Umroh bersama NRA Travel, Menghabiskan Hari di RumahMU (4)
November 2017 lalu, Allah SWT mengizinkan saya dan keluarga mengunjungi rumahNya. Kami pergi umroh bersama NRA Travel selama sembilan hari. Ini salah satu perjalanan penting bagi saya karena ini pengalaman pergi jauh ke luar negeri pertama bersama keluarga. Saya menuliskan pengalaman ini dalam lima judul tulisan di sini.
Sudah selesai membaca bagian satu dan dua tulisan saya sebelumnya? Terima Kasih.
Hehe...
Kami tiba di Swissotel Al-Maqam Hotel sekitar pukul 20.00. Lepas bagi kunci kamar dan meletakkan koper kecil (koper ukuran bagasi), kami makan malam. Sebelum melakukan tawaf dan sai, kami melakukan Sholat Qashar Magrib-Isya di Masjidil Haram.
Sebelumnya, kami sempat melihat Kabbah dari jendela kamar di lantai 22. Rasanya tidak percaya, kami sampai dan begitu dekat dengan Masjidil Haram. Kiblat sholat kami yang selama ini hanya dilihat melalui sajadah dan Google. Airmata terus mengalir bersama dengan rasa syukur. Kami akan menuju rumahMu, berjalan berputar tujuh kali seperti yang diajarkan nabi Ibrahim dan Muhammad SAW.
Dari pintu masuk (kami masuk melalui pintu nomor-1, King Abdul Aziz Gate), kami turun satu lantai.
Setelah itu,
Subhanallah, Kabbah benar-benar menjelma nyata di depan saya. Rasanya benar-benar mengharukan. Saya dan orangtua bisa sampai ke rumah-Nya. Nikmat TuhanMu yang mana yang Kau dustakan?
Kami melakukan tawaf pertama kali waktu malam hari. NRA Travel melengkapi jamaahnya dengan headset untuk mempermudah membaca doa. Doanya panjang banget. Haha.. Merasa kurang sreg atau beda mazhab? Bebas. Matikan saja earphone dan berdoa sendiri. Saya percaya tidak ada doa yang tertolak di dua kota suci ini.
Kalau tidak langsung dikabulkan, DIA tahu mana yang terbaik sehingga menggantinya atau menahannya. Saya dan Mama sempat beberapa kali melakukan tawaf sunnah selama di Masjidil Haram. Ketika melakukannya, saya membaca doa-doa yang lebih pendek yang dibagikan Lik Nunung. Kalau tidak sempat membawa, baca saja Al-Quran.
Dalam suatu artikel yang saya baca, setiap tahun pemerintah Arab Saudi terus membangun dan memperbaiki kondisi Mekkah. Mereka sedang dalam proses menuju Visi Saudi 2030. Kemarin, bahkan saya baca bahwa Saudi sudah membuka bisnis bioskop. Di sana, bioskop akhirnya dibuka kembali setelah berhenti selama 35 tahun terakhir.
Salah satu target Saudi dalam VISI ini adalah melakukan diversifikasi pendapatan. Mereka tidak akan sepenuhnya menggandalkan penerimaan negara dari haji-umroh dan minyak bumi.
Mereka ingin seperti Dubai yang sudah bisa mendapatkan uang dari pariwisata. Namun, kondisi Mekkah bukannya tidak diperhatikan. Tahun ini, mereka memperluas dan memperbaiki sumur zam-zam. Akibatnya, hanya laki-laki yang berpakaian ihram saja yang bisa tawaf di depan Kabbah. Bagi perempuan, larangan ini tidak berlaku.
Tawaf di lantai satu masjid, meski lebih dingin dan sejuk, jaraknya menjadi sangat jauh. Pada tawaf perpisahan (wada), Bapak menyebut butuh waktu sampai dua jam untuk berputar tujuh putaran. Saya tidak mencoba karena Mama tidak kuat dan minta ditemani tawaf di bawah saja.
Kami berhasil menyelesaikan rangkaian umroh pertama kali pada tengah malam. Setelah sai melewati Sofa-Marwah, waktu menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Arab Saudi sudah masuk musim dingin kemarin. Lumayan enak untuk tidur. Haha...Kami langsung naik dan istirahat.
