Kemana Bisnis akan Bertiup di 2018


Yuswohady, The Rise of Leisure

Beberapa waktu lalu, saya menghadiri sebuah forum entrepenur tentang marketing outlook 2018. Kerja sekaligus menuntut ilmu. Pembicaranya Pakar Manajemen Yuswohady, Pendiri Filosofi Kopi Handoko Hendroyono dan VP Brand & Communication Panorama Group AB Sadewa.


 

Dalam paparannya yang bisa kamu unduh di sini, Yuswohady menyebut bisnis ke depan akan terbagi menjadi dua kubu: digital dan leisure. Beberapa tulisan saya mengenai acara ini, sudah saya tulis di sini. Saya juga menjabarkan alasannya

BlueBird (BIRD) sering mengeluh kehadiran taksi online seperti GoJek dan Grab. Setahun lalu, mereka bahkan dituding mendalangi aksi mogok dan demo besar-besaran di jalan. BIRD meminta adanya keadilan pada pemerintah. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) meresponsnya dengan membuat beberapa aturan seperti wajib uji kendaraan dan juga tarif. 

Milenial ini memang konsumen aneh


BIRD dianggap tidak tanggap disrupsi. Bukankah kita tidak bisa imun terhadap kemajuan teknologi? Laporan keuangan BIRD berdarah-darah. Saingannya, Express, juga dikabarkan telah melakukan PHK karyawan. Apakah BIRD akan hancur di tangan generasi keduanya?

Menurut Yuswohady tidak. BIRD, sang market leader, pasti akan melawan. Mereka memperbaiki sistem reservasi online dan aplikasinya. Saya pernah mencobanya, memang memudahkan. Sama persis dengan taksi online termasuk perkiraan harganya. Purnomo Prawiro, Dirut BIRD, dan jajarannya mengunjungi Redaksi Bisnis Indonesia. Beberapa hari setelah itu, beritanya di-running. Salah satunya, bagimana mereka ingin masuk ke berbagai bisnis baru seperti angkutan karyawan (commuter) dan bandara. Mereka juga mengumumkan telah mendapatkan dana dari perbankan, jumlahnya Rp1 triliun. 

↠↠↠↠↠↠↠↠↠↠↠↠↠


Founder Filosofi Kopi

Tahun depan, ke sanalah bisnis akan berjalan. Grab tidak bisa memaksakan kultur dan standar pelayanan yang sama kepada pelanggannya. Setiap orang yang memiliki mobil dan waktu luang bisa menjadi sopir Grab. Jadi, kamu bisa ketemu dengan sopir Grab yang rapi dan sopan sepulang kerja. Tapi bisa juga ketemu mas-mas kurang sopan, mengenakan kaos dan celana pendek serta songong. Sebaliknya, di Blue Bird, standarnya sama. Masuk taksi, ada sapaan ramah, sopir berseragam dan raja jalan, termasuk jalan-jalan tikusnya.

"Berpuluh-puluh tahun, penelitian menyebutkan tidak ada perusahaan yang gulung tikar karena teknologi. Bukan karena teknologi tapi karena tidak adanya kultur perusahaan," kata Siwo, panggilan akrabnya. 

BIRD, menurut Siwo, akan berubah menjadi perusahaan yang berbasis pelayanan, pengalaman dan kepuasan pribadi. Bahasa kerennya, defining moment. Dia memasang harga pelayanan lebih tinggi tentu. Sedangkan Grab dan Gojek akan bergerak pada ranah massal, hanya menyelesaikan masalah dan tentu saja murah. 

Ibarat kopi, mereka adalah Kapalapi. Murah, per sachet hanya Rp2ribu. Starbucks di level dua karena menjuala tempat dan prestise. Gelombang ketiga adalah Filosofi Kopi, Anomali dan kopi-kopi artisan lainnya. Dia tidak hanya menawarkan kopi dan tempat, tetapi juga membawa misi. Mensejahterakan petani kopi nasional misalnya, seperti yang dibawa Filosofi Kopi.

“Di level ketiga inilah yang menawarkan marjin paling tinggi,” lanjutnya. 

Hendroyono sepakat. Dia memperlakukan Filosofi Kopi sebagai start-up dengan film dan kedai kopi sebagai konten utama. Karena itu, sekarang, dia mengembangkan dan membuat konten lain seperti VivaBarista (sekolah barista) dan YoutubeChannel tentang perjalanan kopi di berbagai daerah. 

“Yang penting, pesan yang kita bawa kuat dan universal. Kita ingin mengangkat berbagai kopi daerah dan juga memperbaiki kesehjahteraan petaninya,” katanya. 

AB Sadewa, Mencoba Bertahan di bisnis Agen Travel


VP Brand & Communication Panorama Group AB Sadewa juga memaparkan hal yang mirip. Dia bilang, Panorama Tours sempat resah dengan boomingnya situs perjalanan seperti Traveloka, Tiket, Airy Rooms, AirBnB dan sebagainya. Bagaimana tidak, dulu, kalau orang mau jalan-jalan, pasti pergi ke biro travel. Tiket pesawat, hotel dan akomadasi semua diurusnya. Marjinnya tebal. Sekarang tidak lagi. 

Mereka masuk juga ke pasar itu. Membuat aplikasi dan menyediakan marketplace. Kurang diterima pasar, kata AB. Sampai sekarang, program itu masih jalan.

“Tapi, kita juga memang akan lebih menyasar pasar yang premium. Kita tampilkan ciri khas dan pelayanan lebih dibandingkan Traveloka dan sebagainya. Tidak kita pungkiri, pasar itu memiliki marjin yang lebih tebal,” sebutnya. 

Jadi, apa yang paling penting dalam bisnis ke depan?

Punya visi dan misi aja. Bisnis yang besar dengan produk massal belum tentu menghasilkan banyak marjin. Justru bisnis artisan yang kecil-kecil, tetapi dengan konsep dan pesan yang jelas, justru menawarkan lebih. Dia justru dapat menantang eksistensi sang Raja sekalipun.


Komentar