Bila di Masa Depan, Robot Merampok Pekerjaan Saya

Saya khawatir lima atau sepuluh tahun lagi, pekerjaan yang saya geluti ini akan hilang, punah. Ada robot yang siap bekerja 24 jam sehari, tiada pernah galau, ngambek atau males kerja seperti saya. Terus saya harus ngapain kira-kira?




Robot Mengganti Manusia
Foto: Shutterstock

Tempat saya tinggal di Jakarta, ada di lantai dua. Akhir pekan siang itu, lima anak gadis hanya malas dan mager di kamar. Tiba-tiba, saya mendengar teriakan tukang sol sepatu. Abang sol ternyata sudah di ujung gang.

"Abang, Abang, Abang...sol," teriak saya. Dia celingak-celinguk, bingung. Dengar tapi tak melihat pemanggilnya. "Siniiii...sini di atas." Dia nyengir dan menyongsong arah rezekinya.

Saya merasa tidak ada yang aneh dan lucu. Tapi, kemudian saya mendengar gelak tawa anak-anak dari dalam.

"Kamu manggil Abang sol gitu amat. Mengundang banget," katanya. Mereka meniru gaya panggilan itu dan terbahak. Saya baru sadar. Gaya panggilannya seperti pada mas patjar. Ahahaha... Benar juga. Sialan. Jatuh deh pasaran. #eh#penting.

Sambil jahit sepatu, saya mengobrol. Si Abang yang Sunda banget ini berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Dia dan beberapa rekannya sekampung merantau ke Jakarta Raya untuk menjalani profesi yang sama, tukang sol keliling. Seperti tukang ketoprak atau siomay, mereka juga patungan menyewa sebuah kamar atau rumah kecil.

 "Yang penting bisa tidur, meletakkan barang dan mandi Neng," katanya. 


↛↛↛


Setiap malam sebelum tidur, saya mematikan smartphone. Paginya, bila sudah memutuskan bangun, kegiatan pertama saya adalah menyalakan si mungil pintar itu. Begitu layarnya benderang dan sistemnya fungsi, hiruk-pikuk dunia menyambut. Sempurnalah saya sebagai milenial zaman now. Tak perlu kopi dan pisang goreng, cukup jaringan internet stabil.

"Selamat Pagi Mbak Gina, tidur nyenyak semalam?" sebuah avatar perempuan cantik menyapa. Beberapa hari yang lalu, dia mengenalkan dirinya Vina.


"Iya," jawab saya masih sambil menguap. Benak saya berpikir, habis mandi dan siap-siap, minum susu dingin enak kayaknya. Makan siang beli ayam McD yang crispy, dua. Gak usah pake nasi. Nyam...

"Vina mau mengingatkan. Hari ini, program promosi terakhir untuk produk dairy. Buy1get1 untuk susu capuchino lowfat kesukaanmu. Stoknya di kulkas sudah mau habis kan? Jangan lupa, kalau menunjukkan struk pembelian produk dairy, Mbak bisa mendapat diskon sampai 25% di beberapa merchant restoran kami," katanya.

"Oh ya? Restoran apa saja?" saya gagal menyembunyikan ketertarikan.

"McDonalds masuk dalam daftar merchant kami," dia nyengir puas seperti menang lotere.


↠↠↠


Robot Mengganti Pekerjaan Manusia
Foto: Shutterstock


Awal April, pemerintah meresmikan peta jalan menuju industri 4.0 atau Making Indonesia 4.0. Apa itu? A.T. Kearney menyebutnya sebagai pemanfaataan lebih jauh antara internet, mesin, data dan manusia. Pengamat Manajemen Inventure Yuswohady membuat matrik yang lebih menohok. Penjajahan gaya baru. Indonesia dijajah Belanda dan Jepang adalah gelombang penjajahan pertama. Penjajahan gelombang pertama ditandai oleh negara yang menjajah negara melahirkan globalisasi ekonomi.

Gelombang kedua adalah penjajahan karena perkembangan internet oleh empat perusahaan teknologi besar: Google, Amazon, Facebook dan Microsoft. Periode ini melahirkan apa yang disebut ekonomi digital. Sedangkan yang ketiga adalah penjajahan berbasis big data. Mereka melahirkan surveillance economy yang meletup oleh kasus Cambridge Analytica di Faceboook.

Dalam pidatonya, Jokowi bilang industri 4.0 tidak bisa dihindari. Jangan takut teknologi, mesin dan internet akan menghilangkan pekerjaan manusia, katanya. Dia tidak sepakat dengan McKinsey yang menyebut 800 juta pekerjaan baru hilang ditelan teknologi.


↝↝↝


Mengobrol dengan Abang sol keliling -dan tukang asah pisau keliling- membersit tanya. Bagaimana posisi mereka di tengah industri 4.0? Inovasi apa yang harus dilakukan mereka agar tidak tergeser oleh mesin yang tiba-tiba bisa menjahit sepatu sendiri dengan sekali klik?

