Ketika Sang Mentari Menyangsikan Kebahagiaannya Sendiri (1)


 
Foto: Shutterstock


Target untuk rajin menulis di 2018, nyatanya benar-benar berat. Menginjak bulan kedua, waktu yang ada begitu longgar. Namun, saya justru absen 100%. Awal Maret, sebuah chat di Whatsapp dari teman kuliah memantik keengganan saya. Temanya esensial, apakah saya bahagia dan menikmati hidup? 


 

Berbeda dengan teman-teman di bangku SMA, selama kuliah, saya bisa dibilang tidak terlalu akrab dengan teman-teman sekelas. Satu angkatan di jurusan Komunikasi Unsoed 2005, kelas saya, ada setidaknya 87 mahasiswa. Dari jumlah tersebut, lingkaran pertemanan saya termasuk kecil. Hal ini terlihat saat dosen memberikan tugas kelompok. Bisa dipastikan, saya akan berkumpul dengan teman-teman yang itu saja.

Ketika harus memilih konsentrasi studi di semester lima, saya memilih jurusan Hubungan Masyarakat (Humas). Padahal, saya memiliki ketertarikan lebih dengan Komunikasi Massa (media). Lalu kenapa? Males aja kalau sampai tidak punya teman yang bisa ditodong memasukkan nama saya dalam tugas kelompok. Hehe...#sepele.

Awal kuliah, saya tidak betah di Unsoed dan Purwokerto. Saya selalu pulang ke Kebumen setiap akhir pekan atau mengunjungi teman di kota lain. Pulang kuliah, saya langsung kembali ke kos atau keliling dari satu toko ke toko lain (bakat hedon). Saya baru aktif di Pers Mahasiswa(PersMa) pada tahun kedua. PersMa membuat kehidupan kampus saya sedikit lebih berwarna dan bermanfaat. Pada akhirnya, saya juga lebih dekat dengan teman di PersMa ketimbang teman sekelas.

Di kelas, teman-teman dekat saya adalah pribadi yang memiliki karakter bertolak belakang dengan saya. Mereka juga sangat berbeda dengan karakter teman dekat saya selama di sekolah menengah. Di kampus, teman-teman saya adalah pribadi yang kalem dan tidak neko-neko. Mereka adalah tipe introvert yang tidak mudah meledak-ledak seperti saya. Tapi mereka super baik dan berkualitas.

Mereka tidak pernah keberatan membubuhkan nama saya di setiap tugas kelompok. Padahal, saya tidak berkontribusi apapun (selain patungan bayar iuran tentunya). Titip absen sudah tak perlu dibahas lagi betapa seringnya. Menjelang ujian, mereka juga selalu memberikan bahan-bahannya lengkap. Hahaha...#cium.

Nah, salah satu sosok terbaik itu, sebut saja namanya Mentari. Bukan nama sebenarnya kan, Gin? Kayak di koran-koran. Iyalah. Nanti bisa kena pasal pencatutan nama tanpa izin.

Saya dan dia bagai kutub utara dan selatan. Berbeda dalam banyak sekali hal. Namun, orang bilang, pertemanan bisa jorok seperti jodoh (eaa). Kalau saya sudah menargetkan jurusan Komunikasi sejak SMA misalnya, Mbak Mentari ini tidak.

"Soalnya grade Komunikasi di Unsoed A. Peminatnya banyak. Jadi, kayaknya aku gak bakalan keterima kan? Sialnya, keterima. Enggak ada alasan lagi untuk tidak kuliah ke orangtuaku," katanya pada suatu ketika. Salah satu percakapan di warung siomay dekat kampus yang tidak terlupakan.

Terus, jurusan impianmu apa sebenarnya?

Dengan lempeng dia menjawab, "Enggak ada. Gak mau kuliah. Pengen kursus jahit aja, mungkin buka jahitan di rumah."



Salah Satu Foto Waktu Masih Muda (ehm)



Duarr...



Jawaban itu terdengar seperti ledakan besar di kepala, saat itu. Bergaul dengan teman-teman PersMa, membaca buku sosial-politik dan mendengarkan ceramah dosen, jawaban itu terdengar tidak pas. Zaman itu, sebagian mahasiswa Komunikasi terkonstruksi menjadi anchor, wartawan, praktisi humas, politisi atau setidaknya dosen. Yah, minimal bankir lah, yang dandan rapi. Itulah mengapa, kadang mereka berdandan ke kampus laksana pergi kondangan. Full make-up.

Terus kalau mau jadi penjahit, ngapain harus belajar teori two-step flow communication atau teori kritis Habermas yang jelimet (dan sekarang sama sekali gak kepake) itu? Otak saya sungguh tidak terkoneksi dengan jalan pikirannya. Apa jahit baju bisa pake teori Habermas?

Meski pengen jadi penjahit, saya menilai Mbak Mentari ini complicated. Pasalnya, dia memilih Resimen Mahasiswa (Menwa) sebagai tempatnya berkegiatan. Tahu Menwa kan? Sebagai orang yang pragmatis, saya menyebut Menwa itu satpam mahasiswa. Pake sepatu PDL, seragam yang kaku dan panas serta rela berdiri berjam-jam di terik matahari. Apa coba kontribusinya sebagai agent of change? Wuakaka...

Saya tidak hanya ngomong ini di belakangnya. Dengan terang-terangan, saya menyuruhnya untuk berganti kegiatan yang lebih bermartabat. Haha...Apa jawabannya? Konkrit. Dia pernah bolos ujian karena tabrakan dengan agenda Menwa. Ujian lho ini bukan cuma kuliah dan presentasi. Thats called love..Cyin! Saya tidak pernah lagi bicara loyalitas dengannya. Kalah telak!!

Saya mendapatkan gelar Sarjana di bulan Maret 2010. Kalau tidak salah, dia bahkan belum mengambil skripsi waktu itu. Dia memang harus mengulang banyak materi kuliah yang dijalaninya dengan setengah hati. Selepas mengenakan toga, saya langsung hengkang dari Purwokerto.

Hubungan saya dengannya otomatis merenggang. Sampai sekarang, saya lupa menanyakan kapan tepatnya dia wisuda dan kemudian berjilbab (kebangetan emang). Belakangan, saya juga tahu kalau dia pernah menjadi wartawan di harian Radar Banyumas. "Aku suka menulis," katanya tahun lalu ketika terakhir bertemu. Saat itu, dengan bercanda, saya juga meragukan kemampuannya menulis.



(BERSAMBUNG)



Komentar