepang. Namun jelas tidak menjadi mudah berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Juga bergembira, kalau kata Iqbal Aji Daryono.

Kesulitan membuat akhir dalam sebuah tulisan. Kata Eka Kurniawan, kalimat atau paragraf pertama dalam sebuah tulisan adalah titik yang krusial. Dari sana, kamu akan mengetahui bagaimana pijakan dan pola pikir penulis. Pilihan kata dan pilihan sudut panjang di awal tulisan juga akan menentukan apakah tulisan tersebut layak dibaca atau tidak (ngeri banget ya?)

Saya kerap kali kesulitan memulai. Terutama karena malas. Namun, yang lebih sering, adalah saya bingung harus mengakhiri. Untung, saya tidak pernah bekerja di surat kabar cetak yang dibatasi halaman atau karakter.

Menulis seperti itu, menurut saya, terbatas sekali. Bayangkan, ngetik sambil liat word count di bawah layar. Kalau kepanjangan, kita was-was dan harus berpikir, bagian mana harus dipotong. Tentu saja, selalu lebih baik, kita yang memotong tulisan sendiri dibanding editor. Kepuasannya berbeda. Kalau sebelum menulis kita sudah tahu atau bisa menebak bahwa tulisan ini hanya akan jadi sepertiga halaman, menulis juga jadi seadanya dan seperlunya saja.

Susah mengakhiri, kerap kali membuat tulisan saya ini mengambang. Kentang, kalau meminjam bahasa anak-anak sekarang. Ditambah dengan perencanaan alur dan outline yang tidak matang, cara saya mengakhiri tulisan itu brutal sekali. Bahkan jadi kerasa sekali dipaksa. Sebagus apapun konsep dan ide tulisan, bila harus berakhir seperti itu, tulisan menjadi lemah. Sedih sekali.

Nah, sekarang, masalah saya kembali datang. Saya merasa sudah harus mengakhiri tulisan ini. Namun, saya bingung. Bagaimana saya harus mengakhirinya? Haha...

Jadi, sudah. Begini saja ya, akhirnya.
Kekurangan tulisan saya cuma ada empat saja. Selebihnya sih bagus dan bagus banget. Makanya saya mencoba bertahan. Hahaha...

Komentar