Cerita Wartawan di Kelas Inspirasi (bagian 2)




Aku, di tengah kelas. Kalau enggak salah ini kelas pertama, kelas empat. Masih semangat


Rabu pagi, jam 06.00 WIB, sudah sampe di SDN02 Cikini. Hari itu, aku juga baru tau kebagian empat kelas ngajar, kelas 4,2,3 dan 6. Masing-masing kelas sekitar 40 menit. Perut berasa makin mules. Pukul 07.00 WIB, kelas pertama dimulai.

Wow..ngajar anak SD itu, ternyata memang amazing. Metodenya, cara penyampaiannya, energinya, dan semangatnya. Aku, lebih banyak mengeksplore pekerjaan wartawan di media televisi, karena itu yang paling dekat dengan mereka. Menurutku juga, hal itu lebih mudah dipahami. Setelah dipikir lagi, sebenarnya karena aku kurang persiapan saja. Wartawan cetak bisa saja diceritakan ke mereka kalau kita pintar membawakannya.

Jadi, ketika aku menyuruh mereka mencontohkan wartawan itu paling sering bertemu dengan siapa, mereka bilang artis. Kecuali kelas enam yang anak laki-nya menggilai Iwan Fals, anak-anak rupanya masih menggilai sinetron Ganteng-Ganteng Serigala. Mereka mau minta foto dan tanda tangan katanya kalau ketemu artis itu.

Mba Mimie yang memimpin acara pembukaan. Profesinya MC kondang
Pengetahuan mereka tentang konsep berita dan informasi itu cukup layak diacungkan dua jempol. Karena sempitnya waktu, termasuk juga waktu yang terbuang untuk menenangkan mereka, menurutku, aku tidak terlalu banyak memberikan pelajaran bagaimana wartawan itu bekerja pada mereka. Namun bagaimanapun, kalau aku bandingkan sekilas pengalamanku dengan teman inspirator lainnya, aku menganggap diriku cukup mampu mengendalikan situasi kelas. Meskipun di kelas kecil seperti kelas dua sekalipun.

“Dek, Pekerjaan di Masa Depan Itu Tidak Hanya Dokter “

Salah satu alasan lahirnya KI, dan juga pernah diucapkan oleh Anies Baswedan, adalah bagaimana menginspirasi anak2  bahwa di dunia nyata, sangat banyak profesi yang bisa digeluti. Dan profesi itu, anak-anak, tidak hanya terbatas pada dokter, guru, tentara-polisi, astronot, dan juga presiden. 

Nyatanya Guys, kalau kalian mau tahu, anak-anak kita memang benar-benar masih terkungkung dalam stereotype itu. Ketika aku bertanya “Apa cita-citamu nanti?” sebagian besar mereka menjawab profesi-profesi mainstream yang sudah aku sebutkan tadi. Itupun setelah melewati perenungan panjang (Bener, beberapa waktu dari mereka tidak spontan mengucapkan apa cita-citanya)? Waktu aku tanya adakah diantara mereka yang mau jadi wartawan, hanya satu anak di kelas tiga yang mengacungkan jari (Dan aku curiga itu juga tidak ikhlas #suudzon)

Diantara 80 anak yang kelasnya aku masukin, juga hanya dua jawaban yang menurut aku jawabannya antimainstream. Salahseorang anak kelas dua, menjawab cita-citanya adalah menjadi pemadam kebakaran. Sementara seorang anak kelas enam, bercita-cita menjadi pemilik kos-kosan. Yang terakhir ini, sampai diabadikan oleh Mas Fauzi, sang videografer.
Kelas terakhir;kelas 6. Di sini keadaan sudah menjadi kacau. Mereka maunya nyanyi Iwan Fals
 Jadi kalau banyak ahli pendidikan yang bilang bahwa sistem pendidikan di Indonesia itu membuat otak kita berpikir seragam, itu agaknya memang benar. Kalau sistem pengajaran kita membuat orang tidak kreatif, mungkin memang benar adanya. Kalau dulu aku, ketika berumur 24 tahun dan menggengam ijazah Sarjana, tapi tak tahu apa yang akan dilakukan, itu memang nyata.

Sampai saat ini, mereka tidak diajak untuk tahu bahwa kalau mereka menekuni musik, olahraga, menggambar, mendesain, memotret, meneliti, memasak, membuat film, acting, menyulam, dan semuanya itu, bisa menjadi pekerjaan ke depannya. Bahkan malah dicari orang. Profesi tidak selamanya mengharuskan kita terkungkung di dalam ruangan kantor dari pagi buta sampai malam serta berpakaian necis.

Namun, sistem pendidikan kita belum menyentuh ranah itu. Sayangnya, televisi kita –sebagai media massa yang gampang diakses- juga tidak mengedukasi mereka. Tayangan-tayangan TV kita dijejali dengan semua yang serba instan dan mainstream. Jadi, apa yang tergambar dalam benak mereka pun seragam.

Anak-anak bersama Mba Uchie; sang guru yoga anak. Yang kayak gini aku masih perlu belajar lagi
Mimpi buruknya adalah, ketika kenyataan mengharuskannya menelan pil pahit. Tidak bisa jadi dokter misalnya. Pun ketika itu, mereka sama sekali tidak memiliki gambaran. “Kalau enggak jadi dokter, emangnya mau jadi apa?” HILANG! BLANK! Dan kemudian frustasi, menjalankan semuanya setengah hati. Rhenald Kasali mengibaratkannya seorang singa yang mengembik. Maksudnya enggak pas berada sesuai dengan khitahnya.

Dan, walaupun aku belum mampu berbuat banyak,aku sadar bahwa tanggung jawab ini harus kita pikul bersama. Ini bukan tanggung jawab Kemendiknas atau pengajar saja. Ini tanggungjawab kita bersama. Toh, masing-masing dari kita ke depan akan punya anak. Masak kita akan mempercayakan sepenuhnya pendidikan mereka kepada guru di sekolah, sementara kita asyik-masyuk dengan hiruk-pikuk pekerjaan kantor? APAPUN, kita harus terus mengambil bagian dalam hal pendidikan. 

“Kau boleh jadi apapun, tapi jangan lupa, kau harus menambahkan satu profesimu. Menjadi guru. Guru apa saja, mengajarkan apa saja,” kata salah satu hadist yang disebutkan Pak Ustadz di suatu kajian.


Terima Kasih, KIJKT4 untuk kesempatan dan waktunya, diperbolehkan bergabung. Terimakasih anak2 untuk tularan semangat dan ketulusan kalian!




Last but not least, terima kasih dari aku untuk kalian semua (ini fotonya kenapa sedang ngeliat ke atas gitu. Haha...)

Komentar