BekFest 2019 di Solo, Oase dan Momentum Ekonomi Kreatif Tanah Air* (bagian 1)

Saya sudah menggeluti dunia wartawan sejak lebih dari lima tahun lalu. Selama itu, saya tidak pernah berganti bidang, ekonomi-bisnis. Berita terkait kebijakan makro dan mikro pemerintah, fiskal dan moneter, perbankan, pasar modal serta manajemen dan keuangan adalah makanan sehari-hari. Dunia ini baru meski secara keilmuan, wartawan adalah pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan saya, Ilmu Komunikasi.



 
Rempah Rindu di Bekraf
Rempah Rindu di Bekraf Festival 2019 Solo


Menggeluti ekonomi, saya selalu dituntut untuk belajar. Pasalnya, menulis berita ekonomi kerap membuat saya berhadapan dengan istilah-istilah teknis yang tidak hanya baru. Tapi juga asing dan tidak pernah mampir di telinga orang awam. Saya juga kerap kali mendapatkan pelajaran bisnis dan manajemen gratis dari narasumber.

Di awal masa kerja, kendati bergelar Sarjana Komunikasi, saya ditugaskan meliput proses Initial Public Obligation (IPO) atau penjualan pasar perdana. Hari berikutnya, saya harus meliput kenaikan BI 7 Day Reverse Repo di Bank Indonesia. Bingung dan tidak paham apa kaitannya dengan ilmu yang saya pelajari di bangku kuliah.

Bagusnya, tawaran untuk mengikuti seminar dan workshop hadir bagai air bah. Datang hampir setiap bulan bahkan minggu. Pengundang acara biasanya menggabungkan workshop menulis dengan perkembangan bisnis atau perusahaan. Menarik karena bisa bekerja sambil belajar. Belajar yang dibayar.

+++

Dengan latar belakang tersebut, saya tetap merasa beruntung menerima kabar bahagia di pertengahan Juli 2019. Saya diterima menjadi salah satu peserta Workshop Writerpreneur Accelerate Bekraf 2019 (WWA Bekraf) di Bogor pada 25-28 Juni 2019. Apalagi setelah mengetahui bahwa saya adalah 50 penulis terpilih diantara sekitar 500 pendaftar.

Meski begitu, jujur pada awalnya, saya tidak berharap banyak. Pelatihan memang digelar selama empat hari penuh di Hotel Royal Padjajaran, Bogor. Kami dikarantina dari pagi sampai malam untuk mengikuti berbagai materi dari narasumber. Menginap dan tidak boleh bolos satu sesipun. Bahkan tidak boleh telat masuk kelas lebih dari lima menit. Banyak sekali pelajaran dari proses empat hari tersebut.

Setelahnya, saya pikir, kita akan dilepaskan untuk bertemu lagi di berbagai forum penulisan. Atau, bertemu lagi ketika sudah sukses. Menjadi wartawan memang kadang membuat saya memiliki cara pandang yang skeptis. Hehe...

Akan tetapi, saya salah besar. Pertama, selama empat hari workshop, saya bertemu dengan penulis hebat dari berbagai genre. Anggota kelompok Gatotkaca, nama kelompok saya, ada yang berprofesi sebagai dokter, guru anak berkebutuhan khusus, dan penyair. Belum lagi kelompok lain. 49 peserta lain yang tidak hanya berasal dari berbagai profesi tetapi juga daerah.

Workshop ini tidak hanya menjadi momentum untuk menyerap ilmu dari para mentor. Tetapi juga menjadi ajang mengembangkan jaringan sesama penulis. "Jaringan penulis yang berkelindan," kata Kirana Kejora, mentor kami.


+++


Dari perkenalan empat hari itu, saya mendapatkan banyak sekali ilmu. Tantangan pertama tentunya menyelesaikan buku bersama kelompok. Komitmen menyelesaikan satu buku sudah ada sejak memutuskan datang ke Bogor. Tidak sulit karena syarat menjadi peserta adalah pernah menerbitkan buku. Minimal tiga. Namun juga tidak mudah karena kami hanya memiliki waktu efektif sekitar dua bulan.

Kelompok saya memilih Rempah Rindu sebagai judul buku. Rempah Rindu adalah kumpulan novelet mengenai kekayaan rempah Indonesia yang tidak hanya unik tetapi juga penuh cerita dan makna.

