Melakukan Negosiasi Gaji Agar Isi Rekening Selangit


Foto: Shutterstock
Selain soal resign dan pindah kerja, persoalan yang sering datang sebagai keluhan dan curhat pada saya adalah mengenai gaji. Kenapa ya? Saya juga bingung. Iya sih, kalau cerita mengenai pasangan hidup atau anak-anak, mereka pasti menganggap saya tidak kompeten. Jelas! Sampai sekarang saya belum kawin dan beranak-pinak. Wkwk...



Saya juga bingung mengapa mereka selalu melihat saya lebih baik dan beruntung. Saya justru sering merasa mereka jauh lebih beruntung, khususnya dalam bidang karier dan gaji. Apalagi bagi mereka yang tidak kepikiran untuk resign dan pindah kerja. Saya justru sering berpikir, apa saya kurang bersyukur? Sungguh, kalian selalu melihat rumput tetangga lebih hijau. 

Salah satu momen yang membuat saya super kaget adalah kejadian beberapa tahun lalu. Saat itu, saya masih pengangguran. Habis di PHK dari Majalah Fortune Indonesia dan pengembaraan di pedalaman Jawa Timur. Saya membeli kopi sachet di warung sebelah kos. Ibu warung tiba-tiba meminta saya untuk membantu anaknya yang lulusan D3 agar cepat mendapat kerja. Pengen kerja di MNC katanya. Tentu saja, dia tidak tahu saya sudah hengkang dari grup perusahaan milik Tanoesoedibjo itu.
"Soalnya saya lihat Mbak kerjanya enak. Berangkat siang atau sore terus sudah pulang lagi gak terlalu malam," begitu katanya.

Saya shock dan pengen ketawa terpingkal-pingkal sebenarnya. Tapi tentu saja tidak enak hati. Saya lo, pengangguran dengan status PHK. Dari luar, apa saya terlihat seperti makelar kerjaan gitu? Hihi...mungkin saya perlu konsultasi lagi ke psikolog. Siapa tahu memang passion sebenarnya bukan tulis menulis, tapi makelar.
Jam kerja di Majalah Fortune Indonesia memang fleksibel. Saya sering nulis di kos. Ngetik di kantor kadang berisik. Keluar siang atau sore praktis hanya dilakukan ketika harus liputan, ketemu narsum atau rapat. Eh, main tentu saja tidak boleh ketinggalan. Mereka tidak tahu saja, menjelang deadline, saya harus begadang atau membuka komputer jinjing dari fajar. #pencitraaan. 

Tapi kalian memang lebih senang menilai sesuatu dari yang terlihat saja kan?

Kalian menganggap karier dan hidup saya mudah? Pindah-pindah kerja dan mendapatkan penghasilan lebih tinggi? Jam kerja yang fleksibel dan suasana kerja yang nyaman? Tidak selalu begitu sebenarnya, Beb. Tapi kalau dipaksa, begini kiat saya dalam proses tawar-tawaran gaji. Tentu saja, bukan murni dari saya. Siapalah saya, ya kan? Saya contek dan tulis ulang saja dari berbagai artikel yang pernah dibaca: 

Jangan Pernah Menjadi Pihak Pertama yang Membuka "Harga"

Tawar-tawaran gaji selalu berada pada proses akhir rekrutmen. Bagi kalian yang bukan lagi berada pada tahap fresh graduate, proses rekrutmen kadang sangat cair. Beberapa pekerjaan yang datang untuk saya, melalui proses mengobrol santai. Sambil makan atau ngemil-ngemil cantik di tempat-tempat hedon. Di sebuah perusahaan rintisan, saya hanya ditanya pengalaman liputan dan tulisan. Saya jawabnya enggak pake mikir. Sang CEO malah lebih banyak cerita soal bisnis dan usahanya (mana dia ganteng. Wkwk..) Dan memang, pernah juga tidak ditanyakan apapun. Langsung ditanya, "Mau gaji berapa?" Hehe...
Jadi, kalau boleh menasehati, jangan pernah bicara gaji sebelum proses rekrutmen selesai. Pastikan juga kamu sudah tahu dari hulu-hilir alur kerjamu nantinya. Apa persisnya tanggung jawab? Jam kerja? Key Performance Index? Alur kerjasama tim dan atasan? Budaya kerja? Dan sebagainya - dan selanjutnya. Itu sangat penting. Karena apa? Hak akan datang setelah kewajiban. Kewajiban harus yang utama dan pertama. Hal ini juga menggambarkan profesionalisme kerja.

