Ketika Kredibilitas Lembaga Keuangan Dipertaruhkan




Source: http://felixhutapea.blogspot.com
OJK terus merevisi dan menambah aturan main bagi lembaga keuangan dalam hal perlindungan nasabah. Meski begitu, fraud terus terjadi di sektor ini.

Lembaga keuangan bisa jadi adalah jenis industri yang paling ketat dan terhadang banyak aturan. Bagaimana tidak, fungsinya dalam masyarakat untuk mengumpulkan dan menyalurkan dana, sangat rentan risiko. Oleh karena itu, tak heran di setiap langkahnya, lembaga keuangan harus selalu menjalankan prinsip kehati-hatian.

Dalam hal ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator juga terus melakukan pembenahan dan penyempurnaan aturan untuk memitigasi risiko itu. Kepentingan nasabah, bagaimanapun adalah hal pertama dan utama.

Rambu-rambu yang tertuang dalam Peraturan OJK nomor 1/ POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, menjadi harga mati bagi lembaga keuangan dalam menawarkan produknya.  Sejumlah aturan lain yang digunakan untuk memperjelas aturan ini, juga terus ditelurkan otoritas. Sebut saja misalnya penerbitan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor12/SEOJK.07/2014 tentang Penyampaian Informasi dalam rangka Pemasaran Produk dan atau Layanan Jasa Keuangan yang diterbitkan OJK pertengahan tahun 2014 lalu. Lewat SE ini, otoritas dengan tegas melarang penawaran produk lembaga keuangan lewat telepon, kecuali sudah mendapatkan persetujuan nasabah.

Pun demikian, fraud (kecurangan) yang mengakibatkan kerugian- khususnya dari pihak nasabah- tidak berarti tidak ada. OJK justru mencatat, dibandingkan tahun 2013,  jumlah aduan tentang layanan lembaga keuangan terus terjadi. Otoritas mencatat, sepanjang tahun 2014 lalu, ada 2.197 pengaduan yang dilaporkan ke dalam layanan terintegrasi OJK. Sedangkan di tiga bulan lalu, laporan pengaduan yang sudah masuk ke OJK sebanyak 308. Lembaga perbankan, adalah lembaga yang paling banyak mendapatkan keluhan layanan, disamping asuransi, pembiayaan, dan lainnya.

Otoritas memang harus benar-benar tegas dalam mengatur dan merespon laporan dari masyarakat ini. Pasalnya, disamping fungsinya yang sakral dalam pembangunan ekonomi masyarakat, kredibilitas lembaga keuangan menjadi satu hal yang dipertaruhkan di sini. Apalagi, lembaga OJK sedang masif mengkampanyekan gerakan inklusi keuangan. Saat ini, lewat gerakan ‘Laku Pandai’ misalnya, adalah gerakan yang mendekatkan lembaga keuangan –khususnya perbankan- kepada nasabahnya. 


Ternyata begini logonya. Hihi
Lembaga keuangan itu bukan lagi lembaga yang mewah dan ekslusif, tapi adalah lembaga yang selalu ada di tengah semua lapisan masyarakat. Apa jadinya bila dalam kampanye ini, yang terjadi justru sebaliknya? Bagaimana bila mereka justru malah mencurangi atau mencederai kepercayaan nasabahnya sendiri? Pasti akan kalang-kabut.

Seiring dengan semakin majunya teknologi, fraud yang terjadi di lembaga keuangan terus saja terjadi dan mengalami pembaruan. Sistem dan teknologi yang sudah ada untuk mengantisipasi fraud, ternyata memiliki celah terjadinya fraud. Belakangan ini, terjadi misalnya kasus fraud yang berhubungan dengan e-commerce. Seorang hacker di Yogyakarta ternyata bisa saja berbelanja online tanpa membayar. Si toko online tersebut seperti mendapat laporan dari perbankan bahwa tagihannya sudah dibayar, sehingga barangpun dikirim. Padahal, rekeningnya di perbankan tidak kurang sepeserpun. Dalam mengatasi hal ini, OJK sampai harus menggandeng beberapa otoritas lain seperti Kepolisian dan juga Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Kasus Tjho Winarto; nasabah Bank Permata yang rekeningnya dibobol Rp245 juta juga patut dicermati. Bagaimana tidak, saat Winarto pergi menjalankan tugas dan telepon genggamnya tidak aktif, tapi tahu-tahu rekening internet bankingnya melaporkan terjadi transfer dana ke berbagai bank.
 
