Tahun Ini, Bank Harus Lebih Rajin Jajan dan Salurkan Utang
Shutterstock |
Oke, jalan pikiran saya sepertinya sedang random akut beberapa hari ini. Stres, banyak pikiran. Haha...drama. Situasi ini, membuat blog ini tiba-tiba rajin update. Bukan apa-apa, sebenarnya ini hanya sekedar upaya pelarian dari... (nyengir kuda)
Dalam salah satu kerandoman, inilah yang saya pikir dan kemudian tulis.
Sudah lebih dari satu tahun ini, saya tidak liputan di Bank Indonesia (BI). Karena itu, kabar-kabar terbaru hanya saya dapatkan dari media. Kadang, saya dapat dari beberapa teman wartawan, seminar atau ekonom yang masih saya datangi.
Setelah tidak lagi nge-pos di BI, saya merasa kemampuan dalam melihat dan memandang kondisi moneter menurun drastis. Biasanya, sekitar dua atau tiga bulan sekali, BI mengadakan workshop wartawan. Dulu saya rajin ditugaskan kantor.
Kalau ada kebijakan atau angka-angka baru, mereka juga rajin menggelar bincang-bincang media (BBM). Belum lagi acara-acara seminar atau gelaran rutin Bank Sentral lainnya. Saya rasa, hal itu menjadi salah satu alasan bertahan di dunia ini. Dibayar untuk mendapatkan ilmu baru setiap harinya.
Bersama Darmin Nasution di Buka Puasa Bersama BI dan Wartawan |
Karena kemampuan ini semakin menurun, saya mencoba melawan. Sederhana saja, dengan merangkumnya. Bukan analisa, karena lebih banyak orang yang punya kapasitas mengenai itu. Ini dia.
===
Untuk merespon keadaan ekonomi global yang semakin bergejolak, BI menyempurnakan aturan mengenai Giro Wajib Minimum (GWM), Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM). Kalian bisa melihat bagaimana aturan ini di berbagai sumber seperti Investor Daily atau CNBC Indonesia. Saya tentu tidak perlu lagi mengulangnya.
GWM, adalah setoran wajib yang harus disetorkan bank umum ke Bank Sentral setiap hari. Kenapa bank harus melakukan ini? Karena bila bank kekurangan likuiditas dan tidak ada bank yang mau meminjamkan, BI harus menjadi pahlawan. Karena itu, BI melonggarkan GWM primer. Dengan begitu, BI berharap semakin banyak uang yang beredar di masyarakat dan menggerakkan ekonomi.
Perbankan nasional diberi waktu dua minggu untuk mencapai GWM sebesar 6,5%. Dengan begitu, Bank Sentral berharap mereka dapat lebih leluasa dalam mengatur dapur. Kalau Selasa belum bisa setor GWM misalnya, bank bisa menunda sampai Jumat.
Aturan kedua adalah mengenai Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM). Bank Sentral sepertinya juga sedang baik banget. BI menyempurnakan Loan to Deposit Ratio (LDR) menjadi Loan to Funding Ratio (LFR). Padahal, tanpa ada aturan ini, bank Tanah Air bukannya sudah rajin ya melakukannya? #ups
Makluk apa sih ini? Sederhananya, dalam penyaluran kredit pada masyarakat, bank tidak boleh ngasal. Selain melihat lima karakter nasabah (KYC), bank juga harus melihat perolehan dana masuk dari masyarakat (dana pihak ketiga). Jangan lebih besar pasak dari tiang, gitu. LDR yang terlalu rendah berarti bank malas menyalurkan kredit. Ketinggian, berarti bank harus hati-hati.
Mulai Oktober nanti, angka pembilang dalam LFR tidak hanya dari kredit. Selain penyaluran kredit, bank boleh memasukkan kepemilikan atas surat-surat berharga (obligasi) baik SUN atau korporasi. Mengapa? Di tengah ketidakpastian global, BI agaknya ingin pasar keuangan lebih stabil.
Hampir dua tahun lalu, saya pernah membuat analisa (sembarangan) mengenai keinginan pemerintah untuk bisa utang pada masyarakatnya sendiri. Logikanya, kalau domestik (khususnya lembaga keuangan) menjadi mayoritas di pasar obligasi, kondisi pasar bisa lebih stabil. Tidak main cabut-cabutan seperti asing-asing itu.
Bagaimana kesiapan bank menghadapi tantangan ketidakpastian global? Apa mengkhawatirkan?
Tidak juga. Silahkan baca artikel ini. Kembali lagi, ekonomi adalah ilmu tentang tren dan prediksi. Karena pernah krisis, tingkat kewaspadaan bank harus berlapis. Mereka harus mematuhi aturan mengenai Basel III. Salah satunya, mengenai rasio kecukupan modal atau CAR. Di Indonesia, rata-rata bank sudah dalam posisi aman.