➽➽➽
Perjalanan Umroh kemarin, membuka mata dan pemahaman saya pada satu hal.
Tidak seperti ibadah-ibadah yang lain, perjalanan umroh dan haji ke Arab Saudi benar-benar ibadah fisik.
Alhamdulillah saya diberi kesempatan untuk melakukannya bersama orangtua saya dengan kondisi fisik yang masih sehat. Bila DIA memberikan rezeki dan waktu, mereka akan lebih siap ketika melakukan Haji beberapa tahun lagi.
Karena yakin kunjungan saya kemarin bukan yang terakhir, Saya memang mendedikasikan perjalanan umroh ini untuk berbakti kepada orangtua. Dengan segala macam kemampuannya, menjalani ibadah Umroh bersama orangtua (khususnya Mama, berarti harus berdamai dengan beberapa hal).
Saya misalnya, sering merasa ingin tinggal saja di masjid menunggu jamaah sholat wajib berikutnya. Kapan lagi kan bisa ibadah, sholat atau bahkan memandang Kabbah itu lekat-lekat? Menafakuri diri pada semua kezaliman dan dosa yang dibuat selama ini? Namun, hal itu sering kali harus diurungkan. Mama meminta saya menemaninya ke kamar mandi, pulang ke kamar hotel untuk istirahat atau makan sesuai waktu yang diterapkan pihak katering.
Ketika pergi Umroh dengan suaminya untuk bulan madu, seorang teman bercerita. Dia menargetkan untuk bisa mengaji sampai khatam selama di dua kota suci tersebut. Saya? Boro-boro, paling hanya setengahnya.
Apakah misi saya ini benar-benar sempurna dan indah seperti kelihatannya?
Tidak juga. Saya harus beberapa kali gagal menahan emosi. Di masjidil Haram, lebih sering. Saya misalnya, pernah lepas kendali ketika menemani Mama ke kamar mandi. Mama meminta langsung duduk saja di tempat terdekat dan menunggu adzan shalat Shubuh. Saya agak terobsesi sholat melihat Kabbah. Untuk mencapainya, itu berarti kita harus lebih berjalan lebih jauh. Banyak shaf dan tempat sholat sudah penuh. Kalaupun belum penuh, tempat tersebut ternyata bukan untuk sholat. Kalau sudah begitu, kami biasanya harus siap diusir petugas-petugas masjid.
Berjalan kembali dan menyisir lebih jauh, banyak waktu terbuang. Apalagi, karena Masjidil Haram itu lebar dan luas. Tawaf setengah putaran luar aja udah lelah meski dingin. Saya menjadi lebih mudah tersulut emosi.
Kalau kamu benar-benar ingin fokus ibadah, kalau perlu kamu bisa mengambil paket yang sekamar hanya dua orang (ehm...kode). Dengan begitu, waktu tunggu-tungguan juga semakin mini. Kalau berempat, meski bukan keluarga, saya pikir kita masih harus saling menunggu.
Pengalaman inilah yang saya jalani kemarin. Satu orang sudah bangun pagi untuk mandi dan bersiap menjelang sholat tahajud, tetapi harus menunggu yang lain. Jadi, turun ke Masjid tetap saja jam 04.00, saat adzan pertama berkumandang. (Jangan lupa, Saudi melakukan doa adzan, Adzan Tahajud dan Shubuh)
Jadi, siapa bilang punya rezeki uang banyak itu tidak boleh? Uang banyak memberikan kita lebih banyak pilihan dan kesempatan. Meski tentu saja, tidak juga berhubungan dengan kualitas dan terkabulnya doa. Tapi setidaknya kita mengusahakan yang terbaik bukan?
Gimana rasanya berdoa di depan Kabah dan Masjidil Haram?
Luar Biasa. Bagi sebagian orang yang memang punya kelebihan rezeki, pergi sekali-dua kali kesana jelas tidak cukup. Apalagi, Rp20-30 juta bukan nominal yang terlalu besar.
Waktu terbaik untuk melakukan tawaf sunnah, menurut saya, adalah pagi hari. Sambil menunggu waktu Dhuha (sekitar pukul 06.30) atau setelah Dhuha jam 07.00-08.00 juga enak. Masih sepi dan cuacanya masih dingin (meski matahari sudah nongol). Pergi ke Multazam atau Hijir Ismail juga relatif lebih nyaman. Terakhir, saya tawaf wada sekitar pukul 09.00. Cuacanya sudah lumayan terik dan kerumunannya sudah penuh.
