Menilik Asuransi; Dunia Baru Saya



Guys, beberapa hari ini pulang malam terus dan enggak menyempatkan diri untuk ngisi halaman ini lagi. Apalagi ditambah kejadian pas udah ngetik panjang lebar di notepad itu dan dengan gampangnya ilang. Males banget ngebayanginnya. 

Ok, lets say Thanks God Its Friday, first. Karena walaupun Selasanya libur, minggu ini terasa berat. Halah!

Semalam, dateng ke acara kantor; Banking Service Excellent 2015 di Ritz Carlton Pacific Place. Banyak bankir yang datang. Dan cukup dikejutkan dengan angka yang disebutkan oleh orang iklan tentang berapa yang harus dikeluarkan dua bank besar untuk menjadi sponsornya. Satu bank pelat merah pita kuning dan juga bank asal Australia dimana aku menjadi nasabahnya. Hihihi…di dunia bisnis sekarang ini guys, ‘kesan’ dan gengsi itu sangat perlu demi mendapatkan profit yang lebih besar. Tapi bener saja, setidaknya ada 350 orang datang semalam.


Penampakan jauh acara Banking Service Excellent semalam. Pak Eko -dirut- sedang bicara di depan 

Tentang Asuransi dan Tantangan Bisnis

Tapi, bukan itu si yang mau aku ceritain di sini. Karena tulisan yang kemarin ilang, aku pengen jadi ngegabungin aja dua narsum asuransi yang ketemu kemarin bareng tim redaksi. Yang tadi aku temuin itu Pak Hendrisman Rahim; Dirut Jiwasraya dan juga ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) dan juga Budi Herawan, ketua bidang statistika Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI)-kalau enggak salah.

Pak Hendrisman si lebih banyak update tentang kinerja asuransi jiwa 3 bulan terakhir. Naik, pasti. Khususnya dari kontribusi pendapatan premi baru, sekitar 28%. Targetnya, sepanjang 2015, secara industri akan ada kenaikan pertumbuhan premi sekitar 15-20%. Namun lucunya, dari 50 anggota AAJI, kenaikan ini ternyata hanya didorong oleh 10 perusahaan saja. 40-an lainnya, hanya mengekor dan tumbuh fluktuatif tergantung musim. Banyak yang tidak tumbuh atau hanya tumbuh lima persen saja. Kalau begitu, berarti pasarnya tidak terlalu berbeda jauh dengan perbankan. Dari sekitar 118 bank umum di Indonesia, si decision maker yang berpengaruh pada bunga kredit dan simpanan paling hanya lima bank besar itu. Jadi, kalau mereka udah naikin atau  nurunin duluan, sudah pastilah yang lain tidak bisa berbuat banyak kecuali nderek mawon.

Yang paling menarik, soal sinergi BUMN. Ada ratusan juga BUMN di Indonesia, tapi koordinasi antarperusahaan milik negara ini, kata dia, bisa dibilang minim. Sampai saat ini, Jiwasraya itu misalnya, hanya mengcover asuransi jiwa dan jaminan hari tua dari setidaknya 50% saja dari asosiasi karyawan BUMN. Kenapa tidak disuruh saja semuanya bergabung?


“Pengalaman kita, justru berjualan dengan saudara sendiri itu ternyata lebih sulit,” begitu kata dia.


Wuaa…itu benar juga ya. Soalnya, kemarin baca status atau pesen siapa gitu, kutipannya pemilik Alibaba –Jack Ma- yang menyebut bahwa tidak peduli berapapun kamu menjual murah dan tidak mengambil untung pada sahabat atau keluargamu, mereka tidak peduli. “Kita akan selalu dianggap mengambil untung dari mereka. Jangan pernah berbisnis dengan saudara atau keluargamu,” begitu katanya.

Wuah…pesan yang bagus juga sebenarnya. Mengingatkan pada kita bahwa kalau memang kita ingin berbisnis seriius dengan keluarga, selalu pastikan bahwa semua perjanjian dan bentuk kerjasama itu jelas dan tertulis di atas kertas. “Business is business…Jangan pakai kata tidak enak,”. Begitu juga kata salah seorang pengajar di PPM Management dulu, waktu aku masih menulis artikel tips bisnis di Majalah Fortune Indonesia.

Dari Pak Budi Herawan, aku menggarisbawahi curhatannya dia tentang susahnya mencari SDM yang mumpuni di dunia asuransi Tanah Air

“Saya mencari kepala cabang, satu saja. Sudah enam bulan tidak ketemu-temu,” kata dia.