Rempah Rindu di Bekraf Solo
Peluncuran Buku Rempah Rindu bersama Alumni WWA-Bekraf di Perpusnas
 
Whoah
, ini luar biasa. Menjadi jurnalis membuat saya lebih banyak bergelut dengan karya non-fiksi dibandingkan fiksi. Hampir setiap hari, pekerjaan utama saya adalah menulis artikel. Selama itu, saya hampir tidak pernah merampungkan draft tulisan fiksi. Jadi, Rempah Rindu adalah karya fiksi saya selama hampir 10 tahun terakhir mendalami dunia tulis menulis.

Menulis buku bersama tentu saja hanya satu pengalaman. Di samping itu, mengusung konsep writerpreneur, kami dituntut untuk tidak hanya menulis buku. Kami harus memiliki konsep pembuatan buku dari hulu ke hilir. Dari pemilihan tema tulisan, tampilan sampai percetakan dan pemasarannya. Dalam ilmu bisnis-manajemen yang sering saya tulis, kemampuan ini penting bagi penulis di tengah disrupsi teknologi.

Saya beruntung mendapat kesempatan mempelajari disrupsi di dunia buku dan percetakan bersama mereka. Kini, hubungan penulis dan penerbit menjadi setara. Menerbitkan buku tidak hanya menjadi privilese mereka yang pintar, kaya atau tenar saja. Semua orang bisa menerbitkan buku.

Penerbit besar beserta dengan jaringan tokonya tidak lagi menguasai produksi dan distribusi buku. Sosial media dan internet membantu dan merealisasikan banyak hal yang sebelumnya terasa tidak mungkin dilakukan.

Alumni WWA, selanjutnya kami menyebut Elang Tempur, tidak hanya menunggu kesuksesan di puncak tangga tetapi memilih bergandeng tangan. Elang, kata mentor kami, tidak akan pernah takut terbang sendiri. Namun dia juga pribadi yang loyal pada komunitasnya untuk bisa terbang bersama.

Berproses bersama mereka merupakan pengalaman yang membanggakan dan mengharukan. Saya yang tidak tahu apa-apa kecuali sedikit tentang jurnalisme ini, menyerap banyak sekali hal.

Kirana Kejora, mentor kami, membukakan kita pada banyak kesempatan baru. Panggung Bekraf di Indonesia Internasional Book Fair (IIBF), VIU Pitching Forum di Akatara dan Grand Launching sembilan buku di Perpusnas Expo. Tentu saja yang tidak boleh ketinggalan, Bekraf Festival 2019 (Bekfest 2019).



Rempah Rindu dan Bekfest Solo 2019
Berfoto bersama Alumni WWA di Ajang Bekraf Solo 2019

Salah satu pengalaman penuh makna adalah ketika kami hadir dalam ajang Bekfest 2019. Bekfest adalah acara tahunan terbesar Bekraf yang tahun ini digelar di Beteng Vastenburg, Solo pada 4-6 Oktober 2019. Bekfest juga menjadi momentum untuk menyampaikan capaian kinerja pada masyarakat dalam menguatkan pengembangan ekonomi kreatif nasional.

Tidak itu saja, Bekfest juga menjadi ajang apresiasi kepada pelaku kreatif yang berkontribusi dalam kemajuan ekonomi kreatif Indonesia. Ada 40 program unggulan dari enam kedeputian Bekraf dikemas dalam sesi talkshow, pameran, sinema, dan pasar kreatif di Benteng Vastenburg.

Buku para alumni WWA, sebagai salah satu program unggulan di sub-sektor percetakan, dipajang di Bekfest 2019. Selain itu, kami juga membahasnya dalam satu sesi talkshow.

BekFest 2019 rutin diadakan setahun sekali. Gelaran Bekfest 2019 di Solo adalah penyelenggaraan ketiga kali. Bekfest pertama digelar di Bandung.

Setahun kemudian, Bekfest 2018 digelar di kota Pahlawan, Surabaya. Solo menjadi tuan rumah ketiga gelaran besar mereka. Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo adalah orang pertama yang mengajukan sebagai tuan rumah. Ia melayangkan surat kepada Kepala Bekraf Triawan Munaf untuk menjadi lokasi pelaksanaan Bekfest 2019.

Selain itu, Solo juga dipilih karena pernah menjadi ikon lahirnya jaringan kota-kota kreatif nasional. Hal ini sejalan dengan tema Bekfest 2019: Kita Kaya Karya. 


BAGIAN DUA 



*naskah ini diikutsertakan dalam penyusunan buku Memoar Bekraf Festival Solo 2019 bersama Elang Tempur


Komentar