Bersama NRA Travel, saya dan rombongan diajak berkeliling Mekkah. Kami mengunjungi Jabal Nur, Jabal Rahmah, Mina, Arafah dan Mudzalifah. Namun, dua tempat terakhir hanya dilewati saja. Cukup sebagai pengetahuan agar memancing keinginan kita pergi haji. Bagi jamaah haji, bermalam di Mina, Arafah dan Mudzalifah tentu merupakan rukun (wajib). Namun, tidak bagi jamaah umroh. Saat berkeliling, kami sudah siap melakukan umroh kedua.
Umroh kedua ini hukumnya sunnah. Umroh kedua juga bisa dilakukan untuk orang lain yang sudah meninggal atau orangtua. Satu orang satu niat umroh. Untuk umroh kedua ini, kami mengambil miqat di Ji'ranah, tidak jauh dari Mekkah. Di depan masjid tempat kami sholat dua kali dua rakaat (tahiyatul masjid dan niat umroh), saya masih sempat membeli cinderamata meski sempat dilarang Ustadz.
"Setelah ini kita langsung tawaf dan sai, kalau sambil tenteng belanjaan akan berat," katanya. Ah, tapi kalau tempelan kulkas saja tidak berat Pak Ustadz! Hehe...
Umroh kedua dilakukan siang hari, menjelang sholat Dhuhur. Saat Sai baru sampai tiga putaran, adzan Dhuhur berkumandang. Kami berhenti sebentar untuk sholat Dhuhur. Lumayan juga untuk istirahat. Sai, meski untuk kaum muda seperti saya, tentu saja lumayan melelahkan. Jaraknya mungkin sekitar 5km.
(MASIH) BERSAMBUNG
bagian lima ada di sini
Me, dari Jendela Kamar 2222, Swissotel Al-Maqam Mekkah |
Hehe...
Kami tiba di Swissotel Al-Maqam Hotel sekitar pukul 20.00. Lepas bagi kunci kamar dan meletakkan koper kecil (koper ukuran bagasi), kami makan malam. Sebelum melakukan tawaf dan sai, kami melakukan Sholat Qashar Magrib-Isya di Masjidil Haram.
Sebelumnya, kami sempat melihat Kabbah dari jendela kamar di lantai 22. Rasanya tidak percaya, kami sampai dan begitu dekat dengan Masjidil Haram. Kiblat sholat kami yang selama ini hanya dilihat melalui sajadah dan Google. Airmata terus mengalir bersama dengan rasa syukur. Kami akan menuju rumahMu, berjalan berputar tujuh kali seperti yang diajarkan nabi Ibrahim dan Muhammad SAW.
Dari pintu masuk (kami masuk melalui pintu nomor-1, King Abdul Aziz Gate), kami turun satu lantai.
Setelah itu,
Subhanallah, Kabbah benar-benar menjelma nyata di depan saya. Rasanya benar-benar mengharukan. Saya dan orangtua bisa sampai ke rumah-Nya. Nikmat TuhanMu yang mana yang Kau dustakan?
Shalat Dhuhur, depannya Kabbah langsung. Nikmat TuhaMu yang mana yang Kau Dustakan? |
Kami melakukan tawaf pertama kali waktu malam hari. NRA Travel melengkapi jamaahnya dengan headset untuk mempermudah membaca doa. Doanya panjang banget. Haha.. Merasa kurang sreg atau beda mazhab? Bebas. Matikan saja earphone dan berdoa sendiri. Saya percaya tidak ada doa yang tertolak di dua kota suci ini.
Menemukannya di Saat Tawaf Sunnah Selepas Dzuhur. Masih mau merasa Ibu paling rempong sedunia? Hehe |
Kalau tidak langsung dikabulkan, DIA tahu mana yang terbaik sehingga menggantinya atau menahannya. Saya dan Mama sempat beberapa kali melakukan tawaf sunnah selama di Masjidil Haram. Ketika melakukannya, saya membaca doa-doa yang lebih pendek yang dibagikan Lik Nunung. Kalau tidak sempat membawa, baca saja Al-Quran.
