Galau dan Risau, Adakah Saat Terbaik untuk Resign?

 
Foto: Shutterstock




Selama enam tahun masa kerja profesional, saya telah tiga kali berganti kantor. Bulan April 2011, saya mengawali karier profesional saya sebagai wartawan di Okezone.com (MNC Media). Dua tahun kemudian, saya mengundurkan diri dan pindah ke Majalah Fortune Indonesia. Fortune Indonesia berada di bawah payung besar Gramedia of Magazines (GoM).




Saya merasa nyaman di sana tetapi manajemen tidak. Oktober 2014, manajemen Kompas menutup sembilan unit bisnisnya, termasuk Fortune. Saya di PHK. Masa-masa galau dan kalut. Syukur, saya bisa melaluinya.

Februari 2015, saya masuk Infobank. Sebelumnya, saya menyempatkan diri belajar dan bertualang di Jawa Timur. Di Infobank, saya bertahan dua tahun. Maret 2017 lalu, saya kembali mengundurkan diri. Bulan Mei 2017, saya bergabung dengan Beritagar.id.

Dalam suatu kesempatan reuni bersama teman-teman semasa aktif di Pers Mahasiswa dulu, seorang menyebut saya anak milenial banget. Mengapa? Pindah-pindah kerja seperti kutu loncat. Keluarga saya sebenarnya juga memiliki pandangan yang sama. Mereka tidak melihat karakter milenial sama sekali.

Mungkin ,sebenernya justru mereka mikir. "Ini anak sebenarnya maunya apa sih? Ngejar apa?" pantes enggak nikah-nikah, ngejar karier terus (kalau diteruskan mungkin akan begitu)

Suatu kali, saya dan redaktur di Fortune Indonesia mewawancarai Elia Massa Manik. Sekarang, Elia menjabat sebagai Dirut Pertamina. Dulu, dia menjabat sebagai dirut PT Elnusa Tbk, salah satu anak usaha Pertamina. Redaktur saya, menulis feature sepanjang delapan halaman tentang tangan dinginnya mengubah perusahaan sakit menjadi sehat.

Di Elnusa, dia memangkas banyak order untuk memperbaiki keuangan. Dia hanya memilih pekerjaan yang benar-benar bisa dilakukan. Dengan begitu, meski pendapatannya berkurang drastis, labanya menghijau. Setiap minggu, dia keliling Indonesia. Elia mengecek kondisi asrama karyawan.

"Bagaimana kita memberikan pelayanan yang baik kepada klien kalau tidak tahu cara memperlakukan karyawan sendiri?" katanya.

Selain kemampuannya memperbaiki perusahaan, Elia juga seorang kutu loncat. CV-nya panjang sekali. Kalau selama lima tahun saya hanya bergerak di industri media, Elia tidak. Dia pernah bekerja di Palyja, migas, pelabuhan dan sebagainya. Satu perusahaan, tidak pernah lebih dari lima tahun. Mungkin mirip Robby Djohan atau Ignasius Jonan. Kami bertanya, "Apa yang membedakan seorang kutu loncat dengan seorang pendaki?"

Tentu saja berbeda, katanya. Kutu loncat biasanya hanya berpindah mengejar jabatan atau gaji. Pendaki bukan. Dia mengaku selalu tertantang pada hal-hal baru. Setelah selesai menyelesaikan satu pekerjaan, dia juga mudah bosan. Karena itu, dia memilih mencoba hal baru dan pindah. Masuk ke satu industri yang sama juga terlalu mudah baginya.

Apakah saya terinspirasi dan mengikuti jejaknya? Jauh sekali. Sama seperti kecantikan saya dan Song Hye Kyo. Haha... Meski begitu, entah kenapa, saya sering dikelilingi teman-teman yang gundah bin galau. Bukan saja karena lama menanti sang pangeran yang tiada kunjung turun dari kuda jingkraknya, tetapi karena dilema kariernya. Sudah merasa stuck di posisinya sekarang. Tidak berkembang. Bermasalah dengan atasan dan rekan kerja. Manajemen yang amburadul. Gaji yang tidak naik-naik (sementara berat badan dan hedonisme semakin naik) dan alasan-alasan lainnya.

