Islamic Book Fair dan Berbagai Kecemasan yang Keliru

Pekan ini, saya pergi ke Islamic Book Fair 2018. Pengunjungnya membludak membawakan aura positif. Umat Islam di Indonesia saat ini tidak perlu khawatir pada berbagai isu di luaran sana.

Islamic Book Fair Jakarta
Islamic Book Fair 2018 di JCC, Senayan

Sejak hidup merantau di Jakarta dan punya penghasilan, saya berusaha disiplin membeli buku setiap bulan. Dulu, waktu Gramedia masih menyewa dua lantai di Grand Indonesia (GI), saya sering numpang baca di sana. Pulang liputan, bagian GI yang paling akrab adalah Gramedia. Semakin sering dicuci otak dengan hedonisme, sekarang saya hafal tiap sudut GI. Haha...

Saya hobi membaca buku atau novel yang sudah terbuka plastiknya. Gramedia menyisakan ruang kosong di pinggir untuk duduk. Cakep, kacanya langsung menghadap Bundaran HI. Karyawan Gramedia membiarkan saja pengunjung kere macam kami itu melakukannya berjam-jam. Cihuy lah!

Namun, ada saat ketika saya merasa ini tidak adil. Di samping itu, hasrat membaca buku yang sama untuk kedua atau ketiga kalinya sering datang. Alasan itu membuat saya mulai membeli dan mengoleksi buku. Namun, sampai sekarang saya masih betah berjam-jam (berdiri) di Gramedia untuk numpang baca. Khususnya buku-buku bertema berat yang takut tidak selesai dibaca. 

Semenjak itu pula, pameran buku besar menjadi agenda wajib. Islamic Book Fair Jakarta salah satunya. Tahun ini, IBF diselenggarakan di JCC Senayan, 18-22 April 2018. Ada beberapa perbedaan dari tahun-tahun sebelumnya. 
Pertama lokasi di Hall A-B JCC bukan di Istora Senayan. Istora sedang bersiap menyambut gelaran Asian Games. Kedua, pengunjung harus membayar tiket, Rp5000/orang. Biasanya gratis. Ketiga, panitia menyediakan mushola yang lebih luas dibandingkan tahun sebelumnya. Keempat, kalau tidak bawa bekal dan lapar, kita harus keluar dulu ke area food-court GBK. Dekat tapi sedikit ribet.

Salah satu hal istimewa dalam pekerjaan saya adalah keleluasaan waktu. Saya sering tidak terikat dengan jam kerja 09.00-17.00 WIB. Karena itu, saya justru menghindari datang ke Islamic Book Fair Jakarta di akhir pekan. Penuh dan sesak. Saya tidak leluasa memilih dan membaca buku. Hari kerja jauh lebih sepi.  
IBF Jakarta 2018
Acara Saingan IBF, Muslim Fashion Festival 2018 yang Diresmikan Jokowi
Pergi ke Islamic Book Fair Jakarta kemarin, saya terkejut. Begitu banyak pengunjung datang. Berbondong-bondong dan berseragam. Mereka tidak hanya datang dari sekolah dan pondok pesantren saja tapi masyarakat kebanyakan. Begitu masuk ke stand penerbit, sungguh saya tambah bingung. "Ini orang-orang enggak pada kerja apa ya? Banyak duit." batin saya.

Di Islamic Book Fair Jakarta, saya menyeleksi ketat buku apa saja yang ingin dibaca. Jangan ketinggian, bikin pusing atau ngantuk. Untuk sampai pembelian, seleksinya lebih ketat lagi. Pernah saya pulang dengan tidak beli satupun buku Islam. Beli novel kontemporer saja karena diskonnya lumayan (tetep kapitalis). Kemarin, saya tidak bisa melakukannya. Jalan saja susah. Jarak antarpenerbit sempit apalagi jarak rak. Baru buka daftar isinya, sudah diganggu orang permisi mau lewat. Arrgghhh...