Beberapa kejadian lain baru-baru ini terjadi dan berpotensi mencederai kepercayaan nasabah terhadap  lembaga keuangan seperti misalnya investasi money game di Manusia Membantu Manusia (MMM) dan juga kasus kurang modal dan juga transaksi fiktif di PT Andalan Artha Advisindo (AAA Sekuritas) yang terjadi Desember 2014 lalu. Kasus yang terakhir ini, bahkan sampai sekarang masih belum jelas ujung pangkalnya. Di dalam kasus MMM misalnya, OJK seperti terhambat untuk menentukan apakah jenis investasi itu bodong karena melibatkan media internet dalam merekrut nasabah. Padahal, internet adalah wewenang Kominfo.

Dalam menyikapi fraud seperti ini, diperlukan dua langkah pencegahan dari dua sisi yang dilakukan secara masif dan berkelanjutan. Dalam hal investasi misalnya, dari sisi edukasi konsumen, yang paling penting, adalah bagaimana regulator harus bisa meyakinkan kepada nasabah konsep high risk high return. Jadi, kalau memang nasabah menginginkan imbal hasil besar dalam kurun waktu singkat, resikonya pasti besar. Bila lembaga keuangan tersebut tidak menyebutkan konsep yang jelas bagaimana metode pengumpulan dana dan juga alat investasinya, tetapi berani menjanjikan imbal hasil tinggi, maka harus diwaspadai. Pasalnya, dengan tingkat pemahaman masyarakat Indonesia yang masih rendah dalam hal produk lembaga keuangan, kejadian-kejadian semacam ini masih sering terjadi di masyarakat. Tidak hanya di kalangan bawah saja, tetapi di juga sampai kalangan menengah dan atas. Mental selalu ingin melewati jalur pintas dan cepat, semakin menambah suburnya hal ini

Sementara itu, dari sisi aturan, regulator harus sering melakukan koordinasi dengan banyak pihak yang terkait. Khususnya dari sisi teknologi.  Dalam hal ini, fraud sering terjadi dengan melibatkan orang di dalam lembaga keuangan tersebut. Kejadian fraud tersebut juga saat ini lebih sering terjadi lewat media internet. Atau di lembaga asuransi, sering terjadi kasus pengelembungan klaim dan transaksi klaim fiktif.
 Karena itu, monitoring secara periodik harus sering dilakukan. Deteksi dini terhadap kemungkinan adanya fraud, serta  apakah ada kemungkinan bagi jenis-jenis fraud baru bisa terjadi. Apalagi,sering juga terjadi bahwa pihak internal ikut andil dalam fraud tersebut. Sikap jumawa, sering berakibat senjata makan tuan bagi lembaga keuangan itu sendiri.
Biar kelihatan pinter, hihi... Source: https://mukhsonrofi.wordpress.com

Bagaimanapun juga bisnis lembaga keuangan adalah bisnis jasa dimana kepercayaan nasabah menjadi hal pertama dan utama. Sekali nasabah dicederai kepercayaannya, seumur hidup ketidakpercayaan itu akan melekat di hati nasabah. Tentu kita sangat menghindari hal ini.



 Latar Belakang kisah:

Tersebutlah di suatu siang, Pak Bos menyuruh membuat tulisan semacam ini. Ajaib, bisa selesai dalam hitungan jam saja. Agak curiga ini enggak bakalan naik di media tempat saya bekerja, atau ditulis atas nama saya. Hihi...tapi whatever ini 100% karya saya. Jadi mesti ada di tempat ini dan naik duluan. 
Hahaha....


Sekali lagi, dunia itu keras guys...

Komentar