Setelah jelas dan lengkap baru bicara gaji. Dan, seyakin apapun bahwa kamu akan mendapat gaji lebih besar, jangan pernah ajukan nominal terlebih dahulu. Sekali lagi, jangan pernah. Bagaimana kalau dipaksa? Masa kamu gak bisa ngeles, please?
Katakan saja, "Silahkan Bapak-Ibu sebutkan dahulu?" atau "Bagi saya gaji bukan yang utama (meski bukan nomor dua. Wkwk)" atau "Saya menghargai inisiatif dari Ibu/Bapak atas kemampuan saya, silahkan." Haha..kece gak?
Kenapa? Rugi, Beb. Langit itu tidak berujung. Jadi, jangan batasi dirimu pada nominal angka. Percaya saja, HRD atau atasanmu, dituntut untuk efisien dalam mengelola anggaran perusahaan, termasuk gaji pegawai. Kalau bisa bayar murah, kenapa harus mahal? Iya kan? Lagian, kalau ekspektasi gajimu Rp20 juta/bulan misalnya, dapat Rp25 juta kan lumayan buat beli lipstik baru. Hihi...traktir makan enak juga bisa kali?


Redaksi Okezone, Berpuluh Tahun Lalu (lebay)

Survei Besaran Gaji dari Orang Dalam

Bila akan pindah pada satu industri, informasi mengenai besaran gaji di tempat baru akan lebih mudah. Kamu tentu sudah punya teman dan koneksi di calon kantor barumu. Itu yang sering terjadi pada saya, karena masih berkutat di industri media.

Apalagi, menurut survei diAS, generasi milenial juga cenderung lebih terbuka mengenai gaji dan penghasilannya kepada orang lain. Dengan begitu, kamu tidak akan rugi bandar karena menerima gaji di bawah harga pasar. Padahal, tanggung jawab dan capek-nya sama.
Bagaimana kalau kamu ingin berkarier lintas industri? Informasinya dari mana? Di Indonesia, ada Qerja.com (Eaaa...plis endorse). Mereka sering mendata gaji user-nya melalui survei online. Kalau kamu bersedia, kamu juga bisa membagi informasi ini. Datanya dijamin rahasia (ngomong sana sama Mark Zuckerberg. Hihi...). CEO dan Founder Linkedin Reif Hoffman, menyarankanmu juga untuk menggunakan situsnya. Saya perhatikan, Linkedin memang kerap kali menawarkan solusi-solusi praktis untuk hal-hal begini. 

Perhatikan Faktor X,Y dan Z selain Gaji

Saya termasuk orang yang tidak percaya bahwa gaji itu tidak penting. Katanya, generasi milenial dan Z, lebih mementingkan pengalaman dan tantangan. Mungkin itu berlaku di tahun pertama dan kedua, baiklah. Setelah itu, nonsense. Apalagi kalau kamu sudah menikah dan punya anak. Tagihan KPR, KKB, kartu kredit, hedonisme, kapitalisme, gaya hidup.
Punya gaji banyak itu tidak dosa dan salah. Kata-kata penuh madu bahwa gaji itu tidak penting, biasanya datang dari mereka yang sudah bergaji ratusan digit. Pemilik modal. Mereka yang ingin irit dengan menekan biaya produksi serendah mungkin. Termasuk dalam hal ini adalah gaji karyawan. Siapa karyawannya? Ya, saya dan kamu gak sih? Hihi...Jangan mau ditipu mentah-mentah gitu ah!

Gambar: onsizzle.com

Berpikirlah seperti para investor kakap. Mereka itu, menurut saya, sering tidak berpikir linear. Untuk mencapai angka 10, kamu mungkin berpikir harus melewati 2,3 dan 5. Mereka tidak. Tau-tau saja gitu dapat 10 hasil pinjaman atau minterin orang. #kok jadi ngomongin orang ya ini?
Pikirkan segala hal dalam komponen gaji seperti asuransi, dana pendidikan, THR, bonus tahunan dan tunjangan prestasi. Pernah dengar MESOP atau ESOP? Jatah saham perusahaan yang biasanya diberikan kepada karyawan tetapi disimpan dalam jangka waktu tertentu. Tanyakan. Kalau di level direksi, ada yang namanya tantiem dan dividen.
Selain itu, tanyakan juga dana pensiun dan pengembangannya. Boleh juga tanya jumlah cuti tahunan, cuti hamil dan melahirkan (atau menemani istri melahirkan. Sudah boleh lo sekarang) dan cuti-cuti lain. Cuti ibadah misalnya. Saya berangkat Umroh tahun lalu dengan cuti ibadah. Padahal, masa kerja saya belum satu tahun. Di akhir bulan, gaji saya tidak dipotong. Alhamdulillah, rejeki anak sholehah.
Kalau di Jakarta, pertimbangkan juga akses dan biaya ke kantor. Penting kan? Kalau gaji lebih banyak sedikit tapi ongkos dua kali lebih besar? Habis di jalan. Kalau masih makan di kantin dan malas bawa bekal, survei harga makan dan jajan juga penting. Iya donk? Apalagi kalau tipenya kayak saya. Kalau stres dan bosen dikit, ke kantin. Hihi...Kalau mahal, ya pastikan daya belimu tidak turun saja.
Generasi milenial juga sangat peduli dengan fleksibilitas jam dan waktu kerja. Tanyakan saja, apa kantormu mengakomodir kepentingan itu? Kerja dari rumah, kafe atau co-working space itu ada enak dan enggaknya. Bagi yang biasa kerja di kantor, suasana kafe itu enak banget. Sering gak sepi seperti kubikel kantor memang, tapi bukan berarti konsentrasi hilang. Pasang headset dan musik favorit, kamu akan terbang ke dunia lain. Hanya ada kamu dan pekerjaanmu. Kalau lagi longweekend dan liburan, kamu juga tidak harus selalu ikut arus masuk kantor. Bisa remote working.
Enggak enaknya? Kantong jebol. Kalau sering sendirian, kamu juga akan merasa tidak punya partner kerja. Hal ini berakhir dengan kamu mencari pelarian dengan browsing internet dan media sosial. Kerjaan bukan kelar dan masalah bertambah banyak. 

