Tantangan Paling Berat dalam Puasa bagi Perempuan
Jamaah Perempuan di Sholat Tarawih |
Waktu berlari dengan cepat menerjang sesiapa yang menghalang. Rhenald Kasali benar saat bilang siapa yang tidak mendisrupsi, dia akan terdisrupsi. Tiba-tiba, Januari telah empat bulan berlalu dan Juni datang mengetuk. Apa jarum jam berdetak lebih cepat ketika kita abai?
Mungkin gak sih? Ah, tapi waktu fana ya, yang abadi itu KITA, kata SDD. Haha...tolong. Ini bukan saya, laptopnya ngetik sendiri.
Kemana saja Gin? Mana target dan komitmennya untuk rajin nulis? Hehe...Main, capek, males. Galau sedikit. Haha... (boong). Ramadan kembali datang menyapa sehingga ada target yang lebih prioritas. Introspeksi diri dan fokus ibadah. Lainnya nomor-12. Wkwk...halesan. Masih inget punya komitmen update blog saja lumayan ini, sudahlah. Hehe...
===
Ketika tiga bom meledak di Surabaya beberapa hari menjelang Ramadan, saya berada di Masjid Istiqlal. Seorang teman mengajak datang ke Tahrib Ramadan bersama AaGym dan Fatih Karim. Konsentrasi penuh mendengar kajian sampai kemudian saya iseng membuka detik.com. Mungkin itu kesalahan karena setelah itu konsentrasi saya terbagi. Tiga bom meledak di tiga gereja dalam satu pagi? Astagfirullah.
Saya tidak bisa tidak menangis. Cobaan apa lagi ini? Saya kemudian sempat berharap di akhir acara, AaGym mengajak jamaah untuk berdoa atas peristiwa ini. Mendoakan yang terbaik untuk para korban serta berharap Allah SWT melindungi dan menjaga keutuhan dan keamanan negara. Saya harus kecewa. Khusnudzon saja, mungkin saat itu, Aa belum mendengar kabar duka tersebut.
Berita yang kemudian berkembang semakin membuat patah hati. Kemungkinan, pelakunya satu keluarga termasuk Ibu dan anak-anak. Sang Ibu membawa anak-anaknya yang masih di bawah umur dalam peristiwa itu. Saat Polisi menggeledah rumah tersangka, mereka menunjukkan foto keluarga lengkap dengan empat anak. Sakit.
Berbagai opini dan pandangan kemudian mengemuka. Dalam hal terorisme sekalipun, peran perempuan semakin besar. Perempuan, katanya, tidak lagi cukup menjadi kanca wingking di dapur, kasur dan sumur. Kalau laki-laki bisa mendapatkan syahidnya dengan menjadi pengantin, perempuan tak kalah. Agar tanggung jawab sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya tak gugur, dia mengajak mereka turut menjemput surga. Mungkin begitu jalan pikirnya.
Peristiwa ini, membuat kita harus membuka mata lebar-lebar. Terorisme dan radikalisme, meminjam bahasanya Rhenald tadi, juga mendisrupsi diri. Anggapan bahwa teroris selalu laki-laki itu salah. Teroris lebih banyak dari keluarga tidak mampu pun kini tak berlaku. Mereka juga tidak selalu menjadi pribadi introvert dan memisahkan diri dari lingkungan. Kini, mereka bergaul dengan baik dengan tetangga.
Bagi para orang tua, (dan calon orang tua) tugas mereka semakin berat. Sebagai madrasah pertama, mereka harus lebih peduli. Yenni Wahid bilang, paham radikalisme bisa tumbuh sejak kanak-kanak. Radikalisme bisa tumbuh subur dalam masa pencarian jati diri. Jadi, kalau mereka sudah mulai mengolok temannya kafir misalnya, orang tua harus lebih aware. Memilih Sekolah Islam pun harus lebih berhati-hati. Dobel-triple susah ya jadi orang tua zaman now? #pukpuk kamu bisa.
===
Ketika saya mencoba kembali rutin mengunjungi masjid seminggu terakhir, saya suka geram. Ini pengingat saja bagi saya pribadi. Bukan menggurui.
Pertama, merapatkan dan meluruskan shaf sholat perempuan adalah hal yang sangat sulit. Saya yakin, para mubaligh (baik yang tercantum dalam 200 daftar Kemenag maupun belum, #eh) sudah sering mengingatkan. Merapatkan shaf adalah bagian dari kesempurnaan shalat. Mencegah setan masuk, bahasa awamnya. Namun, mereka cuek bebek melihat shaf depannya kosong. Belum lagi kalau mereka membawa seabreg barang. Atau, mereka membawa sajadah yang penuh berhias bunga. PeWe abis.
