Daffa Ariq Luthfi; Sang Adik Semata Wayang
Saya takut. Doa saya
dalam sholat tadi, “Ya Allah, lindungilah dia. Berkatilah dan beri keselamatan
dan cahaya baginya. Berikan kami kesabaran dalam menghadapi ujian ini. Jangan
beri kami cobaan yang kami tahu, kami takkan mungkin sanggup menanggungnya”.
Mudahkan jalan bagiGuys, ini hari Jumat,
bertepatan dengan hari kedua bulan Ramadhan 1436 H. Sangat berharap agar
kualitas iman dan amal bisa ditingkatkan di bulan penuh berkah ini. Semoga hal
ini juga tercermin dalam tingkah dan laku sehari-hari. Aamiin.
Hari ini sepertinya
bakal di kantor. Pengumuman dari PLN sih seharusnya jam13.00-16.00 bakal ada
pemadaman listrik. Tapi sudah lewat setengah jam, masih beres2 aja nih
komputer. Itu mungkin tandanya harus menyelesaikan tulisan yang masih kurang
sekitar 4000 karakter lagi. Hahay…
Ok, hari ini mau
cerita soal Daffa. Iya, dia satu-satunya adikku. Tadi mamah telpon dari rumah,
mengabarkan kalau Daffa –yang sekarang sudah SMA kelas 1 itu- bolong puasa hari
ini. Argh….rasanya nyesak banget di dada. Mamah bilang, tadi pagi dia ngambek
bangun sahur. Dan jauh setelah adzan Shubuh, dia bangun langsung minum air
putih. Siang ini, ketika mamah nelpon, Daffa katanya malah sedang bikin mie
instan. Aku pikir itu seharusnya waktu2 sholat Jumat, jadi mungkin dia enggak
sholat Jumat juga.
“Mah, dia ngambek
kenapa sih? Mau dibeliin apa? atau kenapa?”
“Enggak tau. Tapi
marah2 terus dari kemarin. Dua malam ini juga enggak tarawih,” jawab mama dr
seberang.
Permasalahan adikku,
di keluargaku adalah duri yang terus menajam. Semenjak SMP dan menginjak akil
baligh, dia tumbuh menjadi anak yang sering melawan dan seenaknya sendiri. Beda
banget dengan jaman SD dulu. Mamah, dulu sering bilang soal teman-teman
sepergaulannya di komplek belakang mushola dekat rumah. Mereka itu-teman main adikku di rumah- banyak
yang berasal dari keluarga yang berantakan, akrab dengan kata kasar dan gaya
hidup suka nongkrong, putus sekolah karena kurangnya biaya, dan sebagainya.
Waktu itu, aku masih
agak menentang paranoidnya mamah. Aku bilang, dia sekolah di SDIT, pulangnya
sore. Main sama mereka Cuma sebentar, paling habis jamaah Magrib. Berapa lama
sih? Aku pikir, itu akan menambah kemampuannya bersosialisi. Dulu, waktu kecil,
aku sekolah di Pejagoan. Namun, lepas pulang sekolah, aku lebih sering
menghabiskan waktu di tempat nenekku di Sruweng (berjarak sekitar 5 km dari
rumah). Pulang sudah malam. Jadi, aku merasa kurang dekat dengan anak-anak di
lingkungan rumahku sendiri. Jadi, aku berusaha tidak melakukan hal yang sama
kepada Daffa.
Menginjak masuk SMP,
Daffa masuk ke SDIT di Yogyakarta. Namun, di sana dia hanya setahun.
Kedewasaannya untuk tinggal jauh dari orangtua dan bertanggungjawab pada
dirinya sendiri ternyata belum sepadan sama jumlah usianya. Kami sekeluarga,
sepakat memindahkannya sekolah di Kebumen saja. Dan…karena satu dan lain hal,
dia harus masuk ke SMP swasta di rumah.