Karena itu, sebagai seseorang yang sudah tiga kali mengalami hal yang sama denganmu, saya ingin membagi tips. Selain dari pengalaman, saya juga menambahkan dari beberapa artikel manajemen dan karier yang pernah saya baca (biar rada ilmiah dikit). Catet deh,:

Posisi Terbaik dan Terburuk

Bila sudah tidak betah atau nyaman di kantor, langkah terbaik tentu saja resign. Namun, saya selalu bilang, "Resign adalah jalan terbaik atau termudah." Kalau merasa sudah ada tujuan, pelajaran, kesempatan karier di tempat kerjamu sekarang, ya resign saja. Buat apa bertahan?

Namun, kalau kamu merasa masih mendapatkan sesuatu dari sana. Uang, pelajaran, pengembangan karier, silahkan bertahan. Kalau hanya ribut atau tidak suka dengan atasanmu, percayalah. Di manapun kerja, kamu akan selalu menemui orang dengan karakter-karakter tersebut.

Posisi terbaik, tentu saja menemukan pekerjaan lain yang lebih baik. Meminjam istilah teman saya, menemukan kapal pesiar yang lebih besar dan mewah. Benar juga. Mengapa hanya puas berlayar dengan sekoci kalau dapat menempuh perjalanan dengan kapal pesiar? Haha...Dengan begitu, kamu bisa menepuk dada ke atasan atau rekan kerja di kantor lama. "Gue gitu loh, jangan disepelekan." Wkwk...Astagfirulloh, ngajarin yang enggak bener.


Resign Selalu Menawarkan Dua Hal: Peluang yang Lebih Baik atau Bertahan di Zona Nyaman


Terburuk?

Sudah enggak tahan? Merasa suasana kerjamu di kantor hanya menjadi racun? Tidak ada masa depan karier bersamanya? Puluhan lamaran kerja tidak juga dibalas? Ratusan wawancara tidak juga masuk ke tahap pinangan? #ehm.

Tiap hari merasa tidak bersemangat dan rutin saja menjalani kewajiban? Ya sudah, ajukan saja surat pengunduran diri. Sebelumnya, pastikan keuanganmu aman. Ya, masa mau minta orangtua lagi? Apa enggak malu? Monggo kalau enggak, aku sih malu pake banget. Wkwk...

Selesaikan dan bayar semua utang. Sesuai anjuran Perencana Keuangan, pastikan juga kamu memiliki dana darurat. Karena saya masih sendiri, besaran dana darurat minimal tiga bulan pengeluaran rutin. Masukkan dana tersebut dalam instrumen yang paling liquid seperti tabungan atau deposito.

Saya kemarin sih sudah menyiapkannya di tabungan lapis kedua (Duh, macem saya punya ratusan lapis tabungan ya? Hihi..). Catat semua pengeluaran rutin dan tekanlah. Kalau biasa ngopi di kafe seminggu sekali, ganti dengan Torabika Sachet. Biasa pake SKII, ganti dengan Laneige. Biasa beli tiga baju dan sepatu baru, kurangilah jadi satu saja. Wkwk... Yang penting, kebutuhan pokok terpenuhi.

Jangan Malu, Kontak Semua Rekanmu

Saya melakukannya setelah resign dari Infobank. Pekerjaan saya sekarang juga berasal dari jaringan pertemanan. Saya memperbaiki dan (mendadak) aktif di Linkedin. Saya mendadak akrab pada semua teman saya, bahkan yang biasa jarang berkomunikasi sekalipun.

Katakan saja kondisi sebenarnya dan bilang kamu butuh kerja. Karena takut enggak bisa hidup (mewah) di Jakarta, saya juga menurunkan standar pekerjaan. Saya menerima semua peluang mendapatkan uang, sekecil apapun itu. Prinsipnya, menolak rejeki di saat kepepet itu membuat rejeki besar menjauh. Kemarin, saya mendapatkan beberapa pekerjaan dengan skema paruh waktu. Bayarannya tidak besar dan sering telat, tapi cukup untuk beli pelembab baru waktu itu. Hahaha...

