Saya Setuju Warung Makan Memilih Tidak Tutup Selama Ramadhan
Guys, minggu ini
ternyata adalah minggu deadline rubrik-rubrik nonfokus. Beban tulisanku mulai
banyak, atau mungkin aku yang enggak pernah nicil nulis dari kemarin2? Haha…Tapi
yang jelas, satu tulisan dua halaman mesti aku tulis untuk menutup aib kantor
kepada klien penting kantor. Demi kemaslahatan ummat. Hahaha…Yah, itung2 bayar utang
juga karena kemarin sempat ada salah ngutip nama direksi. Hehehe…
Jadi, di tengah
hantaman deadline itu (kembali lebay) aku pengen nulis pendapatku soal kabar
yang kembali heboh belakangan ini. Biasa heboh juga menjelang bulan Ramadhan
kayak begini. Ini linknya;
Iya, soal kontroversi
apakah warung mesti tutup di bulan Ramadhan. Ah…ayo donk. Sudah semenjak
beberapa tahun yang lalu, aku termasuk salah seorang yang sepakat banget sama
si bapak yang kata temen aku ini ganteng banget dan masih muda.
Muslim memang agama
mayoritas di negara ini. Bahkan, negara ini adalah penduduk muslim terbesar di
dunia. Tapi, aku pikir, karena kita terlahir sebagai Muslim dari kecil, lahir
dan besar di lingkungan mayoritas muslim-dan dalam kasusku belum pernah hidup
di negara lain dimana muslim menjadi minoritas- toleransi kita jadi masuk ke
level minus.
Kita biasa libur
panjang kalau lebaran, dimana hiruk pikuknya sudah kelihatan semenjak sebelum
Ramadhan. Mushola di dekat kosan saya di Tanah Abang, setiap hari sekitar jam
04.00 WIB selalu menyetel murotal Al-Quran keras-keras, dan sebagainya, dan
sebagainya. Saya sendiri, jujur merasa tidak keberatan dengan hal ini.
Bagaimanapun, semalam apapun saya tidur, saya selalu terbangun dengan suara
ini. Alarm otomatis buat saya. Namun, bila saya boleh bicara sebagai manusia
bermasyarakat, saya lebih memilih agar kegiatan rutin ini dihilangkan saja.
Waktu dulu adik saya
yang semata wayang itu menginap di dekat kosan, dia langsung bangun di jam-jam
itu. Dia masih SMP kala itu. Saya ingat banget, waktu itu dia langsung bilang:
“Wah, ini enggak boleh
donk. Ini menganggu banget,” kata dia. Jujur saya kaget mendengar dia spontan
bilang begitu. Tapi come on guys, ini kan benar banget.
Nabi Muhammad SAW
selalu bilang bahwa Islam itu Rahmatan lil alamin; Rahmat bagi seluruh alam.
Itu berarti kan, seharusnya, kehadiran agama Islam seharusnya bisa menjadi
rahmat tidak hanya bagi ummat Islam sendiri tapi juga seluruh ummat manusia.
Setiap hari setiap
waktu, kalau kita selalu disibukkan dengan polemik; apakah warung harus tutup,
atau yang bagus yang mana? Tarawih 11 atau 21 rakaat; itu kita berarti stuck di
tempat. Menurut aku, silahkan aja warung buka selama bulan Ramadhan. Kita yang
puasa? Ya jalan terus saja. Kata Putut EA, kasihan banget iman kita kalau puasa
kita tergoda karena warung yang buka.
Kata salah seorang
ustadz, agama Islam juga bukan hanya agama ritual. Agama ini bukan hanya
sholat, puasa dan ngaji aja. Semua itu ritual. Ingat juga hadist ini;
“Sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi manusia lain”
That’s why, menurut
aku, di sini, konsep infaq dan sedekah misalnya, harus kita perlebar dan
perluas. Di aku, mungkin shalat ngaji dan puasanya udah dijalankan. Namun apa
esensi dan makna itu sudah kegambar dalam laku dan kehidupan pribadi? Apa
sedekah dan infaqnya sudah dijalankan benar-benar agar bisa bermanfaat
sebesar-besarnya bagi ummat?
Islam, di Indonesia,
mungkin masih dipahami dan dijalankan sebatas ritual. Namun belum masuk dan
melebar pada hal yang lebih luas. Kehidupan bermasyarakat dan bernegara
misalnya. Yang sering dikutip, kita muslim terbesar, tapi Kementerian Agama
adalah kementerian dengan jumlah korupsi paling besar. Itu kan miris.
Begini nih nanti sweepingnya? Ih, menurutku sih memalukan |
Dijalankan donk
perlahan-lahan dan sedikit-sedikit. Warung kalau mau tutup ya silahkan saya, tapi jangan memaksakan dengan kata harus donk ya. Kalau kekeuh sumekeuh beranggapan harus tutup juga, apa juga kalian enggak liat lanjutan surah Al-Baqara;185? Kita, sebagai Muslim emang wajib puasa. Itu sudah tidak bisa diganggu gugat. Tapi Allah SWT memberi dispensasi bagi yang haid, hamil, manula, menderita penyakit atau musafir. Ya kalau Allah SWT saja memberikan kelonggaran, memberikan kemudahan. Masa kita mau kekeuh semua orang harus puasa atau makan di bagian terdalam rumah kita kalau kita termasuk bagian dari kaum yang didispensasi itu.
Kita hidup berdampingan dengan mereka yang enggak puasa; baik tidak
mampu maupun nonIslam. Rosul kan juga mengajarkan pada kita untuk melindungi
hak orang-orang di luar Islam? Sejarah nabi yang mana yang menyebut bahwa
teladan kita itu –atau juga penerusnya- pernah membantai nonIslam? Ada juga
malah dilindungi dan dijaga.
Bukankah itu juga
dakwah terbaik dan termudah? Menjadi humas –istilah saya- bagi Islam untuk
menyebarkan dan memberi contoh bahwa kita agama terbuka dan toleran. Menurut
aku, dakwah itu lebih mudah dibandingkan dengan dakwah panjang menyitir banyak
ayat Quran atau menyedehkan miliaran rupiah. Meskipun, saya tegaskan juga,
bahwa dua langkah dakwah itu juga tidak penting. Cuma kan cara ini lebih mudah
dan bisa dilakukan setiap muslim.
Jadi, ayolah, kita
buka pikiran kita lebar-lebar. Tutup semua perdebatan enggak penting. Ummat
membutuhkan curahan hati, perhatian dan dana kita yang lebih besar untuk
sesuatu yang lebih penting. Karena katanya, musuh kita sekarang adalah
kebodohan dan ketidaktahuan. Termasuk ketidaktahuan untuk mengerti dan memahami,
apa dan bagaimana bersikap di tengah masyarakat yang serba berbeda ini.
Anyway, Selamat mempersiapkan sebaik-baiknya untuk Ramadhanmu Guys,
Komentar
Posting Komentar