Saya tidak pernah
menyalahkan sekolah itu atas kemampuannya mendidik siswanya. Saya percaya
mereka telah melakukan yang terbaik. Namun di sana, pergaulan adikku semakin
tidak menentu. Dia sering sekali main dan nongkrong sampai malam –bahkan larut
dan tidak pulang semalaman. Dia sudah kenal merokok dan mungkin mencicipi
minuman keras, kata-kata kotor, bolos sekolah dan beberapa hal lainnya.
Beberapa foto-foto yang beredar di FB-nya bercerita banyak.
Tak terhitung berapa
kali mamah dibuat emosi dan berakhir dengan tangis, soal mendidik Daffa.
Bapakku- yang memang agak cenderung lebih kalem walaupun POLRI- juga sepertinya
sudah kewalahan. Akupun, jujur sudah beberapa kali kehilangan kendali, soal
Daffa. Puncaknya terjadi beberapa kali, pernah waktu dia mogok sekolah sampai
dua minggu. Atau kecelakaan motor yang terjadi akhir tahun kemarin. Kecelakaan itu membuatnya patah tulang
lengan, gigi rontok dan luka di sepanjang punggung. Malam itu, usai main (di
hari sekolah), dia dan temannya memang berencana pulang. Mereka boncengan
bertiga, disinyalir, yang paling depan sedikit mabok.
Semenjak saya memiliki
adik-yang berjarak sekitar 13 tahun- saya sebenarnya menganggap dia sebagai
semacam latihan bagaimana mendidik anak kelak. Walaupun mulai terpisah jarak
semenjak saya harus kuliah di Purwokerto –dan kemudian merantau di Jakarta-
saya masih merasa dekat. Tiap kali pulang, 80% waktu saya biasanya di rumah.
Salah satu momen yang saya rindukan, adalah nonton tivi atau bermalasan
dengannya di kasur. Itu dulu, setelah besar dan doyan main, dia lebih sering
menghindar dan main sendiri.
Saya jujur bingung dan takut. Takut sekali akan apa yang sudah diperbuat, dipikir dan akan dilakukannya kelak. Saya sekarang sudah merasa jauh sekali dengannya, dan layaknya anak puber, dia selalu berontak. Nasehat dan petuah tidak pernah didengarnya lagi. Bahkan dia sepertinya sudah muak. Namun, segala aturan dan norma-khususnya agama- seperti luntur dan tidak berbekas.
“Mamah Cuma berharap
dimanapun dia pergi main, dia selalu ingat sholat lima waktu. Setidaknya, kalau
dia masih ingat sholat, itu akan jadi semacam benteng buat dia menentukan baik
buruk,. Namun sekarang, mamah sudah tidak yakin lagi. Dia sering pergi pakai
celana pendek,” ujar mamah suatu kali.
Akhir-akhir ini,
YaAllah, saya merasakan kecemasan dan kekhawatiran yang semakin menggelegak ke
tenggorokan. Saya membayangkan wajah muda, polos dan kesakitannya setelah
kecelakaannya. Dan saya sama sekali tidak siap melihat muka itu lagi dalam
waktu dekat. Bukan…bukan itu yang saya firasatkan. Namun, lebih kepada
pergaulannya yang semakin tidak jelas.
Apakah ini salah saya?
Yang memilih meninggalkan rumah sehingga dia tumbuh sendiri? Apakah salah saya
juga yang mempercayakan sepenuhnya kemampuannya memilih teman? Inikah yang
disebut salah pergaulan dan lingkungan bermain?
Saya takut. Doa saya
dalam sholat tadi, “Ya Allah, lindungilah dia. Berkatilah dan beri keselamatan
dan cahaya baginya. Berikan kami kesabaran dalam menghadapi ujian ini. Jangan
beri kami cobaan yang kami tahu, kami takkan mungkin sanggup menanggungnya”.
Mudahkan jalan dia untuk kembali ke jalanMu ya Rabb…
Komentar
Posting Komentar