Kata Eka Kurniawan, Penulis Pemula Tidak Perlu Rajin Menulis




Pesan Menulis dari Eka Kurniawan
Eka Kurniawan di GWRF 2018

Membaca bagi saya adalah proses yang lebih penting daripada menulis. Saya banyak belajar menulis dari proses membaca. Jadi, seringkali, membaca lebih penting dari menulis, kata Eka Kurniawan di Gramedia Writers and Readers Forum 2018 yang digelar di Perpustakaan Nasional 7 April 2018.




Waow!!

Saya tersentak. Jadi selama ini langkah ini tidak salah-salah banget, kata saya dalam hati. Selama ini, saya merasa kurang produktif dalam membuat karya tulis. Kadang, saya justru berpikir ulang. Apa iya saya benar-benar menyukai tulis-menulis? Saya lebih senang membaca. Saya begitu mudah terpukau dengan pemikiran yang tersaji indah dalam rangkaian kata dan kalimat mereka.

Ketika ingin meniru atau menulis, saya justru merasa terperangkap. Otak menjadi buntu dan tidak mood.

Saya mungkin telah terjebak dalam rutinitas dan zona nyaman. Meminjam istilah mantan redaktur saya yang kini seorang akademisi, "Wartawan membuatmu menjadi seperti tukang batu. Hanya membuat bangunan seperti yang diperintahkan," katanya dulu.

Eka Kurniawan, siang itu, justru menyarankan penulis pemula untuk tidak keseringan menulis. Menulislah kalau memang ada yang ingin ditulis. Jangan keseringan duduk dan menatap layar putih berkedip di komputer, katanya. Itu menyebalkan. Ah, kita kok sama ya prinsipnya? Hahaha...tapi sayangnya saya belum menghasilkan satupun buku.

Hal kedua yang membuat saya deg-degan dalam diskusi siang bolong ini adalah tentang pencapaian penulis. Eka mengatakan ini ketika menjawab pertanyaan peserta yang curhat tentang sulitnya menaiki tangga sebagai penulis top.

"Kita menjadi penulis itu ingin mencatat atau ingin dicatat (dalam lomba atau festival kepenulisan)? Kenapa harus selalu buru-buru mengejar pencapaian?" katanya.
Ah, T-O-P B-G-T, AaEka..#siap dukung pake spanduk

Pesan Menulis dari Eka Kurniawan
Spanduk dan Banner Dukungannya Akan Segede Ini Mas Eka. Wkwk...(alay)


Banyak penulis, kisah Eka, memutuskan menjadi penulis serius di umur 20-an. Di umur yang masih muda seperti ini, seharusnya mereka memiliki waktu yang melimpah untuk menulis sebagus mungkin. Tulis saja. Jangan biarkan ambisi menang festival, menjadi penulis best seller, atau pembicara keliling Indonesia (bahkan dunia) menjadi cita-cita. Menulis saja dan habiskan jatah kegagalan. 

"Kalau gagal kan tinggal pindah pekerjaan seperti jual pulsa elektronik gitu," kelakarnya. Mas Eka, aku semakin nge-fans (Tapi dalam hierarki tetap di bawah G-Dragon. Hehe...)

Dia kemudian juga menyebutkan beberapa nama pengarang internasional yang namanya baru besar di usianya yang tidak muda lagi. Saya tidak pernah mendengar namanya dan malas googling. Hihi...Saya paham. Di dunia entrepreneur, founder KFC Harland David Sanders atau yang terkenal dengan Kolonel Sanders juga baru mencapai kesuksesan dari bisnis waralaba di usia 65 tahun.

Saya mengingat, di Sabtu yang lain, hampir dua tahun yang lalu, Eka juga pernah menyatakan hal yang mirip. Dalam diskusi mengenai jurnalisme narasi di Yayasan Pantau, Eka sampai berjanji kepada dirinya sendiri. Bila sampai umur 40 tahun dirinya tidak sukses menjadi penulis, dia akan pulang ke kampung halamannya di Tasikmalaya, Jawa Barat untuk meneruskan bisnis orang tuanya. Jualan cinderamata.

Apakah meniru gaya tulisan orang lain adalah perbuatan dosa?

Menurut Eka Kurniawan tidak, selama masih dalam proses pembelajaran. Buat kalian yang ingin mendidik anak-anak untuk mencintai dunia tulis-menulis, tips darinya bisa menjadi contoh. Berikan buku kepada mereka dan ajak diskusi tentang buku itu.

Contohkan salah satu kisah dan berikan dia kesempatan untuk menceritakan hal lain. Pada awalnya, mereka pasti akan meniru. Tapi jangan khawatir, pada akhirnya, mereka pasti akan berkreasi.

"Kalau mengajak mereka ke tempat baru, seperti tempat nenek misalnya. Biasanya, mereka akan bercerita tepat seperti yang dialaminya," kata si Bapak yang bergelar The Next Pramoedya Ananta Toer ini.