Kalau saya lihat dan perhatikan, hal ini berbeda sekali dengan shaf laki-laki. Imam mengingatkan, serentak jamaah lelaki mepet dan merapat. Maju Mbak, apa susahnya sih? Takut kepisah sama teman atau keluarganya? Whatsappnya aktif 24 jam? Janjian di depan pintu susah banget ya?
Kalau ada dua atau tiga jamaah perempuan hendak memulai sholat juga mereka cuek. Saya yakin mereka tahu besarnya pahala jamaah. Namun mereka enggan. Kalaupun saling mengenal, bantah-bantahan siapa yang lebih pantas menjadi imam sering terjadi. Kalau tidak ada yang mau, debat kusir ini akan berakhir dengan bubar jalan. Shalat munfarid. Laki-Laki, deh jangan tanya. Langsung aja jadi imam dan makmum tanpa satu pun kata.
Kenapa ya? Ada keengganan di sini. Ada ego, ada ketidakpedulian. Kenapa harus saya yang memulai mengajak duluan? Saya bisa sendiri dan lebih cepat (dibandingkan jamaah). Mengapa harus berjamaah? Mungkin begitu
Kedua, heboh. Jam buka puasa masih sekira setengah jam. Panitia masjid masih sibuk membagi jatah makanan untuk buka puasa. Mereka sudah pada heboh teriak, saya belum dapat, saya belum kebagian. Setelah itu, saling membandingkan isi. Ketika makanan kecil dibagikan, mereka kembali heboh minta jatah. Di depan sajadah mereka, penuh aneka makanan. Ada yang jatah masjid ada yang beli (atau bawa) sendiri. Yakin itu perut muat, Buk? Alhamdulillah, berarti sehat.
Shaf laki-laki sepertinya adem saja. Makanan dibagikan kemudian duduk diam. Makanan dibuka ketika akan makan. Apapun yang ada di depannya, dimakan seperti sunah Rasulullah SAW. Makan yang terdekat dengan tanganmu dan jangan komentar.
Saya kemarin juga kena semprot jamaah. Dia menganggap saya duduk terlampau dekat dengannya (terlalu mepet depan sajadahnya). "Kamu pikir saya menyembah pantat kamu? Anak ini enggak mikir, enggak pakai otak, " katanya.
Beberapa jamaah lain melirik saya dan si-Ibu. Semoga bukan membela diri karena saya merasa duduk di tempat yang seharusnya. Saya duduk tepat di garis berdiri sajadah yang digunakan untuk meluruskan shaf. Saat itu, saya sukses mengajarkan ajaran Nabi untuk meninggalkan debat meski yakin menang. Saya minta maaf dan pergi meninggalkan si Ibu. Sabar ya Ibuk.
===
Perempuan, menurut saya, punya pekerjaan rumah yang lebih besar saat menjalankan puasa. Menahan lapar dan haus di siang hari itu hal sepele. Tantangannya adalah bagaimana agar tidak memindahkan waktu makan. Balas dendam. Menumpuk semua makanan untuk dimakan. Kalau habis alhamdulillah, saya sendiri masih suka kesusahan menghabiskan makanan agar tidak dibuang.
Karena secara psikologis kaum hawa bicara lebih banyak, hal itu juga kerap kali menjadi ujian. Belajar diam dan tidak nyinyir atau komentar sungguh sering menyiksa ya? Hehe...
Mengendalikan diri. Nafsu, syahwat, amarah dan ego. Mengendalikan diri dari merasa paling benar, paling penting, paling harus dihormati, harus didahulukan dan dilayani. Itu juga sungguh membutuhkan perjuangan besar. Biasa saja. Tidak semua hal harus dilakukan dengan terburu-buru. Tidak harus selalu menjadi yang pertama atau yang di depan. Rendah hati...rendah hati.
Sudah lama sepertinya saya merasa kurang bisa mengendalikan diri. Kurang pasrah pada pemberian Sang Maha Tinggi. Kurang yakin bahwa Dia adalah Sang Maha Mencukupkan sehingga tahu apapun yang terbaik untuk hambaNya. Tahu bahwa Dia adalah sang Maha pemberi rezeki.
Pasrah, tawakal dan terus berusaha mengendalikan diri. Saya rasa, itu tiga hal besar yang menjadi pekerjaan rumah terbesar saya-dan perempuan- Ramadan ini. Doakan saya berhasil melewati ujian dalam Ramadan ini. Aamin.
====
Argh...ini tulisan apa? Maaf yah, saya ngelantur lagi. Semoga tidak membatalkan puasa kalian karena ingin melontarkan sumpah serapah. Wkwk...
Komentar
Posting Komentar