Suasana Berdoa di Dekat Hijir Ismail |
Dalam suatu artikel yang saya baca, setiap tahun pemerintah Arab Saudi terus membangun dan memperbaiki kondisi Mekkah. Mereka sedang dalam proses menuju Visi Saudi 2030. Kemarin, bahkan saya baca bahwa Saudi sudah membuka bisnis bioskop. Di sana, bioskop akhirnya dibuka kembali setelah berhenti selama 35 tahun terakhir.
Salah satu target Saudi dalam VISI ini adalah melakukan diversifikasi pendapatan. Mereka tidak akan sepenuhnya menggandalkan penerimaan negara dari haji-umroh dan minyak bumi.
Alat-Alat Berat di Sekitar Kabbah |
Mereka ingin seperti Dubai yang sudah bisa mendapatkan uang dari pariwisata. Namun, kondisi Mekkah bukannya tidak diperhatikan. Tahun ini, mereka memperluas dan memperbaiki sumur zam-zam. Akibatnya, hanya laki-laki yang berpakaian ihram saja yang bisa tawaf di depan Kabbah. Bagi perempuan, larangan ini tidak berlaku.
Tawaf di lantai satu masjid, meski lebih dingin dan sejuk, jaraknya menjadi sangat jauh. Pada tawaf perpisahan (wada), Bapak menyebut butuh waktu sampai dua jam untuk berputar tujuh putaran. Saya tidak mencoba karena Mama tidak kuat dan minta ditemani tawaf di bawah saja.
Salah satu Pintu Masuk Khusus Tawaf, Dijaga Banyak Polisi |
Kami berhasil menyelesaikan rangkaian umroh pertama kali pada tengah malam. Setelah sai melewati Sofa-Marwah, waktu menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Arab Saudi sudah masuk musim dingin kemarin. Lumayan enak untuk tidur. Haha...Kami langsung naik dan istirahat.
➽➽➽
Perjalanan Umroh kemarin, membuka mata dan pemahaman saya pada satu hal.
Tidak seperti ibadah-ibadah yang lain, perjalanan umroh dan haji ke Arab Saudi benar-benar ibadah fisik.
Alhamdulillah saya diberi kesempatan untuk melakukannya bersama orangtua saya dengan kondisi fisik yang masih sehat. Bila DIA memberikan rezeki dan waktu, mereka akan lebih siap ketika melakukan Haji beberapa tahun lagi.
Karena yakin kunjungan saya kemarin bukan yang terakhir, Saya memang mendedikasikan perjalanan umroh ini untuk berbakti kepada orangtua. Dengan segala macam kemampuannya, menjalani ibadah Umroh bersama orangtua (khususnya Mama, berarti harus berdamai dengan beberapa hal).
Saya misalnya, sering merasa ingin tinggal saja di masjid menunggu jamaah sholat wajib berikutnya. Kapan lagi kan bisa ibadah, sholat atau bahkan memandang Kabbah itu lekat-lekat? Menafakuri diri pada semua kezaliman dan dosa yang dibuat selama ini? Namun, hal itu sering kali harus diurungkan. Mama meminta saya menemaninya ke kamar mandi, pulang ke kamar hotel untuk istirahat atau makan sesuai waktu yang diterapkan pihak katering.
The Best Picture by Me, Mama |
Ketika pergi Umroh dengan suaminya untuk bulan madu, seorang teman bercerita. Dia menargetkan untuk bisa mengaji sampai khatam selama di dua kota suci tersebut. Saya? Boro-boro, paling hanya setengahnya.
Apakah misi saya ini benar-benar sempurna dan indah seperti kelihatannya?
Tidak juga. Saya harus beberapa kali gagal menahan emosi. Di masjidil Haram, lebih sering. Saya misalnya, pernah lepas kendali ketika menemani Mama ke kamar mandi. Mama meminta langsung duduk saja di tempat terdekat dan menunggu adzan shalat Shubuh. Saya agak terobsesi sholat melihat Kabbah. Untuk mencapainya, itu berarti kita harus lebih berjalan lebih jauh. Banyak shaf dan tempat sholat sudah penuh. Kalaupun belum penuh, tempat tersebut ternyata bukan untuk sholat. Kalau sudah begitu, kami biasanya harus siap diusir petugas-petugas masjid.
