Oleh-Oleh dari Kunjungan ke Pasca Sarjana Paramadina

Guys, saya jujur lagi bingung harus ngapain sekarang. Tugas bikin midyear outlook buat industri perasuransian bikin saya tetiba stuck dan ga tau mesti ngapain. Haha...Dan dalam satu jam ke depan saya juga harus pergi liputan ke acara Bank Mandiri yang nunjauh dari Kebayoran #lebaydikit

Semalam, jadinya saya pulang jam 00.30 WIB sampai kosan. Sepi nyenyet bahasa Jawanya. Setelah pulang dari openhouse Paramadina Postgraduate School di Energy Building, saya, mba Evi (mantan editor saya dulu) dan suaminya yang gabung belakangan, serta Vevy ngebakso dulu di Blok S. Dan pulangnya lewat Mampang masih kena macet jam 23.00 WIB. And tits called Jakarta guys...

Jadi, sesuai janji saya kemarin, saya mau cerita bagaimana isi open housenya semalem. Pembicaranya tiga orang, Firmanzah yang sekarang jadi Rektor Universitas Paramadina, Aria TM Wibizono dari Kementerian Luar Negeri (Ngajar juga di Diplomacy) dan Nico Harjanto (CEO Populi Center) yang lebih ngomongin soal Komunikasi Politik.

Acara dimulai pukul 19.00 WIB, Pak Aria yang pertama ngomong. Dia...ah, menurut saya, keren saja tidak cukup. Pak Aria yang Phd lulusan AS ini bilang kalau saat ini seharusnya beruntung. Menjadi saksi sejarah dan juga pemain  dalam salahsatu tahap penting perubahan dunia dalam MEA. Kalau nanti anak cucu kita hanya akan mendapatkan ceritanya lewat mulut ke mulut, kita tidak. Kita bisa secara aktif menjadi bagian di dalamnya.

Yang paling saya ingat, dia cerita soal mantan Presiden AS Roosevelt yang katanya butuh waktu satu tahun untuk membuat pidato selama 10 menit dan enam bulan untuk 5 menit?

"Bagaimana kalau Anda harus berpidato selama satu jam?" kata Pak Aria ini. "Oh, sekarang saja saya bisa," jawabnya.

Pesan moralnya, semakin pendek waktu orang untuk berbicara, dibutuhkan banyak ilmu, waktu, pembelajaran dan juga ketrampilan dalam mempersiapkannya. Karena itu, di jurusan Diplomacy, kata dia, jangan kaget kalau dalam satu minggu, mahasiswanya diharuskan membaca bahan-bahan ilmiah sepanjang 200-300 halaman dalam seminggu atau kurang. Full English. Hahaha....langsung pucet.

Di Kementerian LN, dia bilang, keterampilan seperti ini, membaca cepat dan kemudian menemukan saripatinya adalah ketrampilan mutlak. So...harus dilatih dan dibiasakan.

Pak Nico, yang juga lulusan Phd Amerika, bicara banyak soal perkembangan dan dinamika berpolitik dan bernegara. Beberapa nama dan teori yang dia sebutkan saya enggak bisa mengulanginya sama sekali. Hahay...dan seperti biasa, sepertinya di bagian ini konsentrasi saya terpecah dua, entah untuk apa.

Giliran Pak Fiz, sang bintang utama. Haha...langsung terpana dan terdiam pas dia ceritain pengalamannya dia ikut KTT Asean di Phnompenh Kamboja. Dia bilang saat itu, Fhilipina, Thailand dan Vietnam adalah beberapa negara yang kekeuh surekeuh kalo penerapan MEA harus diundur satu tahun menjadi Januari 2016.

"Alasannya apa? Saya tanya, mereka bilang karena takut dengan Indonesia. Wah, saya kaget donk. Kenapa Indonesia? Selama ini, saya tahu kita memang macan -karena luas dan jumlah penduduknya- tapi kan macan tidur. Macan tidur saja mereka takut? Apalagi nanti kalau kita sudah bangun?"

Ah.. Pak Fiz. Saya jujur kaget dengan Pak Fiz malam itu. Sepertinya, beberapa tahun yang lalu, ketika saya sering bertemu dengan dirinya dalam suatu acara dan dia menjadi pembicara -saya wartawannya tentu saja- dia agak chubby. Sekarang, dia lebih tirus, kurus, pakai baju batik lengan panjang coklat-hitam, bicaranya lebih halus, terstruktur dan dijaga. Ah..ilmunya yang banyak berasa makin kelihatan. Haha...

Dalam sesi tanya jawab, ada yang nanya soal angka kemiskinan dulu dan sekarang, suasana politik dulu dan sekarang. Ada juga yang nanya bagaimana kontribusi diaspora dan langkah Paramadina dalam membangun negara -ini datang dari wartawan dan penulis buku, yang WNI kemudian menikah dengan WNA dan memilih untuk menjadi WNA. Dan terakhir, ada seorang penanya, yang kata mba Evi pasti dari NGO, yang lebih berkeluh kesah tentang kiprah perusahaan multinasional di dalam negeri. Hahaha

Jawaban Pak Fiz, yang kembali saya catat, kata mantan dekan FEUI ini, dia bilang saat ini kita sedang masuk dalam review gelombang ketiga masa reformasi. Setelah gelombang dan kedua itu diisi dengan sejumlah perubahan dalam sistem ketatatanegaraan. Perubahan sistem memilih dari Bupati sampai Presiden, Mahkamah Konstitusi yang hadir untuk menyelesaikan sengketa Pemilu, UU otonomi BI, dan banyak hal lain. Saat ini, kita tiba pada masa? Bagaimana sistem ini berjalan dan apakah ini semuanya benar?

