Ketika Sang Mentari Menyangsikan Kebahagiaannya Sendiri (2)
Saya and The Gank di 2009 |
Kendati hubungan saya dan Mentari dekat, kami seperti memiliki dunia lain. Saya sering main dengan teman se-gank Komunikasi, tanpa dia. Mentari, yang asli Purwokerto, justru sering absen. Sibuk sedunia mengamankan kampus, kelakarku. Namun, hubungan kami selalu dekat sampai sekarang. Keinginannya menjadi penjahit di tengah studi Komunikasi adalah salah satu perekatnya. Dia unik.
Rezeki
dan jalan hidup yang diberikan Tuhan kepada kita, kadang benar-benar
tidak dinyana. Karena itu, Rasululloh SAW selalu mengajarkan untuk
berbaik sangka kepada Allah SWT. Berdoa dan berusaha sampai DIA
menentukan yang terbaik.
Sang
Pemberi Rezeki menjawab cita-cita Mentari dengan jalan berputar.
Sekarang, Mbak Mentari menjadi PNS di Kementerian Tenaga Kerja
(Kemenaker). Apa tugasnya? Dia ditempatkan sebagai instruktur di
Balai Latihan Kerja (BLK). Spesialisasinya? Instruktur menjahit.
Allah mengabulkan beberapa permintaannya sekaligus: mendapatkan
pekerjaan tetap, gaji dan pelatihan menjahit sampai mahir. Luar biasa
kan?
"Kamu beruntung. Aku selalu melihat kamu adalah orang baik dan beruntung," pujiku saat kami makan dan nongkrong di jalan Braga.
Beberapa hari lalu, saya mengirimkan pesan Whatsapp untuknya. Bagi saya, dia berasal dari tipe teman yang tidak intens komunikasi, tapi langsung klik ketika bertemu. Saya memiliki pertanyaan khusus untuknya. Sebelum sampai pada topik utama, dia bilang. "Semalem kepikiran kamu, Apa kabar?" katanya. Tumben, batinku, pemilihan kalimatnya agak-agak syahdu. Wkwk... #sokpsikolog
Tanpa
aba-aba, kemudian, dia melayangkan pertanyaan smash,
"Na, gimana sih cara menikmati hidup menurutmu?"
NAH!!
Pertanyaan ini mungkin sederhana bila datang dari teman-teman wartawan, kuliah atau sekolah. Pertanyaan ini juga sering dilontarkan dengan ringan dan tidak perlu dijawab. Seringkali, pertanyaan ini juga hanya berfungsi untuk mengolok-olok.
Namun,
bila pertanyaan ini datangnya dari Mbak Mentari bisa jadi beda. Dia
yang pembawaannya selalu tenang dan tak pernah kehilangan kendali.
Bagi saya, dia adalah sungai yang tenang. Tempat saya merenung dan
mengevaluasi diri. Apa hidup saya sudah kebablasan? Dia bisa
begitu kenapa saya tidak? Begitu biasanya yang saya pikirkan
ketika bertemu dengannya.
"Beberapa orang di sekitarku bilang, kalau aku tidak bahagia dan kurang menikmati hidup, Na. Menurutmu gimana?" tanyanya lagi.
Saya
menerima pertanyaan ini di siang hari bolong dan sedang tidak berada
di kantor. Udara Jakarta di bulan Maret, saat itu, panas. Sorenya,
hujan deras. Saya juga sedang bersama beberapa rekan sehingga tidak
bisa menjawab pertanyaan ini dengan segera. Pertanyaan ini tipe-tipe yang tidak bisa dijawab seketika.
Ilustrasi: Shutterstock |
Apa
jawaban saya? Rahasia. Hihi...
Bagaimanapun,
pertanyaan ini juga mengusik saya. Menjalani bulan Januari, saya
merasa jengah. Saya seperti dikejar-kejar sesuatu. Kemudian,
sekonyong-konyong, semesta seperti mendengar. Ia meminta saya untuk
mundur sejenak. Tanpa berpikir dua kali, saya menjawab panggilan itu.
Selama Februari, saya mundur selangkah. Hikmahnya? Saya mungkin harus
membuka kembali catatan, menghapus atau menambahkan beberapa
bagian.
Mbak
Mentari membuat saya termenung. Saya yakin, sebelum dia mendapatkan
pertanyaan ini dari teman-temannya, dia merasa tidak ada yang salah
dengan hidupnya. Bahagia? Saya yakin dia bahagia dengan caranya
menjalani dan menikmati hidup.
