Tentang Kehilangan Seperti di Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI)

Beberapa hari lalu, saya nonton salah satu film yang lagi ramai di bioskop. Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI). Saya bahkan tidak membaca satupun review tentang apa dan bagaimana jalan ceritanya. Hanya tahu dari Instagram kalau film ini diangkat dari buku berjudul sama. Ada banyak quot bagus di bukunya. "Dan saya lemah dengan deretan kata indah," mengutip Najwa, di Narasi TV.


Kenangan dan NKCTHI
Cover notes yang saya cetak untuk dibagikan pada teman adik saya


Jadi, saya tergerak untuk menonton NKCTHI.

NKCTHI adalah drama keluarga. Tentang menemukan diri sendiri. Tentang bangkit lagi dari berbagai kegagalan. Tentang menemukan kebahagiaan. Tentang kehilangan dan upayanya untuk berdamai dengannya.

Saya tidak pandai menulis review film. Beginilah cerita pendeknya, awas spoiler ya, bagi yang berencana menonton:

Keluarga Donny Damara (Narendra) dan Susan Bachtiar (Ajeng) mengalami kehilangan besar 21 tahun lalu. Salah satu anaknya meninggal setelah lahir. Mereka menyembunyikan kehilangan tersebut pada ketiga anaknya sampai mereka dewasa. Dalihnya, untuk menutupi kesedihan dan kehilangan tersebut.

Kehilangan tersebut mengubah banyak hal dalam keluarga Narendra. Termasuk pada cara mereka membesarkan dan memperlakukan anak. Cara mereka dalam membesarkan dan memperlakukan Awan (Rachel Amanda), si anak bungsu, membuat Aurora (Sheila Dara) cemburu.

Saat perkelahian sengit menjelang klimaks film, si Aurora ini bilang begini:

"Ayah takut kehilangan kami? Bagi Aurora, Ayah sudah lama kehilangan kami," katanya. Satu momen dimana air mata mulai menetes dan tidak bisa lagi dibendung. Hahaha...

Sheila Dara, mengutip tribunews.com, memerankan karakter yang jarang ngomong. Soalnya Aurora ini seorang seniman yang harus diam dan misterius. Tapi begitu ngomong, omongannya nancep.

"Dunia ini terus berputar tidak hanya bagi Ayah," katanya di perdebatan bersama Ibunya. Quotnya sama kayak di buku. "Dunia ini berputar tidak hanya untukmu saja, jadi jangan egois."

Akhir cerita ini tentu saja membahagiakan. Bapak yang superior akhirnya melihat kesalahan dan memperbaikinya. Angkasa, si sulung, pindah dari rumahnya, belajar mandiri. Aurora melanjutkan studi seninya di Inggris. Awan menemukan dirinya sendiri untuk mandiri tanpa bantuan keluarganya. Ibunya juga menjadi seseorang yang dapat menerima kehilangan si anak bungsu, yang tidak pernah sempat dilihatnya.

Bahagia Ever After, meski bukan Cinderella.

Filmnya bagus dengan plot twist yang rapi. Tidak heran, belum sepuluh hari, sudah satu juta penonton membeli tiketnya. Menang banyak dari sisi bisnis. Seorang sutradara film pernah cerita. Film yang ditonton 800 ribu penonton saja sudah untung 100% dari produksinya. Belum sponsor dan lainnya.

Meski bagus, saya mencatat beberapa lubang. Terutama sebagai netizen nyinyir. Pertama, kenapa jadi Bapaknya yang overprotected dan superior banget gitu ya? Ibunya pasrah dan tidak mendominasi. Padahal, Ibu mana yang tidak terpukul karena kehilangan anak?

Di tengah cerita, ketika penonton belum tahu masalah besarnya, kita dituntun untuk menebak. Saya pikir, setelah melahirkan anak ketiganya, Ajeng ini kena baby bluese syndrome. Dia sempat teriak-teriak dan tidak mau ngurus bayinya gitu. Tapi ternyata dia sembuh.

Di dalam keluarga, Bang Donny Damara (macem kenal) yang memutuskan segalanya. Semuanya Waktu nonton, saya tidak tahan untuk komentar ke teman nonton di sebelah. "Ini Ibuknya gabut banget ya? Diem aja gak pernah ngomong." Haha...Baru deh pas masalahnya kebongkar, dia gerak.

Kedua (dan terakhir ya), ini kan film keluarga. Kok ada ciuman bibirnya lama banget, gak disensor. Itu kemarin banyak ABG nonton sama orang tuanya. Wkwk...atau ABG sekarang udah biasa ya?

***

Beberapa kejadian dalam hidup kita kadang berkelindan satu sama lain. Kenapa harus nonton NKCTHI dibanding film lain? Kadang semuanya terkait dan bukan kebetulan.

