Ketika Kredibilitas Lembaga Keuangan Dipertaruhkan
OJK terus merevisi dan menambah aturan main
bagi lembaga keuangan dalam hal perlindungan nasabah. Meski begitu, fraud terus
terjadi di sektor ini.
Lembaga keuangan bisa
jadi adalah jenis industri yang paling ketat dan terhadang banyak aturan.
Bagaimana tidak, fungsinya dalam masyarakat untuk mengumpulkan dan menyalurkan
dana, sangat rentan risiko. Oleh karena itu, tak heran di setiap langkahnya, lembaga
keuangan harus selalu menjalankan prinsip kehati-hatian.
Dalam hal ini,
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator juga terus melakukan pembenahan
dan penyempurnaan aturan untuk memitigasi risiko itu. Kepentingan nasabah,
bagaimanapun adalah hal pertama dan utama.
Rambu-rambu yang
tertuang dalam Peraturan OJK nomor 1/ POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, menjadi harga mati bagi lembaga keuangan dalam
menawarkan produknya. Sejumlah aturan
lain yang digunakan untuk memperjelas aturan ini, juga terus ditelurkan otoritas.
Sebut saja misalnya penerbitan Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan Nomor12/SEOJK.07/2014 tentang Penyampaian Informasi dalam rangka
Pemasaran Produk dan atau Layanan Jasa Keuangan yang diterbitkan OJK pertengahan tahun 2014 lalu. Lewat SE ini,
otoritas dengan tegas melarang penawaran produk lembaga keuangan lewat telepon,
kecuali sudah mendapatkan persetujuan nasabah.
Pun demikian, fraud (kecurangan) yang mengakibatkan kerugian- khususnya dari
pihak nasabah- tidak berarti tidak ada. OJK justru mencatat, dibandingkan tahun
2013, jumlah aduan tentang layanan lembaga
keuangan terus terjadi. Otoritas mencatat, sepanjang tahun 2014 lalu, ada 2.197
pengaduan yang dilaporkan ke dalam layanan terintegrasi OJK. Sedangkan di tiga
bulan lalu, laporan pengaduan yang sudah masuk ke OJK sebanyak 308. Lembaga
perbankan, adalah lembaga yang paling banyak mendapatkan keluhan layanan,
disamping asuransi, pembiayaan, dan lainnya.
Otoritas memang harus
benar-benar tegas dalam mengatur dan merespon laporan dari masyarakat ini.
Pasalnya, disamping fungsinya yang sakral dalam pembangunan ekonomi masyarakat,
kredibilitas lembaga keuangan menjadi satu hal yang dipertaruhkan di sini.
Apalagi, lembaga OJK sedang masif mengkampanyekan gerakan inklusi keuangan.
Saat ini, lewat gerakan ‘Laku Pandai’ misalnya, adalah gerakan yang mendekatkan
lembaga keuangan –khususnya perbankan- kepada nasabahnya.
Ternyata begini logonya. Hihi |
Lembaga keuangan itu
bukan lagi lembaga yang mewah dan ekslusif, tapi adalah lembaga yang selalu ada
di tengah semua lapisan masyarakat. Apa jadinya bila dalam kampanye ini, yang
terjadi justru sebaliknya? Bagaimana bila mereka justru malah mencurangi atau
mencederai kepercayaan nasabahnya sendiri? Pasti akan kalang-kabut.
Seiring dengan semakin
majunya teknologi, fraud yang terjadi
di lembaga keuangan terus saja terjadi dan mengalami pembaruan. Sistem dan
teknologi yang sudah ada untuk mengantisipasi fraud, ternyata memiliki celah
terjadinya fraud. Belakangan ini, terjadi misalnya kasus fraud yang berhubungan dengan e-commerce.
Seorang hacker di Yogyakarta ternyata bisa saja berbelanja online tanpa
membayar. Si toko online tersebut seperti mendapat laporan dari perbankan bahwa
tagihannya sudah dibayar, sehingga barangpun dikirim. Padahal, rekeningnya di
perbankan tidak kurang sepeserpun. Dalam mengatasi hal ini, OJK sampai harus
menggandeng beberapa otoritas lain seperti Kepolisian dan juga Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Kasus Tjho Winarto;
nasabah Bank Permata yang rekeningnya dibobol Rp245 juta juga patut dicermati.