Dulu, mantan redaktur pelaksana saya di Okezone.com ; juga pernah mengeluhkan hal yang sama. Dia bilang, sepanjang tahun mereka membutuhkan karyawan baru, banyak. Namun, dari beberapa kali proses wawancara, begitu susah menemukan karyawan yang pas. Gak nemu-nemu.

Jadi, kadang saya berpikir, kalau BPS menyebut jumlah pengangguran itu semakin hari semakin besar saja jumlahnya, mungkin data itu  juga perlu dicermati ulang. Bisa saja, yang terjadi di lapangan adalah tidak bertemunya kesempatan kerja dengan orang yang sedang mencari dan mumpuni sesuai dengan kebutuhan industri.

Bagaimana tidak, kakak sepupu saya, setelah lulus Sarjana Ilmu Politik di salah satu universitas swasta di Yogyakarta, hampir delapan tahun nganggur. Tidak dapat pekerjaan katanya. Banyak si alasannya yang tidak bisa saya sebutkan di sini memang, tapi begitulah. Salah seorang rekan kuliah saya; juga mengalami hal yang sama. Hampir lima tahun nganggur setelah lulus sarjana. Apa otak mereka terlalu bebal atau pilih-pilih kerjaan? Saya juga tidak perlu menghakimi. Namun kabar baiknya, mereka sekarang memilih menjadi wirausaha. Pekerjaan mulia dan menjanjikan keberkahan dan kelancaran rezeki, serta memberdayakan ummat..

Mencari aktuaris; sebuah profesi yang bisa menghitung dan mengantipasi resiko produk keuangan (historical atau ke depannya) di Indonesia juga setengah mati susahnya. Padahal, ke depan, hampir setiap perusahaan asuransi harus memiliki aktuaris. Bayangin aja, dari hasil gugling sekilas tadi, di akhir 2013 jumlah aktuaris di Indonesia masih sekitar 200orang. Dan salah seorang rekan kemarin bilang kalau dalam beberapa tahun ke depan gitu, targetnya Indonesia harus punya sekitar 20 ribu aktuaris.

Rekan saya itu juga bilang, memang enggak mudah dan instan menjadi aktuaris. Biasanya sarjananya dari jurusan Matematika, terus sekolah Aktuaris sampai 8 tahun. Abis itu dia masih harus magang di asuransi jiwa selama beberapa waktu, baru deh jadi aktuaris. Lama…enggak cocok sama karakter masyrakat kita yang pengen semua serba cepat. Namun, tawaran gajinya juga menggiurkan. Minimal banget Rp20 juta. Si Bapak dari Aspan (milik PT Pelni) menyebut pernah aktuarisnya sudah disekolahkan dan digaji Rp50 juta memilih keluar ke kantor sebelah karena dibayar Rp20 juta lebih banyak. Hikz…banyak ya? (Nah kan, gini nih mikir enaknya doank kan?)

Guys, profesi aktuaris juga sangat penting di dunia asuransi. Masalahnya, ke depan, dia bilang potensi asuransi yang belum digarap itu masih besar banget. Sektor kemaritiman misalnya, infrastruktur; jalan tol, perumahan dan lainnya yang sedang digalakkan pemerintah, nelayan dan kelautan, petani dan pertanian, itu semua bisa dibilang belum tersentuh asuransi. Padahal, dimana ada ketidakpastian, maka akan bisa menjadi uang-dari premi asuransi yang dipungutnya.

Kesimpulannya, dalam keadaan ekonomi yang sesulit dan sesusah apapun, katanya, tidak usah pesimistis dan patah arang. Kesempatan, peluang dan ladang bisnis itu ada di semua tempat dan berbagai bidang di Indonesia. Asal kita mau sedikit out of the box dan bekreativitas; kalau kata Hermawan Kertajaya yang pakar marketing itu. 

Jangan putus asa. Jangan pesimis. Tetaplah berusaha dan memulai. Ini dia pesan pamungkasnya yang aku pikir harus dikutip


“Saya rasa sekarang, tugas BKPM itu bukan lagi gembar-gembor, kesana-kemari mencari investor asing. Bukan. Tugas mereka justru sebaliknya, bilang ke mereka (investor asing) nanti dulu masuknya. Tunggu dulu, biarkan perusahaan lokal berusaha dan berkembang. Karena kalau tidak begitu, nanti kita hanya menjadi konsumen di negeri kita sendiri."


 

Komentar