Kalau kamu memiliki mentor atau seseorang yang kamu merasa lebih sukses dan bijak, temuilah dia. Kalau jauh gimana? Astagfirulloh, zaman canggih kali. Ya WA, telepon, video call atau Skype. Ceritakan apa yang terjadi. Minta saran dan pendapatnya, sudut pandang baru dalam melihat sesuatu. Itu penting banget untuk memastikan bahwa kamu bukanlah yang terhebat di alam semesta ini (Superman kali ah!). Kalau perlu, jangan malu minta traktir.  Bilang kalimat sakti, "Bulan depan gue jobless nih, masa enggak kasihan?" Wkwk...


Kapan Waktu yang Terbaik untuk Resign? Ketika Kamu Sudah Yakin

Bismillah dan Jangan Pernah Melihat Ke Belakang

Saya tahu, memutuskan keluar dari satu pekerjaan selalu pertimbangan berat. Sebelum pindah dari Okezone, saya pernah kehilangan berat badan sampai 5kg. Galau sampai ubun-ubun. Wkwk...Tapi pas habis kena PHK, berat badan saya kenapa naik ya? Hihi

Jadi, kalau memang sudah mantap. Bismillah. Katakan alasan-alasanmu kepada HRD atau atasanmu. Ikuti semua prosesnya. Merasa perlakuan mereka berbeda dibandingkan sebelumnya? Alhamdulillah saya tidak mengalaminya. Namun, beberapa teman saya mengalaminya.

Apa yang harus dilakukan? Yakin saja. Jangan pernah melihat ke belakang dan berandai-andai. Kalau alasan resign-mu prinsip, jangan pernah mau menerima tawaran rujuk. Rujuk, ibarat menjilat kembali ludah. Ih, jijik kan?Wkwk

Sekali lagi, yakin saja, Allah SWT memiliki rencana dan rezeki yang lebih baik, besar dan indah. Kencengin doa, sholat-sholat sunnah, dzikir dan mengaji. Meski kita harus pelit terhadap diri sendiri, jangan pelit pada orang lain. Kencengin sedekah. Bukankah sedekah terbaik adalah saat sulit? Bukankah doa orang yang teraniaya tidak pernah ditolak?

Perlu Curhat pada Orang Tua?

Terserah bagaimana hubunganmu dengan orangtuamu. Perhatikan pula karakter orangtuamu. Apakah mereka tipe yang mudah khawatir dan cemas? Apakah memungkinkan kalau kamu terus menyembunyikannya? Karena saya di Jakarta dan orangtua saya di Kebumen, saya memilih untuk tidak menceritakannya. Saya resign dan pulang ke Kebumen. Hampir satu bulan.

Mereka pasti tanya, apa saya tidak kerja? Saya jawab sebenarnya. Tapi beruntung lagi, saya waktu itu masih memiliki kerja sampingan meski enggak besar. Orangtua saya (katanya) tidak khawatir kalau saya minta duit lagi. Bohong kali ya? Saya sih, makan enak gratis saja di rumah. Hihi...


Menghadapi Serangkaian Wawancara

Sabar dan ikuti semua proses wawancara yang datang. Jangan sombong dan pilih-pilih meski kamu sudah selangkah lebih profesional dibandingkan sebelumnya. Jangan telat datang juga.

Kalau panggilan belum datang, isi dengan sesuatu yang bermanfaat. Dalam masa tunggu saya sebelum masuk Infobank, saya hidup di kostan. Itu jujur, membosankan. Saya mengisinya dengan pergi ke perpusatakaan (soalnya nongkrong di kafe mahal), lari pagi keliling Monas dan masak-masakan. Karena sedang menggilai akun-akun beauty blogger, saya membaca semua review mereka (yang memang bikin keranjingan, kepengin beli dan praktik). Saya juga banyak membaca novel. Nulis blog? Males. Bawaaannya pengen curhat sampah mulu. Haha...

Apa lagi ya? Tentu saja berdoa, berdoa dan berdoa. Tugas kita bukanlah hanya mengayuh sampai tiba di tujuan? Semoga mendapatkan karier yang lebih bagus dibandingkan sebelumnya.


Terima Kasih sudah membaca.
  

Komentar