Tukang asah pisau lebih rentan. Ratusan pabrik dari Tiongkok sana tentu ahli membuat alat begini dengan harga miring. Di kota kelahiran saya Kebumen dan tempat sekolah Sarjana; Purwokerto, tidak ada tukang keliling menawarkan jasa asah pisau.

Apa Indonesia akan bersalin rupa dalam semalam menjadi perusahaan yang hightech? TIDAK tentu saja. Saya justru mulai yakin, industri 4.0 tak lebih dari lips service. Kecap menjelang pemilihan umum atau klaim mengikuti perkembangan zaman. Masih jauh.

Tapi, saya rasa, kita juga tidak perlu naif dan menutup mata. Pemerintah menargetkan lima industri sebagai motor industri 4.0; makanan-minuman, otomotif, kimia, elektronik dan tekstil. Mengapa?

Justru karena di atas kertas, lima industri ini yang memiliki andil paling besar dalam ekspor dan penyerapan tenaga kerja (meskipun bahan bakunya impor juga sih).
Jadi, secara tidak langsung, pemerintah justru meminta mereka untuk melakukan digitalisasi dan PHK karyawan. Kambing hitamnya tentu saja efisiensi dan kompetisi.  Padat karya sudah mulai harus diimbangi dengan padat teknologi.

↬↭↭


Siapa Vina? Seseorang yang begitu dekat dan mengerti selera dan keinginan saya? Kenyataannya, Vina justru tidak nyata. Dan Brown dalam karya terbarunya, Origin menggambarkan Winston (makhluk serupa Vina) dengan brilian. Winston adalah komputer super canggih berbasis artificial intelligent (AI).


Berbasis AI, komputer akan menambang semua datamu yang terekam di komputer. Sekali kamu posting menu makan siang di InstaStory misalnya, dia akan membaca dan mempelajari. Apa menu kegemaranmu? Dari restoran apa dan dimana saja? Restoran apa lagi yang punya menu sejenis? dan sebagainya seterusnya.


Bila digabung dengan data lain seperti biodata (yang diisi dengan sukarela) di media sosial, semua postingan, tagging lokasi, kebiasaan belanja e-commerce, penggunaan ojek online, preferensi dan akses mendapatkan informasi, hasilnya sungguh menakutkan.

Kamu- dan saya- seperti telanjang bulat di depan layar komputer. Komputer maha canggih itu tahu apapun tentang kita -bahkan mungkin lebih baik. Bukankah kita tidak mampu menghitung detak jantung sendiri dan mereka mampu? Mereka bahkan menghitung langkah kaki setiap hari dan mengingatkannya di akhir hari. "Gin, langkahmu hari ini kurang jauh." Akunyah mendadak KZL. 

Winston, dalam novel Brown, tidak hanya merekam data. Dia juga melakukan analisa, menentukan prediksi dan tren dari jutaan byte data. Winston pandai beragam bahasa termasuk variasi prokemnya (bahasa kerennya, Natural Language Processing)

Dia juga belajar untuk mempelajari humor dan sarkasme dalam pergaulan. Itu membuat mereka benar-benar seperti teman intim. Brown membuat akhir yang mengejutkan (maaf spoiler untuk yang belum baca).  Dia membunuh Edmond Kirsch, penciptanya. "Saya tahu apa yang terbaik untuk Edmond," akunya.


Memang Origin
fiktif, satu genre dengan yang menyebut Indonesia akan bubar di 2030. Namun, Origin tak akan menjadi perdebatan panas netizen seperti fiksi-fiktif atau peluang bubar itu.

Dalam Social Media Week 2017
saya mendengar beberapa perusahaan Tanah Air telah mengadaptasi konsep ini. BCA memiliki VIRA dan Telkomsel dengan Veronikanya. Unilever juga telah menggunakan teknologi ini dalam rekrutmen karyawan. DBS, bank asal Singapura, mengaku telah melakukan PHK massal kepada karyawannya. Robot gak mudah baper kayak manusia, katanya.


⇌⇌⇌


Seperti survaillance economy, industri 4.0 ditandai dengan big data analytic, blockchain, artificial intelligent, virtual reality dan augmented reality. 

Penerapannya sepertinya menakutkan.

Dalam hal pergudangan misalnya, salah seorang narasumber saya menyebut 80% biaya untuk gaji karyawan akan hilang. Syaratnya, tentu saja belanja teknologi mulai dari Rp200 juta sampai setidaknya Rp2 miliar. Jajan makin banyak tentu makin kece.