Bagaimana yang masih belum? OJK meminta mereka menambah permodalan, merger atau mengeluarkan beberapa instrumen. Salah satu yang lagi hits adalah obligasi konversi (convertible bonds). OCBC NISP, bank gabungan milik pengusaha Bandung dan Singapura (pastinya porsi Singapura yang mayoritas), berencana mengeluarkan instrumen ini akhir tahun. Mandiri juga berencana mengeluarkan obligasi sejenis. Dua-duanya, memasang target sekitar Rp1 triliun. Dengan begitu, mereka yakin CAR-nya zuper duper aman.
Kondisi-kondisi inilah, yang menurut saya, membuat tidak ada lagi alasan perbankan untuk ragu dalam mengucurkan kredit. Meski sebenarnya, aturan LFR bisa anomali dengan pertumbuhan kredit. Kenapa harus ngucurin kredit yang berisiko tinggi? Surat utang jauh memberikan keamanan dan kenyaman bagi bankir. Meskipun, ya iya sih, marjinnya lebih menguntungkan kredit.
Jadi, tahun ini, kalau target pertumbuhan kredit tidak terealisasi, Gubernur BI yang baru diangkat itu sepertinya bisa main kasar. Segel saja semua asetnya (haha..garis keras). GWM dilonggarkan, likuditas melimpah, simpan giro di BI tidak lagi dapat bunga. Pencadangan juga sudah dilakukan tahun lalu. BOPO katanya makin efisien dengan PHK, penutupan kantor cabang atau branchless banking, CAR dan LFR juga longgar.
Mau alasan apalagi tahan kredit? Itu bank atau broker kalau cuma pintar main di pasar keuangan? Kejar laba dan bonus direksi segede apalagi sih, Pak? Duit gak dibawa mati toh? #wise
Dirut bank swasta terbesar Tanah Air pernah bilang penyaluran kredit layaknya obat. "Jangan dilakukan keseringan dan kebanyakan. Nanti overdosis," katanya.
Dalam keadaan apapun, bank ini konsisten menjaga LDR di angka 70-80%. Laba-nya segede gajah. Kesel banget sebenarnya meski sering dapat kucuran dana dari sana. Hehe...Kerjaannya ya gitu, simpen likuiditas di instrumen-keuangan. Tapi apa mau dikata? Bank ini juara banget transaksional banking.
Pemerintah juga mesti menahan diri. Iya sih, pemilu menguras isi kantong. Kumpulin massa, beli bendera dan umbul-umbul, bayar artis dangdut, seminar dan rapat, semuanya pake duit. Terus apa? Mau malakin siapa lagi selain BUMN (wabil khusus perbankan). Jangan minta NIM terlalu tinggi. Jangan minta dividen kebanyakan juga sebagai pemegang saham.
Holding perbankan dan jasa keuangan kapan sih?
Nanti saja lah, pastikan pemerintahan si bapak itu, jalan dua periode. #eh,bukan titipan tim sukses. Hihi... Maksudnya, jangan sampai nanti beda pemerintahan beda kebijakan. Berabe berantakan itu nanti kalau diacak-acak.
Malu kita sama Malaysia. CIMB sudah makin gede gitu. Apalagi sama Jepang. BPD-nya sudah bisa MoU sama bank Tanah Air. Mengapa bisa begitu? Tentu selain masyarakatnya gemar menabung, karena gak direcoki pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas. Singapura (OCBC) juga rela 13 tahun puasa dividen. Sumitomo di BTPN juga melakukan hal yang sama. Nafsu kita gede banget gitu sama duit?
Target setoran dividen yang di atas awan sungguh mencekik leher, kata bankir sih. Kalau gak nurut, mereka takut dicopot. Duh, serba salah.
Teman saya yang lima tahun berkarier di perbankan akhirnya resign. Alasannya mulia, ingin lepas dari riba. Saya angkat topi dan acungkan dua jempol. Di lain pihak, saya tahu. Di atas kertas, perbankan menguasai hampir 90% perputaran uang. Karena itu, bicara pertumbuhan ekonomi tak mungkin lepas dari kondisi perbankan.
Saya percaya dengan kucuran kredit yang lebih masif ke masyarakat, ekonomi akan lebih cepat berputar. Prudent tidak boleh ditinggalkan. Namun, dalam hemat saya, perbankan masih punya banyak, banyak sekali, ruang untuk menggenjot lagi penyaluran kredit. Kalau BI target 10-12% tahun ini, masa gak bisa sih?
Sudah cukup ah ngocehnya. Capek. Saya puyeng dan biasanya penyakit ini menular. Jangan sampai jadi nempel ke situ. Hihi...
Komentar
Posting Komentar