Namun, perjalanan ke Islamic Book Fair Jakarta membawa pesan. UNESCO bilang tingkat literasi buku Indonesia rendah? Nomor-60 dari 61 negara katanya? Kemarin, saya lihat orang bejubel borong buku. Cuma saya yang beli satu buku, itu juga karena diskon 35%. Orang lain beli bertumpuk buku, tebal. Beberapa orang bahkan bawa kopor.

Beli buku apa dulu, Gin?

Gak perhatikan. Iya, waktu antre bayar, saya melihat remaja laki-laki membeli Dilan 1990. Nyinyiers khas Netizen tidak terbendung. "Hari gini beli Dilan? Buat apa sih Dek? Beli yang lain saja lah sana."

Seorang teman mengirimkan softcopy novel Dilan I-III. Kemarin, teman yang lain membagi filmnya. Saya penasaran, terutama setelah membaca review Mbak Teppy dan Mbak Goes ini. Tapi, untuk menyelesaikan film itu, saya harus meluangkan tiga kali waktu luang. Menurut saya durasi film yang 1,5 jam itu kepanjangan. Bosen, aneh, enggak lucu, datar.  Jadi dalam pandangan saya, beli novel Dilan adalah perbuatan sia-sia dan nirmanfaat. Tapi kalian adalah makhluk bebas dan merdeka, silahkan kalau berbeda pendapat.
Selain itu, buku apapun yang dibeli itu bukan persoalan penting. Ya kan? Ada yang lebih penting, menumbuhkan semangat baca dan cinta buku. Benar apa betul? Hihi...

Selain Eka Kurniawan dengan karya dan imajinasinya, saya juga sedang suka dengan Mbak Kalis Mardiasih. Asing dengan namanya? Googling saja, tulisannya banyak dimuat Mojok, Detik atau blognya; kalismardiasih.com. Dia menulis mengenai islam sehari-hari dan perempuan. Ah, saya tidak pandai mengumbar kata kepada idola. Bagi saya, suka dan cinta tak perlu alasan apalagi diumbar #tsah #syedap.

Membaca artikel, status Facebook serta apa yang terjadi di Islamic Book Fair Jakarta kemarin, saya tidak bisa tidak sependapat dengannya. Dia mengkritik Felix Siauw yang justru sering membagi kekhawatiran dan paranoid. Di Indonesia, katanya, berkembang upaya menghalangi atau bahkan melarang umat Islam dalam ibadah dan syiar.

"...Banyak kok orang Islam yang bahagia dan nggak merasa sedang diancam golongan lain. Orang Islam 207 juta di Indonesia ini siapa yang berani menghapus? Azan Shubuh di Indonesia bahkan nggak cuma sekali, dua kali saking umat Islam rajin dan merdeka. Panjenengan ini kurang srawung pengajian malam Jumat di kampung, apa tidak bersyukur mengamati geliat tabligh akbar di kota sih sebetulnya hobi menakuti orang?" kata dia di status FB-nya.

Masjid di depan kos melakukannya. Sekitar 30-40 menit sebelum adzan Shubuh, pagi Jumat dan menjelang sholat Jumat mereka menyetel murotal di speaker. Di bulan Ramadan, frekuensinya akan lebih sering. Pengajian Minggu malam setelah Magrib juga begitu. TPQ-nya berjalan dengan baik setiap sore hari. Donatur dan jamaahnya banyak. Ini masjid kecil di tengah ring-1 Jakarta Pusat lho.

Di Islamic Book Fair Jakarta, saya melihat banyak sekali rombongan pesantren. Mereka datang dengan bus-bus pariwisata. Kok tahu? Cara dan gayanya berpakaian, tindak-tanduk, panggilannya kepada satu sama lain dan badge nama-sekolah. Di sebuah stand penerbit, saya melihat remaja-remaja tanggung asyik membaca. Tulisan di dalamnya bukan aksara latin tapi Arab. Saya perhatikan beberapa menit dan mereka bergeming. Saya terharu dan tergugu. "Gue dari dulu ngapain aja?"