Petugas Keamanan di Sekitar Kabbah |
Berjalan kembali dan menyisir lebih jauh, banyak waktu terbuang. Apalagi, karena Masjidil Haram itu lebar dan luas. Tawaf setengah putaran luar aja udah lelah meski dingin. Saya menjadi lebih mudah tersulut emosi.
Suasana Sai saat Umroh Kedua, Ramai |
Kalau kamu benar-benar ingin fokus ibadah, kalau perlu kamu bisa mengambil paket yang sekamar hanya dua orang (ehm...kode). Dengan begitu, waktu tunggu-tungguan juga semakin mini. Kalau berempat, meski bukan keluarga, saya pikir kita masih harus saling menunggu.
Pengalaman inilah yang saya jalani kemarin. Satu orang sudah bangun pagi untuk mandi dan bersiap menjelang sholat tahajud, tetapi harus menunggu yang lain. Jadi, turun ke Masjid tetap saja jam 04.00, saat adzan pertama berkumandang. (Jangan lupa, Saudi melakukan doa adzan, Adzan Tahajud dan Shubuh)
Jadi, siapa bilang punya rezeki uang banyak itu tidak boleh? Uang banyak memberikan kita lebih banyak pilihan dan kesempatan. Meski tentu saja, tidak juga berhubungan dengan kualitas dan terkabulnya doa. Tapi setidaknya kita mengusahakan yang terbaik bukan?
Gimana rasanya berdoa di depan Kabah dan Masjidil Haram?
Luar Biasa. Bagi sebagian orang yang memang punya kelebihan rezeki, pergi sekali-dua kali kesana jelas tidak cukup. Apalagi, Rp20-30 juta bukan nominal yang terlalu besar.
Waktu terbaik untuk melakukan tawaf sunnah, menurut saya, adalah pagi hari. Sambil menunggu waktu Dhuha (sekitar pukul 06.30) atau setelah Dhuha jam 07.00-08.00 juga enak. Masih sepi dan cuacanya masih dingin (meski matahari sudah nongol). Pergi ke Multazam atau Hijir Ismail juga relatif lebih nyaman. Terakhir, saya tawaf wada sekitar pukul 09.00. Cuacanya sudah lumayan terik dan kerumunannya sudah penuh.
Menemukannya di Saat Tawaf, Kamu Masih Tidak Malu dan Mengeluh? |
Bersama NRA Travel, saya dan rombongan diajak berkeliling Mekkah. Kami mengunjungi Jabal Nur, Jabal Rahmah, Mina, Arafah dan Mudzalifah. Namun, dua tempat terakhir hanya dilewati saja. Cukup sebagai pengetahuan agar memancing keinginan kita pergi haji. Bagi jamaah haji, bermalam di Mina, Arafah dan Mudzalifah tentu merupakan rukun (wajib). Namun, tidak bagi jamaah umroh. Saat berkeliling, kami sudah siap melakukan umroh kedua.
Beberapa Pemandangan di sekitar Mina dan Mudzalifah, diambil dari dalam bus |
Umroh kedua ini hukumnya sunnah. Umroh kedua juga bisa dilakukan untuk orang lain yang sudah meninggal atau orangtua. Satu orang satu niat umroh. Untuk umroh kedua ini, kami mengambil miqat di Ji'ranah, tidak jauh dari Mekkah. Di depan masjid tempat kami sholat dua kali dua rakaat (tahiyatul masjid dan niat umroh), saya masih sempat membeli cinderamata meski sempat dilarang Ustadz.
"Setelah ini kita langsung tawaf dan sai, kalau sambil tenteng belanjaan akan berat," katanya. Ah, tapi kalau tempelan kulkas saja tidak berat Pak Ustadz! Hehe...
Umroh kedua dilakukan siang hari, menjelang sholat Dhuhur. Saat Sai baru sampai tiga putaran, adzan Dhuhur berkumandang. Kami berhenti sebentar untuk sholat Dhuhur. Lumayan juga untuk istirahat. Sai, meski untuk kaum muda seperti saya, tentu saja lumayan melelahkan. Jaraknya mungkin sekitar 5km.
(MASIH) BERSAMBUNG
bagian lima ada di sini
Komentar
Posting Komentar