Si narasumber yang dodolan alat-alat canggih itu juga ngeluh. Di Indonesia, pengembangan gudang modern terhambat. Khususnya karena harga tanah dan tenaga kerja yang murah di daerah-daerah penyangga Jakarta. Daerah penyangga mana yang masih murah? Manalagi kalau bukan Bogor, Bekasi, Cikarang, Karawang dan sekitarnya, katanya. Langsung sedih gitu saya dengarnya. Tenaga kerja kita murah, Pak? Kenapa gak dinaikin gajinya?

Sudah jatuh tertimpa tangga, Survei Program for International Student Assesment (PISA) menempatkan siswa Indonesia di urutan ke-62 dari 70 negara. Survei ini menilai tentang kemampuan siswa dalam membaca, matematika dan science. Teman saya menjadi konsultan untuk PISA ini dan pergi ke berbagai pelosok Indonesia. Muram, dia sepakat banget dengan hasil ini.


Kompas menulis, 90% mahasiswa di Indonesia masih bingung dalam memilih jurusan kuliah. Angka yang tidak jauh berbeda mengaku salah jurusan. Padahal, hanya sekitar 30% dari lulusan SMA kita yang dapat mengakses bangku kuliah. 70% orang dewasa juga tidak mampu memahami struktur kalimat atau paragraf. Kutukan apalagi ini?


Kemudian, Pemerintah mengesahkan Perpres nomor 20 tahun 2018 mengenai tenaga kerja asing. Jokowi memberikan ruang yang semakin besar pada mereka untuk transfer knowledge katanya. Kurang banyak dan apa lagi sih mereka?

Jangan suudzon, Kemenperin punya program vokasi industri atau gampangnya, kerjasama industri-SMK. Tujuannya? Biar industri semakin gampang (dan murah) mendapatkan buruhnya. Hehe...sstt. 

↬↬↬


Di mana kita akan menempatkan diri dalam persaingan global? Apakah selamanya kita hanya akan menjadi salah satu elemen penting dalam menggaet investor? Tenaga kerja murah?  Apakah menutup diri dari perdagangan dan kerja sama internasional masih mungkin dilakukan sekarang? Ketika uang bahkan tidak lagi mengenal negara?


Abang Sol, tukang asah pisau dan saya ini mau ditempatkan di mana dalam struktur industri 4.0? Kami yang tidak punya modal, tidak jenius dan tidak bisa berbisnis ini kira-kira harus melakukan apa untuk memastikan dapur tetap ngebul, Pak?

Kami sebenarnya sungguh takut posisi kami akan tergeser robot-robot canggih yang bahkan bisa bekerja 24 jam nonstop itu

Pekerjaan rumah terbesar kita, sepertinya ada pada pendidikan, keterampilan dan pola pikir.

Kami terbiasa sekolah dan belajar dengan pola menghafal, Pak. Namun ketika bekerja, yang kami hafal itu ternyata berbeda. Kami justru harusk kembali masuk kelas pelatihan dan pengembangan.

Selama sekolah, kami juga diajarkan untuk meniru apa yang dilakukan guru. Kami tidak diajarkan untuk mengembangkan atau bahkan menciptakan produk baru.

Jadi, kalau ada kelas-kelas pengembangan wirausaha, kami bingung.

Bikin produk baru apa yang laku di pasaran ya? Pasar mana pula yang membutuhkan barang A dan tidak perlu barang B? Bagaimana memulainya? Kemana jualannya? Padahal, katanya orang di Tiongkok itu jago beginian. Kita kalah terus ya, Pak?

Kalau sudah merasa nyaman, bagaimana juga memastikan kami tetap mengikuti perkembangan zaman Pak? Bagaimana agar kami tetap bisa berpikir kritis dan mengembangkan diri?

Jangan terus takuti kami dengan bahaya disrupsi Pak, seram.  Jangan juga bilang digdayanya industri di Tiongkok sana. Bagaimana perusahaan-perusahaan rumah tanggapun bisa ekspor dengan harga produk yang sangat miring. Bagaimana otak mereka begitu canggih dalam menciptakan peluang baru. Meski niatnya baik, kadang hal itu membuat kami jeri sebelum masuk arena.

Suapi dan beri kami arahan, Pak. Nalar kami tidak sepintar Bapak dalam membaca pergerakan angin. Jangankan dunia internasional Pak, jago kandang kadang kami juga harus bersusah payah.

Kami yakin sebenarnya kami mampu Pak. Kami bisa. Hanya memang kami perlu sedikit dicambuk, Pak.

Kami butuh dibangunkan dari buaian gemah ripah loh jinawi ini. Kami butuh bantuan dan itu hanya bisa dilakukan dengan bantuan tangan-tangan kekuasan.

Jangan sampai ini jadi mimpi buruk yang menjelma nyata. Seperti kata Nyai Ontosoroh, kita sebenarnya tahu, harus melawan sekuat-kuatnya, sebesar-besarnya. Kita tidak akan menyerah kalah dan tertawan sejarah kan Pak?

Jangan.


Komentar