Keponakan saya, mengabarkan diterima masuk Institut Teknologi Bandung (ITB). Fisika. Saya takjub, bagaimana kami bisa disebut sedarah ya? Dulu, saya anti banget Fisika. Gurunya belum datang saya sudah pusing dan mual. Tapi si ponakan menganggap Fisika sebagai jalan hidup. Bahkan semenjak sekolah menengah, dia keliling Indonesia mengikuti seleksi olimpiade.

Itu satu hal membanggakan tapi duniawi. Saya berasal dari keluarga yang menganggap akhirat adalah nomor (-1). Penting banget. Orang tuanya mengabari. Sambil menunggu awal kuliah September nanti, si bocah ingin mengambil kelas khusus di Kuningan, Jawa Barat. Kelas apa? Sesuatu terkait membaca atau hafalan Al-Quran. Hati saya mencelos. Subhanallah.

Teman semasa kuliah, resign dari karier moncernya di bank pelat merah. Dia memulai kariernya lagi dari nol dan menjadi CPNS di lembaga negara. Kenapa? "Mau hijrah tinggalkan riba," katanya. Saya mendapat kuliah lima SKS tentang ini. Langkahnya tidak mudah, saya tahu. Tapi dia yakin Allah SWT maha memberi rezeki. Logika duniawi saya hancur lebur kayak diterjang buldozer.

Tahun lalu, saya sedikit emosi di depan orang tua. Mereka cerita, di pengajian, ustadznya mengingatkan untuk waspada. PKI akan bangkit lagi, katanya. "Ustadznya kurang paham. Dengarkan saja ilmu agamanya. Soal PKI ada yang lebih ngerti," nasehat saya. 
Tengok linimasa. Para mamah muda -teman-teman saya- rela hemat belanja lipstik dan gamis setiap bulannya. Demi apa? Arisan buku anak-anak. Buku tebal-tebal dan sophisticated itu berisi kisah-kisah Nabi, doa sehari-hari dan belajar Al-Quran yang harganya jutaan. Belum lagi boneka dan pensil ajaibnya. Kalian sudah menyiapkan madrasah pertama yang terbaik begitu sebagai bekal. Mengapa harus khawatir pada masa depan Islam Indonesia?

Mengapa kembali ke agama kadang justru menimbulkan kekhawatiran? Mengapa mendengarkan khotbah tidak lagi menentramkan? Mengapa harus selalu menjadi pihak yang paling benar dan selalu curiga dengan yang lain? 
Mengapa agama kini menjadi untung-rugi? Kenapa emosi begitu mudah tersulut atas nama agama. Bukankah agama seharusnya menjadi oase? Menawarkan ketentraman dan kehalusan pekerti?

Mengapa kita tidak larut saja dalam membesarkan dan merawat tunas-tunas baik? Apa kita lupa pesan Rasululloh SAW bahwa menyingkirkan duri dari jalan itu ibadah? Bahwa mengunjungi tetanggamu yang sakit itu juga ibadah? Atau memberikan minum pada hewan yang kehausan?
Kau ribut saja dengan hiruk-pikuk. Di medsos apalagi. Dimana rahmatan lil alamin-nya?

Sementara kita abai dengan permasalahan penting kesejahteraan ummat. Menyiapkan generasi-generasi terbaik dalam menghadapi persaingan dan kompetensi. Hey, Oxford memprediksi banyak tenaga kerja manusia akan terganti mesin dan robot. Alibaba tidak hanya menjadi raksasa tapi kontribusi nyata dalam perekonomian. Sampai ke desa-desa terpencil di Tiongkok sana. Elon Musk berpikir dapat melawan kematian. Facebook mencuri semua data pribadi kita.
Apakah kita benar-benar hanya akan serupa buih dalam lautan? Harusnya tidak.
































Komentar