Lucu sebenarnya, mengapa sudut pandang ini yang menjadi fokus perhatian. Padahal, diskusi Meet the Masters ini, mengangkat tema Sastra Indonesia di Dunia Internasional. Tema ini sebenarnya sangat menarik. Lewat karyanya Manusia Harimau, Eka mewakili Indonesia di ajang Frankfurt Writer Festival 2015. Karya yang sama ini memasukkan nama Eka sebagai salah satu nominator The Man Booker International Prize di 2016. Eka masuk bersama dengan 13 buku karya penulis dari 12 negara dengan sembilan bahasa berbeda.



Pesan Menulis dari Eka KUrniawan
Foto Diambil dari Blog Ini


Dalam diskusi yang berlangsung setidaknya satu jam, Eka dan Gratiagusti Chanaya Rompas sebagai moderator, bicara banyak hal. Apakah batasan sastra Indonesia? Apakah karya sastra yang ditulis orang asing tentang Indonesia bisa disebut sastra Indonesia? Atau sebaliknya, bagaimana dengan karya anak bangsa yang ditulis dalam Bahasa Inggris?

Untuk pertanyaan ini, Eka tidak menjawab dengan jelas dan pasti (atau kapasitas otak saya yang tidak bisa menjangkaunya? Haha...) Tergantung apakah dari sudut pandang sebagai pemerintah atau akademisi. Australia juga mengalami hal yang sama. Sastra Australia semua ditulis dalam bahasa Inggris. Tapi apa mereka mau karyanya dimasukkan dalam satra Inggris? Pasti emoh lah, secara sejarah, kultur dan budaya negeri koala jelas memiliki ciri khas.


Dalam diskusi ini, Eka juga membagi kisah di balik penerjemahan karyanya ke dalam berbagai bahasa. Dalam alih bahasa ke Jepang misalnya, penerjemahnya kesulitan menemukan nama baku sebuah daun yang diceritakannya di Cantik Itu Luka. Hal ini juga terjadi dalam penggambarannya tentang pohon ketapang.

"Ketapang itu bukan almond tree dalam bahasa Inggris. Kalau sudah begitu, saya akan kirim gambar ke mereka," terangnya. 

Gramatikal dalam bahasa Indonesia dan perbedaan kultur menjadi hambatan terbesar selanjutnya. Dalam bahasa Inggris misalnya, menggunakan kalimat pasif jarang dilakukan. Mereka lebih suka memakai kalimat aktif. Dalam penerjemahan Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, Eka juga harus sering berdiskusi panjang dengan penerjemah, editor (yang hanya bisa bahasa Inggris) dan Benedict Anderson. Di novel ini, mereka cukup kesulitan agar gaya bahasa sopir truk pantura tidak kehilangan rasa.

"Karena bahasa adalah tentang konteks. Namun dalam penerjemahan, kita tidak hanya bicara siapa yang menulis tetapi juga kepada publik yang mana buku itu dibaca," sambungnya.

NOBEL

Lalu, bagaimana peluang penulis Indonesia untuk go internesyenel? Buku-buku pengarang kita masuk ke toko buku New York? Atau mendapatkan nobel (kangen tepuk tangan lagi? #eh)

Jalannya masih terjal sampai sekarang. Memang sih, sastra Asia saat ini mulai mendapatkan tempat di dunia. Padahal sebelumnya, dunia internasional hanya menganggap Asia sebatas Tiongkok atau India.

"Tapi sampai sekarang, penulis Indonesia yang rajin menulis dalam Bahasa Inggris di sana masih sangat sedikit. Mungkin malah hanya satu orang. Masih kurang banget," kata dia.

Indonesia, kata Eka, juga membutuhkan semacam broker dalam dunia kepenulisan. Sang broker ini dapat menjadi jembatan antara penulis dengan penerbit. Hal ini untuk memangkas dwelling time (Duh, bahasa majalah sebelah banget ini. Hihi...).

Dalam satu tahun, Gramedia bisa menerima 1.000 naskah yang -benar-benar mengutip perkataannya- mungkin setengahnya tidak layak dibaca. Si broker ini juga bisa menjadi penyaring. "Satu naskah tidak diterima di penerbit A bisa langsung disalurkan ke penerbit lain yang punya sejarah menerbitkan tema-tema sejenis".

Mencari penerjemah Indonesia-Inggris (apalagi bahasa internasional lain) juga seperti mencari jarum dalam jerami. Pemerintah, buka sih  beasiswa atau semacamnya agar orang asing belajar bahasa Indonesia. Tidak jadi penerjemah, ya minimal jadi guide untuk memperkenalkan 10 Bali baru, seperti target ambisius Kementerian Pariwisata. Ehehehe....nyindir.


Terima Kasih Eka Kurniawan.


Kamu membuat Sabtu saya minggu ini menjadi lebih berisi dan bermanfaat. Jadi semangat nulis dan bikin buku, Gin? Biasa saja sih, seperti kata Eka, jangan mudah mendongak, gagap dan terburu-buru dengan pencapaian dan tepuk tangan di festival. Buat apa sih? Hahaha...

Komentar