Peluang Pengembangan Industri 
 
Tertarik bekerja di start-up biar milenial banget? Kantornya kece? Gaji menarik dan juga terbuka peluang pengembangan karier. Mungkin saya sedikit menggurui dalam poin ini, saya kan bukan siapa-siapa. Namun, penting juga melihat peluang industri ini ke depan. 

Bagaimana cara melihatnya? Lihat perkembangan bisnis perusahaan dan juga kompetitornya. Tiga empat tahun lalu, siapa sih yang bisa menyangka Gojek dan Traveloka bakal jadi unicorn? Punya banyak guru dan mentor? Tanyakan. Khususnya mereka yang sudah punya jam terbang tinggi sehingga melihat dari sudut pandang yang lebih luas. Bahasa kerennya, helicopter view. Hehe.... 

Netizen, Sungguh Kalian Tak Henti Membuat Tertawa



Beberapa ahli misalnya, melihat bahwa industri yang akan turun dalam beberapa tahun ke depan adalah dua hal. Perbankan dan ritel. Mengapa? Yang pertama karena disrupsi finansial teknologi. Bankir juga kerap dibebani dengan sederet target yang kian tidak masuk akal sehingga merasa lelah. Kedua, tentu saja perkembangan e-commerce yang tumbuh subur seperti warna lipstik. Membutakan mata. Haha...Menurut saya? Gak usah dibahas, mereka lebih pintar.


 Pertimbangkan Inflasi 
 
Mengapa resign dan pindah kerja sering menjadi pilihan? Apa tetap berkarier di satu kantor tidak memberikanmu keuntungan lebih? Tidak ada jawaban yang pasti. Tergantung pekerjaan, jabatan dan kultur kerja serta perusahaanmu.

Beberapa ahli karier menyebut, bertahan di satu perusahaan lebih dari dua tahun, tidak menguntungkan secara finansial. Kenaikan gajimu di satu perusahaan maksimal 20%. Tentu saja ini angka rata-rata, tidak ada yang pasti seperti hitungan matematika. Sementara bila kamu pindah kerjaan, karier dan gajimu bisa naik signifikan. Di beberapa kasus, kenaikan gaji dan atau tunjangan bisa mencapai 100%. Apalagi kalau kamu dilamar oleh pangeran berkuda, eh salah, dipinang head hunter.

Gimana kalau perusahaan baru tidak menawarkan kenaikan gaji signifikan? Namun kamu sudah enggan bertahan di kantor lama? Hemm.. terserah. Biasanya, patokan kenaikan gaji di perusahaan lama mengacu pada angka inflasi tahunan. Jadi sebenarnya, kalau inflasi tahunan 5% dan gajimu di perusahaan baru hanya naik 5-10%, kamu rugi. Kalau pindah, usahakan gajimu naik setidaknya 30%. Kalau keahlianmu khusus, perusahaan baru kan untung. Mereka mendapatkan SDM profesional tanpa harus investasi untuk pelatihan dan sebagainya, kan? 

Apa saranmu harus pindah Gin? Ya tentu saja enggak. Mau pindah atau enggak, keputusan murni di tanganmu, tentu saja. Tulisan ini kan bukan soft-selling, kayak laman sebelah. #eh
Masih kurang jelas dan galau? Tinggalkan komentar, alamat email atau nomor kontak di kolom bawah. Nanti staf saya akan menghubungimu untuk mengatur jadwal konsultasi lanjutan. Berikut tarif konsultasi dan nomor rekening saya tentunya. Hahaha....


 DISCLAIMER: Tentu Saja, selalu ON

Komentar