Dia
mungkin tidak menjalani gonta-ganti pekerjaan seperti yang saya
alami. Dia juga tidak doyan nge-mall setiap minggu untuk belanja baju. Saya berambisi membuat alis dengan presisisi tahun ini, sementara dia bahkan mungkin tidak bisa membedakan bedak tabur dan cushion.
Dia tidak akan pernah repot-repot mengunjungi Female Daily dan Sociolla (yang wajib bagi saya). Dia juga tidak ngefans berat dengan G-Dragon, Bigbang atau Park Bogum. Dalam bayangan saya, dia juga tidak akan betah bermalas-malasan seharian untuk stalking artis, fanbase dan selebgram. Duh, saya yakin dia menganggap semua kegiatan itu pemborosan, buang-buang waktu dan nirmanfaat.
Dia tidak akan pernah repot-repot mengunjungi Female Daily dan Sociolla (yang wajib bagi saya). Dia juga tidak ngefans berat dengan G-Dragon, Bigbang atau Park Bogum. Dalam bayangan saya, dia juga tidak akan betah bermalas-malasan seharian untuk stalking artis, fanbase dan selebgram. Duh, saya yakin dia menganggap semua kegiatan itu pemborosan, buang-buang waktu dan nirmanfaat.
Mbak
Mentari yang saya kenal, dalam pikiran saya, akan lebih memilih
menghabiskan waktu akhir pekannya dengan beberes rumah kontrakan. Dia
tidak jenuh dengan kesendirian sementara saya suka teriak-teriak bila
sepi. Ketika saya menginap di kontrakannya, saya mengajaknya
mengunjungi wisata-wisata ikonik ala selebgram. Dia tidak menolak
tapi saya tahu dia enggan. Pada akhirnya, hari Minggu kami berakhir dengan
malas-malasan saja di rumah. Bahkan beranjak dari kasur pun tidak. Kami hanya bercerita dari satu topik ke topik lain,
sampai sore. Saat saya harus kembali ke Jakarta.
Dia
juga katanya hobi memasak. Karena masih single, tentu saja masak sendiri dan dimakan sendiri. Mungkin juga dia akan membaca buku atau
kembali belajar menulis. Bagi dia yang menjadikan
jahit-menjahit sebagai hobi, Mbak Mentari pasti tak akan berpikir dua kali untuk mengulangnya di
akhir pekan. Itu bukan hanya sekedar pekerjaan baginya.
Lalu,
diserang beberapa pertanyaan seperti itu dari teman dekatnya,
membuatnya jadi berpikir. Apakah ada yang salah dengan hidupnya.
Saya
juga jadi berpikir,
Apa
semua orang harus menempuh jalan untuk menjadi bahagia, sama seperti
caramu?
Apa dia harus se-ekspresif dirimu dalam menujukkan kebahagiaannya?
Apa semua orang harus bepergian dan mencoba resto kekinian untuk bisa menikmati hidup?
Apa dia harus se-ekspresif dirimu dalam menujukkan kebahagiaannya?
Apa semua orang harus bepergian dan mencoba resto kekinian untuk bisa menikmati hidup?
Apakah
harus selalu update di media sosial, untuk menunjukkan kita ada?
Apa
kita wajib memiliki dan mendapatkan semua hal seperti yang mereka
semua punya?
Tidak-kah
DIA, Sang Maha Memiliki, Pemberi Rezeki juga Sang Maha Tahu? Bukankah
dia juga Sang Maha Mencukupkan?
Kenapa
saya juga kerap kali menjadi begitu comel dan resah. Kenapa begitu
mendengarkan dan mempedulikan omongan orang lain? Kenapa harus selalu
mengejar garis yang sama dengan orang lain.? Kenapa harus bersalin
rupa menjadi pribadi yang lain? Kenapa menjelang tidur malam mata selalu nyalang dan
merasa kalah? Kenapa?
Mengapa
kita menjadi pribadi yang gamang dengan diri kita sendiri? Mengapa
kemudian harus bertanya kepada orang lain, "Apakah saya
bahagia?"
Emang
situ bahagia banget ya hidupnya? Sempurna banget? Kalo iya...selamat
deh!!!
Tiba-tiba, suara Mas Is sayup-sayup menggema di sudut,
Tiba-tiba, suara Mas Is sayup-sayup menggema di sudut,
Komentar
Posting Komentar