Bagaimana tidak, saat Winarto pergi menjalankan tugas dan telepon genggamnya
tidak aktif, tapi tahu-tahu rekening internet bankingnya melaporkan terjadi
transfer dana ke berbagai bank.
Beberapa kejadian lain
baru-baru ini terjadi dan berpotensi mencederai kepercayaan nasabah
terhadap lembaga keuangan seperti
misalnya investasi money game di
Manusia Membantu Manusia (MMM) dan juga kasus kurang modal dan juga transaksi
fiktif di PT Andalan Artha Advisindo (AAA Sekuritas) yang terjadi Desember 2014
lalu. Kasus yang terakhir ini, bahkan sampai sekarang masih belum jelas ujung
pangkalnya. Di dalam kasus MMM misalnya, OJK seperti terhambat untuk menentukan
apakah jenis investasi itu bodong karena melibatkan media internet dalam
merekrut nasabah. Padahal, internet adalah wewenang Kominfo.
Dalam menyikapi fraud seperti ini, diperlukan dua
langkah pencegahan dari dua sisi yang dilakukan secara masif dan berkelanjutan.
Dalam hal investasi misalnya, dari sisi edukasi konsumen, yang paling penting,
adalah bagaimana regulator harus bisa meyakinkan kepada nasabah konsep high risk high return. Jadi, kalau
memang nasabah menginginkan imbal hasil besar dalam kurun waktu singkat,
resikonya pasti besar. Bila lembaga keuangan tersebut tidak menyebutkan konsep
yang jelas bagaimana metode pengumpulan dana dan juga alat investasinya, tetapi
berani menjanjikan imbal hasil tinggi, maka harus diwaspadai. Pasalnya, dengan tingkat
pemahaman masyarakat Indonesia yang masih rendah dalam hal produk lembaga
keuangan, kejadian-kejadian semacam ini masih sering terjadi di masyarakat. Tidak hanya di kalangan bawah saja, tetapi di juga sampai kalangan
menengah dan atas. Mental selalu
ingin melewati jalur pintas dan cepat, semakin menambah suburnya hal ini
Sementara itu, dari
sisi aturan, regulator harus sering melakukan koordinasi dengan banyak pihak
yang terkait. Khususnya dari sisi teknologi. Dalam hal ini, fraud sering terjadi dengan
melibatkan orang di dalam lembaga keuangan tersebut. Kejadian fraud tersebut
juga saat ini lebih sering terjadi lewat media internet.
Atau di lembaga asuransi, sering terjadi kasus pengelembungan klaim dan
transaksi klaim fiktif.
Karena itu, monitoring secara periodik harus
sering dilakukan. Deteksi dini terhadap kemungkinan adanya
fraud, serta apakah ada kemungkinan bagi jenis-jenis fraud
baru bisa terjadi. Apalagi,sering juga terjadi bahwa pihak internal ikut andil
dalam fraud tersebut. Sikap jumawa,
sering berakibat senjata makan tuan bagi lembaga keuangan
itu sendiri.
Biar kelihatan pinter, hihi... Source: https://mukhsonrofi.wordpress.com |
Bagaimanapun juga
bisnis lembaga keuangan adalah bisnis jasa dimana kepercayaan nasabah menjadi
hal pertama dan utama. Sekali nasabah dicederai kepercayaannya, seumur hidup
ketidakpercayaan itu akan melekat di hati nasabah. Tentu kita sangat
menghindari hal ini.
Tersebutlah di suatu siang, Pak Bos menyuruh membuat tulisan semacam ini. Ajaib, bisa selesai dalam hitungan jam saja. Agak curiga ini enggak bakalan naik di media tempat saya bekerja, atau ditulis atas nama saya. Hihi...tapi whatever ini 100% karya saya. Jadi mesti ada di tempat ini dan naik duluan.
Hahaha....
Sekali lagi, dunia itu keras guys...
Komentar
Posting Komentar