Beberapa hari kemarin, almarhum adik saya datang dalam bunga tidur. Tidak hanya sekali, tapi beberapa kali. Waktunya hampir sama, beberapa saat sebelum saya bangun. Maksudnya, ketika saya terbangun, ingatan akan mimpi itu masih basah dan dekat sekali. Mimpi itulah yang kerap kali membangunkan saya di pagi hari.

Mimpi yang seperti nyata. Seperti putaran pita masa lalu, saat dia masih duduk di Sekolah Dasar (SD). Dia seperti masih ada di Kebumen. Masih bisa saya telepon untuk mendengar suaranya. Serta berbagai pintanya, kayak dulu.

Sampai kemudian kesadaran mutlak menerpa. Dia sudah tidak ada. Tuhan YME telah mengambilnya dari kami.

Mengenangnya, selalu membuat sesuatu seperti balon yang ditiupkan dalam dada. Memenuhi hati dengan berbagai macam rasa. Rindu yang utama meski rasa yang lain bukan nomor dua. Belum ikhlas? Insyaallah bukan.

Saat pulang ke Kebumen akhir Desember kemarin, saya absen datang ke makamnya. Saya memang tidak selalu datang ke makam setiap pulang.

Sampai saat ini, bila pulang dan ingin mengunjungi makam, saya sering bermain petak umpet dengan Ibu. Kalaupun harus memberitahunya, saya masih benar-benar menyadari. Tetiba seperti ada mendung di sekitar kami. Mendung tebal yang menggelayut. Melingkupi kami seperti pagar.

"Apakah mimpi ini datang karena saya absen mengunjungimu, Dek?"

***

Rasa pedih dan nelangsa akibat kematian seseorang, tadinya hanya datang dari cerita orang lain ataupun buku. Muncul empati. Sampai kemudian kejadian yang menimpa adik saya, empat tahun lalu datang.

Waktu itu, kisah Ibu saya, dia pamit untuk pergi keluar di malam minggu. "Sebentar saja," katanya ditirukan Ibu. Namun, sebentarnya itu ternyata untuk selamanya. Dia tidak pernah kembali ke rumah akibat kecelakaan.

"Mama cuma pengen dipamitin. Sebentar saja," pintanya dulu. Adik saya memang tidak pernah sadar sampai maut menjemputnya.

Sejak itu, keluarga kami tidak pernah sama lagi. Orang tua saya menjadi lebih sensitif. Saya pernah mengabari kalau sedang sakit di Jakarta. Berkali-kali dia menelepon untuk memastikan saya baik-baik saja dan sehat kembali. Setelah itu, kalau tidak enak badan, saya tidak pernah lagi memberi tahu mereka. Everythings ok, in the phone or in front of them.

Satu waktu, ketika tangan saya terkena pisau dapur, Ibu saya teriak histeris dan nangis. Dia ngeri melihat banyaknya darah segar yang mengalir dari tangan saya. Teringat almarhum juga, katanya.

Trauma dan kehilangan jelas terus membayangi setiap langkah kami. Bukan karena tidak ikhlas. Namun, iman dan ikhlas seorang awam itu memang kerap kali diuji. Kerap kali, datang sejuta "seandainya" atau "kalau".

Sampai kemudian, saya mengingat pesan Al Ghazali:

"Yang paling jauh denganmu adalah masa lalu, yang paling dekat adalah kematian."

*** 

Kehilangan seseorang, kerap membuat saya ingin berhenti berjalan. Berhenti saja di titik ini dan memasrahkan semua kepada semesta. Berhenti mengejar apapun. Berhenti meraih apapun yang bahkan telah berada sejengkal dalam genggam.

Semua nasehat sebijak apapun menguap,
Hanya duka saja yang tertinggal dalam benak

Warna apapun yang sempat ada dalam duniamu seolah dicerabut,
Yang tertinggal hanya kelabu

Kenangan bersamanya melekat di setiap sudut. Senyumnya, kebiasaannya, kegemarannya. Sikat gigi dengan namanya masih ada di kamar mandi, coklat sisa gigitannya menyisa di kulkas, catatan kecilnya di meja belajar menjadi begitu memilukan.

Seperti kemarin dan kemarinnya lagi, rasanya dia masih bisa disapa dan dipeluk.
Tapi, nyatanya tidak.

Dia tidak pernah ada lagi di pojok atau sudut manapun lagi
Semuanya hanya tersisa dalam kenang.

Setan kemudian datang menyelinap, menyalahkan Tuhan

"Tuhan, kenapa Kau mengujiku dengan ujian yang begitu berat? Kesalahan apa yang pernah diperbuat sehingga harus menanggung cobaan ini?"

Tidak Tuhan, tidak
Bukan begitu,

Saya, kami, ikhlas. 

Komentar