"Kita sudah mengubah banyak ketidapercayaan publik atas apa yang terjadi di sini 10 tahun lalu. Apa samasekali tidak ada hasilnya? Saya pikir tidak. Namun kita tiba kembali pada masa mereview semuanya," terangnya.

Pak Nico, memberikan pencerahan pada saya akan standar kemiskinan dan ketimpangan pada suatu negara. Kalau BPS bilang ketimpangan pendapatan negara semakin naik, dan sebagainya? Bagaimana? Itu karena selalu ada perbedaan perspektif akan makna kemiskinan. Sehingga di beberapa negara, ketimpangan pendapatan saja tidak cukup. Harus ada angka kebahagiaan misalnya.

Di AS, negara Paman Sam, dia bilang, juga masih banyak penduduk yang terbelakang. Di bagian OHIO misalnya, kaum Amish, masih hidup seperti orang terasing. Masih menggunakan kuda sebagai alat transportasi di lingkungannya, masih menggunakan baju2 lebar dan aneh, antimedia dan sebagainya. Mungkin kayak suku Badui di sini. Itu mereka. Namun apa bisa disebut mereka bukan warga AS karena menyelamatkan tradisinya? Atau ketimpangan sosial di AS lebar? Bukan juga.

Menjawab pertanyaan si Ibu2 penulis itu juga jawaban Pak Nico bagus. Dia bilang, jumlah Phd di Indonesia yang lulusan luar negeri 40 ribu orang. Dia bilang, 70% dari jumlah itu pasti kembali ke Tanah Air untuk membangun kembali negaranya. Apalagi ternyata, sebagian besar mereka ternyata mendalami agama.

Setelah lulus pendidikan dari luar negeri, Pak Fiz melanjutkan, pikiran, kerja dan tenaga mereka lebih banyak dibutuhkan di dalam negeri. Dia sendiri, ketika lulus Master di Prancis pernah mengalami dilema apakah akan kembali ke Tanah Air menjadi dosen di almamaternya-UI atau mengajar di Prancis.

"Saya cerita ke Pembimbing saya. Dia mengajak saya keliling kampus dan Profesor yang ada di situ. Saya bingung maksudnya apa. Dia bilang, 'Fiz, kalau kamu terus di sini (Prancis) saya bisa menebak masa depan kamu seperti apa, menjadi Profesor, berkeliling dunia untuk mengajar, menulis buku, dan sebagainya. Namun kalau kamu kembali ke Indonesia, saya yakin akan lebih banyak yang bisa kamu sumbangkan dan lakukan untuk Tanah Airmu' " kenang Fiz. Ah....terharuuu....*alaynya keluar
Haha

Pak Aria juga bilang kalau lebih banyak Diaspora Indonesia yang kembali dan membangun bangsa.

"Di sana kita tidak bisa jadi CEO, CFO, rektor atau sebagainya. Di sini kita bisa lebih berguna dan berkontribusi banyak," kira2 begitulah jawabannya.

Pertanyaan terakhir datang dari mantan pengajar muda Indonesia aka penggemar Anies Baswedan, saya yakin. Pertanyaan khusus buat Pak Fiz. Dia tanya apa yang sudah dilakukan selama ini dengan menjadi orang nomor-1 di Paramadina setelah ditinggal Pak Anies. Apa targetnya? Seberapa besar kepercayaan dirinya memberikan sesuatu buat Paramadina?


Jawabannya mengguncang nalar. Hahaha...walaupun kata Mba Evi, dan saya sering baca juga di Fortune US dulu, ini dia;

"Dulu waktu usia saya 32 tahun, saya jadi dekan FEUI. Mungkin dekan termuda se-Indonesia. Saya membawahi Pak Anwar Nasution, Pak Dorodjatun, Emil Salim dan bahkan Bu SriMulyani saat itu. Semuanya itu disebut dewa-dewa. Waktu usia saya 36 tahun, saya diangkat menjadi staf ahli ekonomi SBY. Saya termasuk yang paling muda juga, dan saya berani berdebat dengan Pak SBY kalau menurut saya suatu keputusan itu tidak tepat. Karena saya dari akademisi, saya tahu dari segi itu," sebut dia

"Sekarang, saya di sini (Paramadina). Yayasan ini mempercayakan Paramadina kepada saya, karena yakin saya bisa melakukan fungsi dan kapasitasnya sebagai lembaga pendidikan. Saya akan melakukan yang terbaik. Dan yang akan saya lakukan adalah menunggu dan mempersiapkan rektor baru yang lebih siap dan mampu untuk menggantikan saya pada tahun 2017 (atau 2018 gitu) mendatang"

Eaaaaaa.... Kelepek2 semua.

Pak Fiz juga bilang, "Saya rasa sangat memungkinkan menjadi Profesor sebelum 30 tahun"

Yang kata mba Evi begini, "Dia tahu banget teori management. Itulah, inti management. Seorang pemimpin dianggap benar-benar sukses kalau bisa menyiapkan pemimpin berikutnya yang lebih siap dan mampu mempersiapkan generasi selanjutnya"



Aaahhh....terima kasih Paramadina untuk malam ini.

Semoga mendapat kesempatan lebih mengenalnya. Aamiin


Komentar